Catatan Lima Tahun Surabaya sebagai Kota Literasi

Oleh: Kukuh Yudha Karnanta *
15 September 2019, 19:19:18 WIB

PERWUJUDAN kota literasi juga menjadi bagian dari komitmen saya untuk tidak hanya fokus membangun infrastruktur, tetapi juga fokus pada indeks pembangunan manusia (IPM) di Surabaya (Tri Rismaharini, 2014).

Pernyataan tersebut disampaikan saat deklarasi Surabaya Kota Literasi pada 2 Mei 2014. Lima tahun berjalan, bagaimanakah gerakan literasi yang digencarkan Pemerintah Kota Surabaya selama ini? Menjelang penerapan indeks pembangunan kebudayaan (IPK) oleh Kemendikbud pada Oktober mendatang yang salah satu variabelnya adalah pendidikan literasi, apa yang sebaiknya disiapkan? Pada tahap inilah, diskusi tentang pendidikan literasi di Surabaya perlu mengakomodasi isu-isu kebudayaan serta diskusi tentang rumusan model dan strategi pelaksanaan yang jitu.

Kolaborasi

Selama ini, salah satu perwujudan SKL adalah tersedianya 1.438 titik baca. Sebanyak 463 di antaranya berbentuk taman baca masyarakat (TBM) yang tersebar di balai RT/RW, taman, rumah sakit, dan fasilitas publik lainnya. Masing-masing dibina satu tenaga pendamping.

Dinas perpustakaan dan kearsipan juga meluncurkan e-perpustakaan berbasis sistem digital integrated library system yang bisa diakses di dispusip.surabaya.go.id. Sistem itu mirip dengan eduroam yang dipakai di Eropa. Setiap pelajar bisa mengakses seluruh koleksi perpustakaan dari seluruh kampus di Eropa secara gratis. Gerakan sekaligus gebrakan tersebut sungguh sangat layak diapresiasi. Namun, terdapat beberapa hal yang masih perlu dicermati untuk bisa disempurnakan ke depannya.

Pertama, sepanjang 2014–2018 belum ada model pendidikan literasi yang secara kuat beririsan dengan nilai-nilai ’’kesurabayaan’’. Berdasar studi yang dilakukan penulis, aktivitas pendidikan literasi, TBM misalnya, cenderung tumpang-tindih dengan sekolah, yakni praktik membaca dan menulis tentang hal-hal yang sudah atau sedang dipelajari di sekolah.

Agaknya, hal tersebut terjadi karena konsep ’’literasi’’ yang digunakan berangkat dari dan ditujukan untuk penguatan salah satu variabel IPM, yakni expected years of schooling, dengan literasi dipahami dalam pengertian yang paling dasar, yakni ’’melek huruf’’. Konsep itu perlu ditinjau lagi dan diperluas dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya yang bersifat ’’lokal’’ tanpa harus alergi dengan apa yang ’’global’’.

Apabila itu dilakukan, barangkali keluhan Suparto Wijaya tentang memudarnya ’’jati diri’’ Surabaya yang ditandai oleh, misalnya, alih-alih menyebut ’’Lontar’’ dan ’’Embong Malang’’, warga lebih mengenal ’’Pakuwon’’ dan ’’TP’’ (JP, 20/8); atau yang disebut Purnawan Basundoro sebagai ’’identitas kultural’’ budaya arek (JP, 16/8), mungkin tidak terjadi.

Jargon Surabaya Kota Literasi, dengan demikian, pertama-tama dan paling mendasar, perlu menggarap literasi warga terhadap identitas kota yang menghidupi dan dihidupi oleh mereka.

Kedua, program-program pendidikan literasi seperti Kelas Literasi Menulis dan Mendongeng, Safari Literasi, dan Kampung Sains belum sepenuhnya menyasar seluruh elemen masyarakat. Tapi, lebih banyak pada anak berusia sekolah, khususnya SD dan SMP.

Tentu bukan hal yang keliru. Namun, ke depan pemkot perlu menjangkau publik luas. Fenomena masih maraknya berita hoaks, ujaran kebencian, serta sentimen berbasis agama dan etnis seperti yang baru saja terjadi di Surabaya bisa diredam bila seseorang memiliki daya literasi yang kuat.

Daya literasi bukan sekadar tentang kemampuan membaca dan menulis, melainkan juga praktik ’’menafsir’’. Yakni, memilih dan memilah informasi (seleksi), memahami (rekognisi), membandingkan (komparasi), merasakan (refleksi), dan menciptakan kembali (kreasi). Daya literasi perlu dilatih sejak dini, memang, dan hal tersebut perlu dimiliki seluruh warga tanpa mengenal usia.

Ketiga, perlu menyinergikan gerakan literasi dengan komunitas-komunitas seni budaya sebagai upaya pengembangan potensi ekonomi kreatif daerah. Sebab, dalam ekonomi kreatif, lima aspek penting terciptanya ekosistem kreatif adalah kreator, komunitas, media, industri, dan pemerintah. Penerbitan karya sastra, musik, dan film, misalnya, mustahil berjalan optimal tanpa diiringi gerakan literasi seni budaya yang menjangkau komunitas-komunitas.

Bukankah kota ini pernah disebut sebagai penghasil seniman musik balada ternama seperti Gombloh, Leo Kristi; komponis Slamet Abdul Sjukur; band Boomerang, Dewa 19, dan Padi? Kini, selain band Silampukau yang punya musikalitas khas, lirik-liriknya kental bernapas kesurabayaan, dan mengorbit nasional secara indie, belum ada yang eksistensinya bisa dibilang signifikan.

Surabaya memiliki komunitas kreatif yang beragam dan teramat potensial dikembangkan. Contohnya, komunitas Sinema Intensif yang bergerak di literasi film, Pertemuan Musik Surabaya (PMS) yang bergerak di literasi musik, Majelis Sastra Urban yang bergerak di literasi karya sastra, C2O, Rek ayo Rek, dan lainnya. Maka, literasi seni dan budaya dalam konteks ekonomi kreatif penting dikerjakan dengan seluruh stake holder agar kebermaknaan dan dampak aktivitas mereka lebih dikenal dan berdampak luas bagi publik kota.

Praktik kolaborasi dalam konteks pendidikan literasi itu sebetulnya sudah dilakukan, tapi belum merata. Sinergi yang dilakukan Dispusip Surabaya dengan menggandeng beberapa kampus seperti dalam hal penyelenggaraan kuliah kerja nyata (KKN) dan magang adalah contoh yang baik. Namun, jargon Surabaya Kota Literasi tentu terlalu berat bila hanya ditanggung salah satu dinas. Dinas kebudayaan, dinas pendidikan, dan lainnya perlu juga bersinergi dengan komunitas-komunitas kreatif yang ada.

Salam literasi. (*)


*) Kukuh Yudha Karnanta, Dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Editor : Dhimas Ginanjar

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads