Inovasi atau Terjajah Kembali

Oleh MOHAMMAD NASIH, Rektor Unair
17 Agustus 2020, 13:04:22 WIB

PANDEMI Covid-19 benar-benar telah merampas kemerdekaan kita beberapa bulan terakhir. Tidak hanya merampas kemerdekaan kita di dan bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa lain di seluruh penjuru dunia. Kehidupan seolah dipaksa kembali ke era sebelum kemerdekaan atau yang lebih dikenal sebagai era penjajahan atau imperialisme yang penuh ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, ketidakadilan, kemiskinan, dan tentu ketergantungan serta hegemoni.

Seperti dahulu kala bangsa ini mengusir penjajah, diperlukan kontribusi nyata dan kerja sama dari semua elemen bangsa agar negeri ini secepatnya merdeka dari pandemi korona. Bukan hanya ”rakyat” yang diajak perang gerilya. Ataupun prajurit yang harus berada di garis paling depan dan berhadapan langsung dengan musuh.

Tetapi juga para patih dan raja, para komandan, politisi dan pegiat, serta komunitas profesi, kalangan ahli, akademisi, dan pasti para cerdik pandai.

Kerja sama dan bahu-membahu antarkomponen bangsa adalah suatu keniscayaan. Tanpa kerja sama antarkomponen bangsa, kemerdekaan Indonesia, mungkin, tak akan pernah diproklamasikan. Perguruan tinggi sebagai markas para akademisi dan ahli tentu juga harus berperan secara aktif dan strategis dalam penanganan pandemi ini agar merdeka dari pandemi dapat segera diproklamasikan.

Dalam jangka panjang Universitas Airlangga (Unair) berkomitmen untuk berkontribusi dalam menghasilkan vaksin yang spesifik dan sesuai dengan isolate Indonesia. Aksi nyata untuk mendapatkan vaksin tersebut saat ini tetap berjalan meski tidak sedikit hambatan. Sedangkan dalam jangka menengah, komitmen Unair yang salah satu pilar strateginya adalah meaningful research and community development ialah mendapatkan obat baru yang secara spesifik merupakan antiviral SARS-CoV-2 atau coronavirus strain Indonesia. Dalam jangka panjang, diharapkan akan tercipta kemandirian obat dan Indonesia merdeka dari bergantung kepada bangsa lain.

Baca juga: Lusa Tim Unair Presentasikan Obat Covid-19 di BPOM

Dalam jangka superpendek, pada mulanya penelitian regimen kombinasi obat ”hanya” dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi tentang kombinasi obat apa saja yang dapat digunakan dokter agar pasien positif korona dapat disembuhkan lebih cepat. Penelitian itu sudah dirancang sejak April 2020. Salah satu dasar pemikirannya adalah belum ada obat yang secara spesifik berfungsi sebagai antivirus SARS-CoV-2. Obat-obat yang beredar selama ini adalah obat untuk antiviral virus lain.

Padahal, semua tahu, perkembangan pandemi Covid-19 ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Pada 6 Mei 2020 jumlah kasus positif Covid-19 dari 34 provinsi sudah mencapai 12.438 kasus terkonfirmasi positif dengan 895 kasus meninggal dunia. Dalam kondisi demikian, diperlukan pintasan untuk menangani pandemi dengan memperhatikan aspek penanganan pasien dan efektivitas obat. Alasan lainnya adalah obat yang beredar sudah melalui berbagai macam uji sampai dengan mendapatkan izin edar serta juga sudah diketahui farmako dinamik, farmako kinetik, karakter obat, dan mekanisme kerja obatnya.

Berbagai obat yang sudah beredar dan digunakan secara luas oleh para dokter dalam penanganan pasien Covid-19 diperluas indikasinya untuk efek antiviral terhadap SARS-CoV-2 isolate Indonesia melalui serangkaian uji. Yang meliputi 1) uji docking ligan pada main protease, 2) preparasi sampel untuk SARS-CoV-2 isolate Indonesia, 3) uji toksisitas obat untuk menentukan CC50, 4) uji potensi obat efek antiviral untuk menentukan IC50, dan 5) uji tantang obat dengan virus SARS-CoV-2.

Baca juga: Unair Temukan Obat Covid-19

Berdasar pengujian tersebut, diperoleh dan diambil lima obat tunggal yang paling efektif dari 15 obat yang diuji dan lima kombinasi obat yang paling potensial yang direkomendasikan untuk penanganan Covid-19. Yakni lopi/rito dan azithromycin, lopi/rito dan doxicycline, hydrochloro dan azithromycin, lopi/rito dan clarithromycin, dan hydroxychloro dan doxycycline.

Pada saat hasil uji invitro diumumkan, respons masyarakat sungguh luar biasa. Secara umum, masyarakat menanggapinya dengan positif dan sekaligus membangkitkan optimisme untuk selamat dari Covid-19. Di sisi lain, ada juga kalangan tertentu yang menyayangkan dan bahkan meragukan temuan penelitian tersebut dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Termasuk yang paling kuat adalah kombinasi obat itu belum diuji klinis. Padahal, jelas-jelas, apa yang disampaikan peneliti Unair pada saat itu adalah hasil uji invitro yang ”hanya” merupakan rekomendasi penggunaan obat bukan obat. Jagat maya pun bergejolak. Pro dan kontra mengemuka dan membanjiri pikiran.

Unair dengan para penelitinya yang militan dan tidak punya rasa takut untuk bergumul dengan virus korona (SARS-CoV-2) tidak patah arang. Rintangan demi rintangan dilalui. Halangan demi halangan disingkirkan. Semua masukan dan kritik justru mendorong Unair untuk sesegera mungkin melakukan uji klinis serta membuktikan bahwa kombinasi obat tersebut memang efektif untuk SARS-CoV-2 isolate Indonesia. Kami sangat percaya diri dan optimistis karena, sekali lagi, ini bukan obat baru. Ini hanya kombinasi obat yang sudah digunakan secara luas oleh para dokter. Jadi, insya Allah aman.

Langkah selanjutnya ialah menyusun protokol uji klinis dan mengajukan permohonan pelaksanaan uji klinis ke BPOM. Alhamdulillah, dengan berbagai upaya yang tidak mudah serta doa-doa yang tidak ada putusnya, persetujuan pelaksanaan uji klinis (PPUK) dari BPOM didapatkan berupa PPUK BPOM Nomor PP.01.01.1.3.07.20.06. Persetujuan laik etik yang diperoleh adalah dari RSUA berkode KEPK RSUA Nomor 159/KEP/2020.

Uji klinis dilakukan di multicenter site (13) dengan desain penelitian randomized clinical trial (RCT) dengan metode tersamar ganda atau double blind. Terdapat enam kelompok penelitian, termasuk satu kelompok kontrol yang menerima obat standard of care (SoC) dari RSUA. Uji klinis juga dilakukan dengan sepenuhnya mematuhi inklusivitas dengan mengeluarkan pasien yang eksklusif.

Hasilnya, dari 1.127 subjek yang diperiksa, baik fisik maupun laboratorium, terdapat 754 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah tersebut lebih banyak dari yang diminta BPOM, yakni 696. Setelah mendapatkan penanganan sesuai protokol uji klinis, diperoleh hasil yang sangat menggembirakan dan sekaligus menjanjikan. Jika pada kelompok kontrol (SoC) pada hari ketiga jumlah subjek yang ”sembuh” atau PCR-nya menjadi negatif hanya 26,89 persen, pada kelompok lain yang mendapatkan obat kombinasi justru mencapai 90,24 persen hingga 98,45 persen. Sedangkan pada hari ketujuh, kelompok SoC yang negatif hanya 30,26 persen dan pada kelompok lain mencapai 93,50 persen hingga 98,45 persen. Dari data statistik tersebut dapat disimpulkan, kombinasi obat yang oleh BPOM dianggap sebagai ”obat baru” karena ada perluasan indikasi sangat efektif untuk digunakan.

Baca juga: Unair Segera Serahkan Hasil Uji Klinis Kombinasi Obat Penawar Covid-19

Tentu penggunaan obat yang lebih efektif dampaknya tidak hanya di soal penyembuhan, tetapi juga di aspek manajemen dan ekonomi. Dengan menggunakan obat yang dosisnya lebih rendah, pasti akan mengurangi biaya obat dan sekaligus ketergantungan pada bahan baku obat yang 90 persen masih impor. Di sisi lain, dengan penyembuhan pasien yang lebih cepat, bed yang tadinya harus dipakai hanya dua orang dalam satu bulan sekarang bisa dipakai lima sampai tujuh orang dalam satu bulan. Itu berarti akan mendongkrak kapasitas tempat tidur untuk pasien. Pemerintah tidak perlu menambah kapasitas tempat tidur secara besar-besaran. Waktu perawatan yang lebih pendek juga pasti akan memangkas biaya perawatan serta tentu memutus mata rantai penularan. Pada akhirnya, optimisme masyarakat makin meningkat, kecemasan dan ketakutan tereliminasi, serta rakyat (merasa) lebih merdeka dan pasti lebih produktif sehingga ekonomi bangsa pun lebih cepat pulih.

Di sisi lain, karena sepengetahuan saya belum ada obat antiviral yang secara spesifik untuk SARS-CoV-2, temuan penelitian ini dapat diklaim sebagai yang pertama di dunia. Hal tersebut tentu akan berdampak sangat nyata bagi pandangan dan pengakuan dunia terhadap Indonesia. Tentu ini harus dilakukan dengan lebih cepat karena bangsa-bangsa lain pasti juga sedang berlomba untuk mendapatkan obat dan atau vaksin SARS-CoV-2.

Bahwa akan ada pro dan kontra itu pasti. Sudah sunatullah. Hukum alam. Ada pro ada kontra. Jangankan pada era seperti saat ini yang informasi sangat terbuka dan mudah menyebar. Inovasi dan temuan Jenderal Besar Sudirman yang menginisiasi perang gerilya pun ada yang pro dan kontra. Bahkan, proklamasi kemerdekaan pun menjadi pro dan kontra. Mereka-mereka yang mendapatkan banyak keuntungan dari penjajah pasti kontra dan menentang proklamasi.

Respons dari pihak yang berwenang terhadap kelanjutan hasil uji klinis ini merupakan jawaban atas pertanyaan apakah Covid-19 itu rekayasa dan konspirasi atau tidak. Respons yang lambat dan bahkan cenderung menghalang-halangi dengan alasan etis maupun birokrasi dan administrasi merupakan bukti bahwa ada konspirasi. Bagaimana orang merespons hasil penelitian ini menunjukkan dengan sangat nyata di mana yang bersangkutan memilih posisi dan ke mana berpihak. Bismillah. Allahu Akbar. Merdeka! (*)

 

*) Provokator penelitian yang bermakna bagi bangsa dan umat manusia

 

Saksikan video menarik berikut ini:

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads