JawaPos.com – Momen Sumpah Pemuda 2019 diperingati dengan beragam cara. Salah satunya terlihat di wisata tambat labuh Sontoh Laut dan lapangan Tugu Pahlawan kemarin (27/10).
Di kawasan wisata tambat labuh Sontoh Laut, Kelurahan Tambak Sarioso, Kecamatan Asemrowo, para pelajar khidmat mengucap ikrar Sumpah Pemuda. Mereka berikrar di atas perahu nelayan.
Kegiatan yang dimulai pukul 07.00 itu diikuti sejumlah kalangan. Selain kelompok sadar wisata (pokdarwis) Tambak Sarioso, hadir Camat Asemrowo Bambang Udi Ukoro, Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Antonius Agus Rahmanto, dan perwakilan Kodim 0830/Surabaya Utara.
Camat Asemrowo Bambang Udi Ukoro menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada generasi muda 1928 yang memelopori Sumpah Pemuda. Kini, di era milenial, pihaknya mengajak kembali warga Asemrowo untuk mewujudkan ikrar Sumpah Pemuda lewat kegiatan positif, kreatif, dan inovatif. ’’Salah satunya dengan membangun wisata bahari Sontoh Laut,’’ ujarnya. Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Antonius Agus Rahmanto mendukung penuh wisata bahari Sontoh Laut.
’’Pemuda sekarang yang tergabung dalam Indonesia jangan mau terpecah belah,’’ katanya.
Di tempat terpisah, dua bule asal Belanda, Christa Soeters dan Michael van Zeijl, menikmati peran sebagai pejuang sipil. Mereka berperan dalam teatrikal di lapangan Tugu Pahlawan. Teatrikal yang dimainkan 35 orang dari Roode Brug Soerabaia dan Community of Arek Kedung Klinter (CAK) itu mengusung cerita tentang pertempuran tiga hari. Dalam teatrikal tersebut dikisahkan, Inggris terdesak dan kalah. Jenderal Mallaby pun tewas dalam pertempuran itu.
Yang menarik, bukannya menjadi tentara sekutu, Christa dan Michael justru berperan sebagai pejuang. Mereka tampak menghayati setiap gerak perlawanan para pejuang dan arek-arek Suroboyo. Bagi mereka, Indonesia memang punya arti tersendiri. ’’Saya menyukai suasananya, pakaiannya, seperti kembali ke masa lalu. Kalau ada di kondisi saat itu, mungkin saya akan ikut berjuang juga,’’ tutur Christa.
Perempuan asal Leiden itu menyatakan, kakeknya merupakan orang Indonesia. Yakni, Wonogiri. Kala itu keluarga sang kakek dipisahkan paksa oleh Belanda. Sang kakek menjadi buruh paksa di Suriname.
Christa yang aktif dalam organisasi Majority Perspective yang bergerak di bidang penelitian sejarah pun menelusuri jejak sang kakek. Bahkan, dia berhasil menemui keluarga sang kakek di Wonogiri. ’’Suasananya menjadi sangat emosional. Saya sangat terharu,’’ ujar perempuan 25 tahun itu. Bahkan, dia mendapat oleh-oleh tanah dari Wonogiri sebagai kenangan bahwa dirinya rindu tanah air.
Kurnia Sari dari Roode Brug Soerabaia mengapresiasi keikutsertaan Christa dan Michael dalam teatrikal. Bahkan, dia salut kepada Christa dan Michael yang tetap mengingat dan mengakui keluarganya di Indonesia.