Kalau minuman terasa terlalu pahit, kita bisa kasih tambahan gula. Jika seorang pelukis merasa warna cat minyaknya terlalu gelap, ia bisa memberi campuran warna terang. Jika kita berbuat salah, apakah kesalahan kita bisa berkurang dengan berbuat baik?
---
ENTAH bisa atau tidak, kenyataannya kita sering mendengar seseorang yang melakukan kejahatan menerima hukuman yang ringan hanya karena berperilaku baik selama persidangan (atau belum pernah dihukum sebelumnya, seolah belum pernah dihukum menyiratkan kebaikan tersendiri). Begitu pula narapidana bisa memperoleh pengurangan hukuman juga karena perilaku baik.
Salah satu hal yang sering membuat saya terkesan dari film-film tentang mafia, katakanlah trilogi The Godfather, kita bisa punya kecenderungan untuk bersimpati kepada seorang mafia. Tak peduli berapa banyak orang dibunuhnya, dengan tangan sendiri atau orang lain, tak peduli berapa banyak juga ia melanggar hukum, simpati itu tetap ada.
Kenapa? Karena Vito Corleone si kepala keluarga mafia juga punya sisi baiknya. Ia suka menolong orang yang mau datang dan bersetia kepadanya. Lebih dari itu, ia sangat sayang keluarga, dan bahkan meletakkan keluarga sebagai pilar.
Hal yang sama terjadi pada karakter seperti Robin Hood. Bagi orang-orang kaya serakah dan pejabat-pejabat korup, ia merupakan kriminal yang diburu dan harus dihukum. Bagi orang-orang miskin yang memperoleh bantuannya, ia dewa penolong dan tak segan melindunginya.
Ketika kita, sebagai penonton atau pembaca, melihat mereka secara utuh, kita seperti melihat timbangan. Kebaikan dan keburukan di sisi-sisi yang berbeda. Bandul bergoyang-goyang. Ternyata, kebaikan dan keburukan sejenis tawar-menawar yang bisa digoyang-goyang.
Dalam segelas kopi yang sangat pahit, meskipun diberi gula yang banyak, kualitas kopi yang sangat pahit itu sebetulnya masih ada di sana. Demikian pula rasa manis gulanya juga ada di sana. Kita yang mencicipinya saja yang kemudian merasa tak lagi terlalu pahit atau terlalu manis.
Kita percaya hal ini terjadi juga dalam hal kebaikan dan keburukan, seperti dalam rasa pahit dan manis yang saling mengurangi. Justru karena perasaan soal baik dan buruk ini bisa bergoyang-goyang, banyak pula yang memanfaatkannya. Pernah melihat orang yang berbuat jahat, bahkan kriminal, ketika tertangkap kemudian menampilkan diri sebagai sosok religius melalui pakaian?
Ya, hal semacam itu bisa sangat terjadi. Ia sedang menciptakan ilusi, dengan berpakaian seperti orang religius, ia ingin orang menganggap dirinya sebagai manusia baik. Dan anggapan ini, dengan sendirinya, diharapkan melumerkan kesalahan dan kejahatan yang dilakukannya.
Gagasan ini bisa pula datang dari konsep ”tobat”, yang pada dasarnya merupakan wajah lain dari kepercayaan bahwa kejahatan bisa dibayar oleh kebaikan. Komik (juga film) seperti Samurai X lahir dari konsep sejenis. Karena memiliki masa lalu yang gelap sebagai pembunuh berdarah dingin, Kenshin Himura ingin membayar kesalahan masa lalunya dengan berbuat baik, menjadi penolong, mendorong dunia yang damai, yang disimbolkannya dengan pedang terbalik.
Konsep tobat bahkan divalidasi dalam agama, bahwa kesalahan yang dihentikan dan dibayar dengan kebaikan sebagai hal positif yang harus dilakukan orang. Membayangkan ada manusia bisa menyeberang dari keburukan menuju kebaikan membuat kita mudah bersimpati.
Sekali lagi, konsep ini memang gampang dipermainkan oleh siapa pun yang ingin kesalahannya tertutup oleh kebaikan, meskipun kebaikannya mungkin pura-pura saja. Perasaan manusia memang serapuh ini dan memang gampang diobok-obok. Gampang dibikin terharu.
Saya ingin memberi ilustrasi lain. Pernah sekali waktu saya melakukan diet. Mengarungi asupan karbohidrat selama sekian waktu, akhirnya satu hari saya memperbolehkan diri sendiri untuk makan sepotong kue tar. Merasa bersalah? Sedikit saja, sebab ”Tak apa lah. Selama ini sudah mengurangi karbohidrat banyak sekali, nambah sedikit tak apa-apa.”
Seolah itu merupakan pelajaran matematika sederhana. Minus sepuluh ditambah lima, masih minus lima.
Tapi, di sini jebakannya, melebihi orang yang pura-pura tobat. Bagaimana jika selama ini ada orang yang hidupnya penuh dengan kebaikan, hidup saleh, taat hukum, kemudian berpikir, tak apa-apa deh, sesekali berbuat buruk? Atau, bahkan, tak apa-apa berbuat jahat.
Jangan-jangan ini yang sering terjadi? Pejabat merasa sudah mengabdi kepada negara dan melayani rakyat, lalu ia merasa ”tak apa-apa korupsi”, ”tak apa-apa main Zuma di jam kerja”.
Jika kebaikan dan keburukan, amal baik dan dosa, kepatuhan kepada hukum dan kejahatan, bisa diibaratkan timbangan dan sesederhana penambahan dan pengurangan di hitungan matematika, apakah perasaan semacam di atas bisa dianggap normal?
Polisi, yang selama ini menjaga keamanan warga negara dari berbagai kejahatan, ”tak apa-apa menembak orang”, ”tak apa-apa jadi backing judi”, dan ”tak apa-apa memungut pungli”, bisa dimaklumi? Orang saleh yang rajin beribadah, berpikir ”tak apa-apa berbuat dosa sesekali”, menjadi wajar? (*)
---
EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016