Jumat, 31 Maret 2023

HUT Ke-727 Surabaya, Saatnya Surabaya Dikalibrasi

- Senin, 1 Juni 2020 | 20:59 WIB

DENGAN jurus kekinian, Covid-19 memulai serangannya di Wuhan pada 2019. Lalu, virus korona jenis baru itu masuk Indonesia pada Februari 2020 dan Surabaya luluh lantak pada Mei 2020. Sampai-sampai, Presiden Jokowi memfokuskan perhatian untuk membantu Jawa Timur dan Surabaya. Perilaku Covid-19 ini seperti bipolar saja, menyerang dengan jurus kecepatan dan percepatan untuk mencapai sasarannya serta melambatkan lari kencangnya dunia.

Ilmuwan Prancis Paul Virilio menyatakan, dunia yang berlari adalah gambaran dunia yang paradigma berpikirnya kecepatan. Kecepatan dan percepatan lari itu kini terbaca telah melampaui kodrat alam dan manusia. Covid-19 hadir sebagai pengadil untuk menormalkan alam semesta, mengalibrasi dunia.

Pada ulang tahun ke-727, Kota Surabaya sudah merasakan dampaknya. Ketika serangan Covid-19 mampu menghentikan kecepatan dan percepatan denyut nadi kota ini. Jalan-jalan utama Kota Surabaya nyaris sepi. Kerja dari rumah sudah disosialisasikan. Work from home (WFH) seperti sudah dipahami warga kota.

Ternyata ada yang paham; ada yang paham, tetapi tidak bisa menghindar; dan ada yang tidak peduli. Ada sebagian mal, pertokoan, restoran, kantor, dan tempat ibadah menutup pintu rapat-rapat. Tapi, sebagian lain masih ngruntel koyok mbako enak (berdesakan seperti kusutnya tembakau enak), seperti di pasar-pasar tradisional.

Sebagian paham beraktivitas dengan memakai masker, menjaga jarak fisik, dan sering mencuci tangan. Tetapi, sebagian besar tetap belanja habis-habisan untuk Lebaran dan beramai-ramai mudik Lebaran. Sebagian besar di antara mereka itu belum menyadari dan bahkan belum memahami bahaya dan ancaman jiwa akibat penularan Covid-19 ini.

Data menyebutkan, 65 persen kasus korona Jatim terjadi di Surabaya Raya. Tingkat kematian di Surabaya lebih tinggi ketimbang nasional. Tingkat penularan virus masih eksponensial. Kondisi seperti ini merupakan momentum refleksi diri, kota ini siap menghadapi peristiwa-peristiwa besar yang mengancam keberadaan kota atau tidak. Bukan hanya tentang kesiapan sarana-prasarana kota. Tetapi, apakah manajemen kota sudah cukup sigap membuat solusi-solusi? Covid-19 sedang mengalibrasi Kota Surabaya.

Tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat menghadapi pandemi ini adalah realitas bahwa Surabaya harus berbenah dalam banyak hal. Model pendidikan kemasyarakatan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemimpin Surabaya ke depan. Kota dengan kemajuan fisik yang pesat ini ternyata mencatatkan diri tertinggal dalam banyak hal, terutama tentang pembangunan manusia. Covid-19 mengalibrasi kesadaran dan kedisiplinan masyarakat pada kesehatan. Salah satunya, mengajarkan hal-hal dasar seperti cuci tangan. Perilaku sehat bukan urusan pribadi demi pribadi, tetapi bahkan memakai masker adalah bagian dari melindungi orang lain.

Tiba-tiba saja, rumah sakit penuh dan tenaga medis kewalahan. Kekurangan fasilitas kesehatan menghadirkan masalah. Ternyata ada celah koordinasi pusat-daerah, ada komunikasi yang belum terbangun. Lalu, muncul kegaduhan-kegaduhan. Covid-19 did not break the system, Covid-19 exposed a broken system.

Work from home bukanlah sebuah konsep baru. Tetapi, Covid-19 memaksa kita segera bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Bahkan, arsitektur tradisional Bali bisa mewadahi konsep hunian modern (Bali Twenty-Twenty, Freddy H. Istanto 1996).

Pola hidup sehat yang menjadi tuntutan era new normal saatnya difasilitasi kota. Perlu jalur-jalur pedestrian yang baik di seluruh bagian kota. Bukan hanya untuk pejalan kaki, tetapi juga untuk berolahraga.

Kota ini bahkan sudah membutuhkan hutan kota. Saat ini yang tersedia hanya sekelas Kebun Bibit Manyar, KBS, dan hutan mangrove. Apresiasi pada bentang alam juga harus dikembangkan. Sejak kapan apresiasi Surabaya sebagai kota maritim ini rendah ya? Tanjung Perak sudah dibentengi lahan-lahan kontainer. Pantai Kenjeran juga tidak pernah naik kelas untuk rekreasi warga kota. Bentang alam berupa pantai ini menjadi syarat kota masa depan.

Pembangunan mal-mal besar seharusnya sudah dibatasi. Mal-mal hanya akan membuka peluang menjangkitnya budaya konsumerisme. Pemerintah kota dan swasta seharusnya membangun fasilitas-fasilitas kota yang mampu membangun apresiasi pada nilai-nilai sosial budaya dalam berbagai bentuk. Misalnya, museum, gedung pergelaran, galeri, ruang baca, serta revitalisasi bangunan cagar budaya dan kawasan kota lama.

Semangat Kota Pahlawan tidak boleh berhenti pada cerita masa lalu. Tetenger kota yang diwakili objek-objek seni kota seharusnya dihadirkan lebih marak. Urban street furniture bisa saja menjadi bagian penciptaan identitas kota dan pembentukan karakter kota. Selain itu, event-event kepahlawanan yang bernuansa seni dan heroik perlu terus dimainkan.

Last but not least adalah estafet kepemimpinan. Pandemi yang mengarut-marutkan kota ini bertambah pelik karena Surabaya sedang mengalami peralihan kepemimpinan. Berharap muncul leader pada masa-masa sulit seperti ini yang akan membawa Surabaya lebih baik. Dirgahayu Kota Surabaya.




*)  Freddy H. Istanto, Dosen Arsitektur Interior, Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra

 

Saksikan video menarik berikut ini:

https://www.youtube.com/watch?v=JGLAdBfhFB4

https://www.youtube.com/watch?v=38_uIvhYvWI

https://www.youtube.com/watch?v=FsTSOwLrVx8

Editor: Dhimas Ginanjar

Tags

Terkini

Pengamat Unair Komentari Polemik Piala Dunia U-20

Jumat, 31 Maret 2023 | 06:20 WIB

Kebingungan gegara Aki Mobil Soak

Kamis, 30 Maret 2023 | 17:48 WIB

Chrismas Aponno Aniaya Pacar karena Cemburu

Kamis, 30 Maret 2023 | 13:48 WIB
X