PADA 8 September lalu, Taliban mengumumkan susunan kabinet yang akan menjalankan pemerintahan Afghanistan ke depan. Dari nama-nama yang diumumkan, Taliban tampaknya belum memenuhi janjinya untuk menciptakan pemerintahan yang inklusif dan menghormati kebebasan sipil, khususnya kaum perempuan. Dari nama-nama yang diumumkan, tidak ada satu perempuan pun yang dilibatkan dalam pemerintahan yang dipimpin Mullah Hasan Akhund.
Justru beberapa nama tokoh Taliban yang dikenal keras selama ini dipercaya untuk memegang posisi strategis. Misalnya, Kementerian Dalam Negeri yang diberikan kepada Sirajuddin Haqqani. Sementara itu, tokoh-tokoh yang lebih moderat seperti Mullah Abdul Ghani Baradar (kerap mewakili Taliban dalam perundingan dengan pihak-pihak luar, termasuk Amerika Serikat/AS) justru menjadi ”orang nomor dua” alias wakil kepala pemerintahan yang dijabat Mullah Hasan Akhund.
Pada tahap tertentu, pemerintahan sementara Afghanistan yang saat ini dikuasai Taliban dapat disebut sebagai pemerintahan konservatif. Hal itu bisa dilihat dari tokoh-tokoh Taliban yang saat ini menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan Afghanistan pasca hengkangnya AS.
Sebagaimana kerap diumumkan Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid, pemerintahan Afghanistan ke depan menjalankan syariat Islam. Tentu syariat Islam yang dimaksud adalah syariat yang sesuai dengan penafsiran dan pemahaman Taliban, baik dalam persoalan kehidupan secara umum maupun terkait dengan tata kelola pemerintahan. Mengingat hukum Islam yang diikuti seorang muslim pada hakikatnya adalah tafsir terhadap syariat Islam yang suci dan satu, termasuk yang dipahami, diikuti, dan diamalkan Taliban.
Hal yang harus diperhatikan adalah penafsiran, pemahaman, dan pengamalan terhadap syariat Islam yang suci dan satu sangatlah banyak. Antara satu penafsiran dan penafsiran yang lain tak jarang bertolak belakang.
Dalam persoalan perempuan, contohnya, mungkin Taliban masih berpandangan bahwa muslimah tidak boleh menjadi pemimpin. Bahkan, muslimah mungkin masih dianggap tak boleh keluar rumah tanpa seorang pengawal dari keluarga (muhrim). Lebih jauh, mungkin Taliban berpandangan bahwa muslimah tak boleh bersuara keras karena suara perempuan muslimah dianggap aurat.
Padahal, ada pendapat lain yang justru bertentangan dengan pandangan Taliban terkait perempuan. Jangankan keluar rumah, ada penafsiran lain terhadap syariat Islam yang membolehkan kaum muslimah menjadi pemimpin.
Jenis-jenis penafsiran, pemahaman, dan pengamalan Taliban inilah yang membuat penulis menyebut pemerintahan Afghanistan sekarang sebagai pemerintahan konservatif. Dengan kata lain, kehidupan masyarakat Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban akan diwarnai dengan pandangan-pandangan hukum yang bersifat konservatif terhadap syariat Islam. Tidak hanya dalam persoalan perempuan, tapi juga dalam persoalan-persoalan lain seperti keberadaan kelompok minoritas, sikap masyarakat terhadap pemerintah yang berkuasa, dan sebagainya.
Meskipun demikian, Taliban tidak bisa secara serta-merta dianggap sebagai kelompok teroris. Pandangan-pandangannya yang bersifat konservatif terhadap syariat Islam ataupun penampilan fisiknya yang berjenggot, berjubah, dan beserban, bahkan perjuangannya yang bersenjata pun, tidak bisa secara serta-merta dikaitkan sebagai teroris. Mengingat konteks Afghanistan selama ini menjadi medan perang selama bertahun-tahun, tentu semua bangsa berhak untuk bebas dari penjajahan. Dan semua orang berhak untuk membela diri, termasuk Taliban.
Penelitian mendalam yang dilakukan Nabil Syarafudin (2002), pakar gerakan Islam politik, yang pernah bertemu dan wawancara langsung dengan Osama bin Laden maupun tokoh-tokoh Taliban di Afghanistan, mengungkap dengan jelas bagaimana sejarah dan sepak terjang Taliban selama ini. Termasuk pertemuan dan kekagumannya terhadap Osama bin Laden sebagai pejuang yang rela meninggalkan kekayaan dan kemapanannya demi kaum tertindas seperti dialami Taliban dan rakyat Afghanistan pada umumnya.