Selasa, 30 Mei 2023

Keris Gajahendra

- Minggu, 8 Januari 2023 | 07:17 WIB
ILUSTRASI - BUDIONO/JAWA POS
ILUSTRASI - BUDIONO/JAWA POS

Bagaimana mungkin kota sebesar ini menjamas keris replika setiap perayaan hari ulang tahun? Bagaimana mungkin kota yang sarat dengan sejarah ini kehilangan pusaka kebesaran? Bagaimana mungkin semua orang di kota ini hanya bisa diam melihat ritual penjamasan pusaka sebatas formalitas?

---

SUKARTA terdiam. Di kepalanya, pertanyaan-pertanyaan berkelindan. Datang silih berganti dan saling bertindih tanpa henti. Sukarta kaget dengan penjelasan Ki Sirun, sesepuh yang menurutnya mengerti banyak soal sejarah dan cerita turun-temurun, tepat setelah Sukarta melemparkan tanya tentang pusaka yang semestinya dijamas di setiap peringatan hari lahir kota.

***

Keris ini saya beri nama Gajahendra,” ucap sang raja setelah Gajah Mada menyerahkan penjahat yang ditangkapnya dan menyerahkan keris bawaannya. ”Sebab, penjahat itu datang dengan naik burung garuda atau burung endra, dan yang menangkap adalah Gajah Mada. Adapun si Tolih tidak akan saya bunuh. Saya berikan ampunan untuknya. Lepaskanlah tali ikatannya. Saya pasrahkan padamu, Ki Patih.”

Ki Tolih adalah seorang sakti yang merupakan pemimpin prajurit Siung Wanara. Ia pergi ke Majapahit untuk membalaskan dendam lama. Berdasar titah dari Raja Keling, cucu Siung Wanara yang memimpin Kerajaan Bonokeling. Ki Tolih terkenal sebagai maling sakti. Mata-mata yang sangat cerdik dan teliti. Menyamar menjadi apa saja tidak pernah ketahuan. Seorang yang terkenal sakti mandraguna tanpa tandingan.

Dengan kesaktiannya, Ki Tolih terbang menuju istana Majapahit dengan menaiki seekor burung garuda yang besar sekali. Melayang-layang di angkasa, menembus langit dan gumpalan awan. Matanya serupa panah yang siap membidik setiap arah. Dicermatinya seluruh kawasan Majapahit sebelum ia benar-benar turun dari langit.

”Begini sekarang istana Majapahit. Megah dan indah, sekaligus angker. Kadang terlihat kadang hilang. Ini pasti karena kesaktian sang raja. Namun saya tidak takut. Wahai Raja Majapahit, seberapa pun kehebatanmu, tak urung kau akan celaka di tanganku!” Dengan jemawa, Ki Tolih merasa bahwa rencananya akan berjalan sempurna.

Sementara itu, Raja Majapahit dengan mata batin yang waskita mengerti bahwa seseorang dengan niat jahat sedang meluncur ke arahnya. Ia mencium ada ancaman nyata. Lalu diperintahkannya seorang patih bernama Gajah Mada untuk berjaga sebelum si penjahat sampai di kerajaannya.

”Wahai Patih, saat ini juga, perintahkan rakyat untuk menutup setiap sumur yang mereka punya. Hati-hati dan jangan ada yang terlupa. Siapa yang tidak taat akan mendapatkan hukuman yang berat.” Sang prabu memerintahkan Gajah Mada tanpa memberikan alasan tepat.

Dengan mengernyitkan dahi, sang patih undur diri. Diumumkannya kepada seluruh sumur untuk ditutup sementara waktu. Sebagai kerajaan yang besar, dengan seorang raja yang dihormati, setiap ucapannya selalu diikuti. Sumur-sumur di seluruh penjuru kerajaan telah ditutup sebelum matahari redup.

Meski begitu, masih ada pertanyaan yang mengganjal di hati Gajah Mada. ”Gerangan apakah yang akan terjadi? Mengapa sang raja begitu keras perintahnya. Ah, akan saya coba sumur saya. Saya akan benar-benar jaga jangan sampai terlihat siapa juga.”

Setelah datang senja, bersiaplah Patih Gajah Mada. Ia bersembunyi di bawah pohon nagasari yang rindang, tak jauh dari sumur di halamannya. Dengan penuh hati-hati, matanya tajam mengawasi. Dengan sebuah tombak di tangannya, ia menunggu sesuatu yang membuatnya penasaran.

***

Langit mulai gelap, pandangan Ki Tolih dari atas sudah tidak begitu jernih. Maka segeralah Ki Tolih memerintahkan garuda turun, meluncur menuju istana Majapahit. Sang garuda terbang seperti angin bertiup untuk segera masuk ke dalam istana.

Belum genap mendekat ke istana, Ki Tolih merasa tiba-tiba kehilangan kesaktiannya. Tak ada kekuatannya sama sekali. Guna-guna miliknya menjadi sirna. Sang garuda pun dibuat bingung tak tahu arah. Beterbangan ke sana kemari tidak keruan sebelum akhirnya pasrah.

Keraton Majapahit yang wingit menjadi begitu menakutkan. Kerajaan seorang raja besar, raja yang mempunyai tuah, keturunan dari leluhur yang dikasihi Tuhan, Raja Brawijaya, pengaruhnya membuat celaka. Maka seluruh serangan tentu akan lumpuh. Begitu pun dengan Ki Tholih dan garudanya. Hatinya resah gelisah tidak keruan. Seluruh ilmunya hilang, lemas badannya. Sudah tak punya lagi keberanian. Ki Tolih pusing sekaligus sedih.

Sang garuda mulai lemas dan kehausan. Dicarinya pusat mata air di seluruh sisi kerajaan. Namun, tidak ada satu pun sumur yang kelihatan. Dalam keadaan seperti itu, Ki Tolih kehilangan tekadnya, konsentrasinya hanya diarahkan pada nasib garuda. Setelah lama mencari, ia melihat ada sebuah sumur di tengah halaman yang tidak ditutup. Terlihat begitu jernih berkilauan airnya. Turunlah segera sang burung ke sana untuk menyudahi dahaga.

Patih Gajah Mada bertanya dalam hati, sambil tetap sembunyi di bawah pohon nagasari. Ia melihat seekor burung yang sangat besar menuju ke arahnya. Sementara di atasnya ada seorang lelaki dengan keris di tangannya.

Gajah Mada bersiap, tombak di tangannya langsung diarahkan ke garuda, Ki Tolih seketika terjatuh dan tidak berdaya. Dalam keadaan lemah, Ki Tolih tidak mampu melawan Gajah Mada yang telah siaga. Ki Tolih menyerahkan diri, dan mengakui bahwa dirinya adalah seorang patih dari Kerajaan Bonokeling yang disuruh untuk membunuh raja. Gajah Mada merampas keris di tangannya dan membawanya menghadap sang raja.

***

Bagaimana mungkin ada seseorang yang tidak ingin dijodohkan dengan putri kerajaan? Bagaimana mungkin ada seseorang yang menolak diberi tanah kerajaan? Bagaimana mungkin ada seseorang yang secara sadar menolak hadiah sayembara yang ia perjuangkan?

Prabu Ardiwijaya tidak habis pikir dengan keputusan Ki Tolih yang menolak imbalan dari sayembara yang ia menangkan. Ki Tolih hanya meminta kerisnya dikembalikan, dan diberi kebebasan untuk melakukan kembara ke luar Majapahit.

Gajah Mada yang membersamai Ki Tolih menghadap raja pun dibuat heran. Lantaran tawanan kerajaan yang berubah menjadi pahlawan itu justru menolak hadiah sayembara yang direbutkan banyak orang.

Ki Tolih adalah satu-satunya orang yang dengan berani menaklukkan kuda kesayangan raja yang kemasukan dan kesetanan. Seekor kuda yang memorak-porandakan kerajaan. Menyerang setiap prajurit yang mencoba menghentikan.

Semua orang gagal menghentikan sang kuda yang semakin beringas dan buas. Hingga Ki Tolih merasa terpanggil untuk mengikuti sayembara. Sebab, sebagai sebuah tawanan, yang telah diberi ampunan, ia perlu membalas budi kepada kerajaan.

Atas ketajaman mata batinnya, Ki Tolih tahu bahwa kuda itu kemasukan sukma sang burung garuda. Maka ia izin untuk meminta tali kekang yang pernah ia gunakan untuk berpegangan pada garuda. Dengan penuh kehati-hatian ia berjalan seorang diri, menuju ke tengah alun-alun, tempat kuda sedang mengamuk.

Ki Tolih menjadi pusat perhatian. Seluruh warga yang hadir meremehkan Ki Tolih dan menebak bahwa langkahnya hanya akan mengantarkan nyawanya pada kematian. Tidak sedikit pula prajurit yang yakin bahwa Ki Tolih, si tawanan kerajaan itu, akan habis oleh sang kuda yang gila.

Dengan tenang, Ki Tolih tetap berjalan. Kuda menghampirinya untuk menyerang. Galak dan bengisnya terbaca. Ki Tolih waspada akan bahaya. Ia siagakan tali kekang di tangannya. Ketika kuda menggapai-gapai hendak menggigit, Ki Tolih dengan cepat memasukkan tali kekang ke mulut kuda. Cepat sekali sarung dibentangkan ke atas. Kemudian menutupi kepala kuda. Lalu diikat kencang dengan tali. Kuda pun mendadak jadi jinak dan tak buas lagi.

Seketika terdengar sorak-sorai dari seluruh penjuru. Ki Tolih bersyukur pada Tuhan yang membantunya menjinakkan kuda sang raja. Ia menuntun kuda menuju ke Gajah Mada. Sembari menyalami, Gajah Mada mengucapkan kekaguman atas keberanian dan kehebatan Ki Tolih. Lalu mengajaknya menghadap raja.

Meski tanpa warangka, keris itu kembali ke tangannya. Keris yang kelak menjadi pusaka kebesaran sebuah kota. Ki Tolih berpamitan kepada sang raja dan sang patih. Langit Majapahit begitu teduh, seperti suasana hati orang-orang yang menghadapi perpisahan yang haru. Ki Tolih berjalan keluar dari kerajaan, menuju suatu tempat yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu. Melewati sungai, lembah, gunung, dan hutan. Ki Tolih terus berjalan dengan terus melakukan laku kebatinan.

***

Sukarta semakin penasaran. Sebelum pertanyaannya tentang keberadaan keris Gajahendra disampaikan, Ki Sirun lebih dahulu menjelaskan bahwa dirinya tidak tahu. Ia mengambil napas panjang, ia empaskan, lalu meninggalkan Sukarta yang masih duduk terdiam dengan kepala yang berkecamuk ribuan pertanyaan. Ki Sirun tidak ingin menceritakan tentang keris pusaka yang kini telah hilang.

Bagaimana mungkin kota sebesar ini menjamas keris replika setiap perayaan hari ulang tahun? Bagaimana mungkin kota yang sarat dengan sejarah ini kehilangan pusaka kebesaran? Bagaimana mungkin semua orang di kota ini hanya bisa diam melihat ritual penjamasan pusaka sebatas formalitas? (*)

 

Pakoenegaran, 2022

---

*DIMAS INDIANA SENJA, Nama pena dari K.R.H.T. Dimas Indianto Sastrowinoto. Penulis, dosen, dan peneliti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Reh Pakoenegaran.

Editor: Ilham Safutra

Tags

Terkini

Cipung

Minggu, 28 Mei 2023 | 06:40 WIB

Cong Li di Bulan Mei

Minggu, 21 Mei 2023 | 11:44 WIB

Palasik

Minggu, 14 Mei 2023 | 06:30 WIB

Gunung Batu

Minggu, 7 Mei 2023 | 08:21 WIB

Gema Takbir Bukit Tigapuluh

Sabtu, 29 April 2023 | 15:00 WIB

Sima

Sabtu, 15 April 2023 | 16:00 WIB

Jama’ Taksir

Sabtu, 8 April 2023 | 16:00 WIB

Monolog Ken Dedes

Minggu, 2 April 2023 | 10:17 WIB

Sebelum Hari Itu

Minggu, 26 Maret 2023 | 02:00 WIB

Piagam

Sabtu, 18 Maret 2023 | 16:00 WIB

Antara El Bicho dan Kasidah

Minggu, 12 Maret 2023 | 08:11 WIB

Ayam Putih Terbang Siang Tak Pulang-Pulang

Minggu, 5 Maret 2023 | 07:28 WIB

Pak Jarot

Sabtu, 25 Februari 2023 | 19:06 WIB

Ingin Jadi Olenka

Minggu, 19 Februari 2023 | 08:30 WIB

Kaukah Yang Menyuruhku Pulang?

Minggu, 12 Februari 2023 | 08:57 WIB

Jaka Tingkir Ingkar Janji

Minggu, 5 Februari 2023 | 07:55 WIB

Mei Salon

Minggu, 29 Januari 2023 | 06:57 WIB

Seperti Kelinci yang Dililit Ular Sanca

Minggu, 22 Januari 2023 | 07:19 WIB

Bisikan-Bisikan

Minggu, 15 Januari 2023 | 07:00 WIB

Keris Gajahendra

Minggu, 8 Januari 2023 | 07:17 WIB
X