JawaPos.com - BPJS Ketenagakerjaan Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) membayarkan klaim total sebesar Rp 94,412 miliar selama tahun 2018 kemarin. Itu untuk kategori jaminan kecelakaan kerja saja.
"Kami membayar Rp 94,412 miliar untuk membayar orang kecelakaan. Ini angka yang sangat banyak, namun memang harus begitu. Ketika terjadi kecelakaan, kami yang bayarkan," kata Deputi Direktur Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Jateng-DIJ, Moch Triyono saat dijumpai di kantor BPJS Ketenagakerjaan Semarang, Rabu (30/1).
Total sebanyak Rp 94,412 miliar ini berasal dari 19.822 kasus kecelakaan kerja se-Jateng dan DIJ. "Kita harus cadangkan, ketika terjadi risiko kami yang bayarkan. Saya ingatkan, kelas 1 rumah sakit pemerintah dan tanpa batas," sambungnya.
Menurutnya, rating tertinggi kecelakaan kerja terjadi di jalanan atau kala berlalu lintas. Saat sedang berangkat atau pulang kerja maupun saat sedang bekerja, khususnya bagi pekerja lapangan.
Triyono mengungkapkan, pihaknya selalu mewanti-wanti perusahaan untuk tak mengabaikan kewajibannya dalam menyertakan karyawannya ke BPJS Ketenagakerjaan. Kalau tidak, mereka sendiri yang akan rugi karena harus menanggung semua risiko pekerjanya.
Bagi pekerja, meskipun sudah diikutsertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan, tak ada alasan untuk lebih memilih terlibat kecelakaan. Berhati-hati dalam bekerja adalah yang utama.
Ada pula klaim sebesar Rp 85,07 miliar yang berasal dari 3.167 jaminan kematian. "Ini paling tidak sudah mencoba mengurangi jangan muncul kemiskinan. Pencari nafkah boleh meninggal, tapi ahli waris jangan menjadi miskin," kata Triyono lagi.
Sementara, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Wika Bintang menyebut ada tren penurunan pada kasus kecelakaan kerja. Utamanya pada bidang industri yang memang dalam pantauan pihaknya.
Selama tahun 2018, tercatat ada penurunan sebanyak 48 persen pada kecelakaan kerja dibanding tahun sebelumnya. Dari sebanyak 3.083 kasus menjadi 1.468 kasus saja. Terbanyak pada pekerjaan pada risiko tingkat tinggi, semacam bidang konstruksi.
"Itulah mengapa kita tekankan pentingnya APD (Alat Pelindung Diri). Yang terakhir di Batang, itu di ketinggian tanpa APD. Berpikiran sudah biasa jadi nggak pakai. Nggak cuma itu, operator jahit juga wajib pakai APD, masker. Yang namanya kesehatan itu bukan berarti dia sehat terus, bisa mereka kena debu atau sisa-sisa benang. Rasa sakit bukan sekarang atau besok, bisa tiga atau lima tahun lagi," imbuhnya.