Minggu, 2 April 2023

Tionghoa dalam Sejarah Gelap 1965

- Selasa, 3 Oktober 2017 | 15:46 WIB
Munawir Aziz
Munawir Aziz

DI tengah arus isu 1965, orang-orang Tionghoa di negeri ini mengingat sejarah kelam yang menghantui. Ingatan atas sisi gelap masa lalu, yang menjadi dinamika bangsa ini, menjadikan orang-orang Tionghoa berada di tepian sejarah. Anyir darah pada 30 September 1965 membawa dampak panjang bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia.


Pada tahun ini, isu 1965 kembali bergulir kencang dengan gelombang ingatan yang diwariskan, baik mereka yang mencari fakta atas kebenaran sejarah maupun kelompok yang berusaha meneruskan mitos atas ragam peristiwa 1965–1966. Mitos-mitos di panggung kekuasaan dan politik pengetahuan yang melingkupi peristiwa gelap pada 1965 terus berkelebat dalam perdebatan publik maupun interaksi media sosial.


Pada gelombang isu 1965, penulis ingin menghadirkan refleksi bagaimana orang-orang Tionghoa sebenarnya menjadi korban represi kekuasaan dalam pelbagai lipatan peristiwa. Dalam catatan sejarah negeri ini, pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa kerap terjadi. Historiografi Nusantara mencatat betapa kebijakan-kebijakan diskriminatif kerap memaksa warga Tionghoa menanggung getah dari manuver politik penguasa. Diskriminasi itu muncul pada masa kolonial hingga masa pemerintahan Soeharto berkuasa di negeri ini. Rezim kolonial dan kekuasaan represif Soeharto memiliki kemiripan pada dimensi kebijakan yang menghantam komunitas Tionghoa.


Kebijakan diskriminatif penguasa atas komunitas Tionghoa di negeri ini tercatat pada peristiwa 1740 di Batavia yang mendorong terjadinya Perang Cina (Geger Pacinan). Sekitar 10.000 orang Tionghoa dibantai VOC yang dikomando Jenderal Valckenier. Dari kekejaman ini, orang-orang Tionghoa melarikan diri ke beberapa kota pesisir Jawa, di antaranya di Cirebon, Semarang, Lasem, dan beberapa kota lain. Mereka menyusun kekuatan, beraliansi dengan warga pribumi dan kalangan santri, untuk melawan kekuatan VOC yang represif.


Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan passenstelsel dan wijkenstelsel untuk mencegah orang Tionghoa berinteraksi dengan warga secara luas. Mereka akhirnya menghuni ghetto-ghetto, yang kemudian memunculkan kawasan pecinan di berbagai kota, akibat dari kebijakan wijkenstelsel (Staatblad 1919 No 180). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menerapkan passenstelsel pada 1816 mengharuskan orang Tionghoa harus membawa pass jalan jika hendak melangsungkan perjalanan ke luar daerah.


Sejarah Gelap 1965
Orang-orang Tionghoa sering terkucilkan dari panggung kekuasaan negeri ini. Padahal, mereka juga turut berjuang untuk kemerdekaan. Laksamana John Lie Tjeng Tjoan (1911–1988) menjadi satu dari sekian pejuang Tionghoa yang memiliki jiwa nasionalis yang kukuh. Sayang, orang-orang Tionghoa sering menjadi kambing hitam kekuasaan, terutama pada masa Orde Baru.


Di tengah arus 1965, warga Tionghoa di negeri ini terjepit oleh kekuasaan represif. Rezim Soeharto, pada 1965, meluncurkan kebijakan pemaksaan asimilasi bagi warga Tionghoa. Kebijakan itu memaksa warga Tionghoa di negeri ini melepaskan kebudayaan dan meminggirkan bahasa Mandarin dalam percakapan keseharian. Di sektor pendidikan, pemerintah menutup semua sekolah yang berbahasa Mandarin serta menggiring anak-anak Tionghoa belajar di sekolah yang berbahasa Indonesia. Instruksi Presiden (Inpres) No 14 Tahun 1967 menjadi palu godam bagi kebebasan Tionghoa untuk mengekspresikan identitas dan kulturnya.


Penggunaan aksara Mandarin juga dilarang, serta secara paranoid, melarang impor barang cetak berbahasa Mandarin. Pemerintah juga melarang perayaan tahun baru Imlek karena dianggap terkait langsung dengan kebudayaan Tionghoa. Dengan demikian, di bawah kendali rezim Soeharto, orang-orang Tionghoa tersingkirkan, terdiskriminasi di ruang publik, hingga terjepit ketika ingin mengekspresikan kebudayaan. Diskriminasi itu berlangsung sekitar 30 tahun, dalam bentang waktu pemerintahan Soeharto.


Pada 1968, pemerintah mengeluarkan traktat, mengimbau warga Tionghoa di negeri ini mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan kesetiaan kepada negara. Warga Tionghoa tidak bisa menghindar dari kebijakan itu karena kebijakan rezim Soeharto yang merasuk dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan, ketika mengurus dokumen-dokumen, baik personal maupun untuk usaha, sering sekali warga Tionghoa menjadi korban pemerasan.


Aimee Dawis menyebut bahwa kebijakan represif rezim Soeharto mengakibatkan warga Tionghoa mengalami guncangan kepribadian yang mengkhawatirkan. ”… Keadaan politik, ekonomi, dan sosial di negeri ini telah menceburkan generasi Indonesia Tionghoa yang lahir sesudah tahun 1966 ke dalam krisis jati diri abadi. Mereka telah menjadi lebih Indonesia sebagai akibat asimilasi yang dipaksakan…” (Dawis, 2010:2).


Pasca 1965, warga Tionghoa di negeri ini mengalami tekanan dari penguasa. Rasialisme terhadap orang Tionghoa meningkat tajam karena pemerintah China (RRC) dianggap sebagai sponsor utama dari peristiwa gelap 30 September 1965. RRC dituduh mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Hingga, warga Tionghoa yang tidak terafiliasi dengan PKI juga kena getahnya.


Segala sesuatu yang berbau Tiongkok disingkirkan rezim Soeharto yang menjadi penguasa di ujung sisa kehidupan Soekarno (Wijayakusuma, 2005:213). Dari sisi gelap itu, muncul dikotomi antara pribumi dan nonpribumi sebagai politik strata demografis yang diembuskan dari lorong kekuasaan. Warga Tionghoa disingkirkan dari ruang publik dengan kebijakan-kebijakan represif yang diterapkan Soeharto ketika menduduki singgasana kekuasaan.


Bagaimana saat ini? Orang Tionghoa patut bersyukur dengan dukungan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengeksekusi kebijakan untuk melepas represi politik. Kebijakan-kebijakan Gus Dur sangat membantu kelompok minoritas mendapatkan hak untuk bersuara dan mengekspresikan identitasnya. Namun, saat ini masih ada suara-suara negatif yang menyandingkan Tionghoa dengan PKI maupun komunisme. Konten-konten hoax yang beredar di media sosial menimbulkan kecurigaan terhadap orang Tionghoa yang tidak berdasar.


Namun, orang-orang Tionghoa di Indonesia juga harus sadar betapa kesenjangan ekonomi dan sosial yang demikian lebar dapat memantik keresahan publik. Perlu ada jembatan komunikasi dan kerja bersama agar tercipta ekuilibrium ekonomi dan sosial sehingga kesenjangan semakin mengecil. Inilah kerja bersama yang harus segera diwujudkan agar fitnah dan gesekan sosial-politik tidak menjadi ledakan kekerasan, seperti peristiwa 1965 dan 1998 di negeri ini. Kita harus bergerak bersama untuk kemaslahatan bangsa ini. (*)

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

Pengendalian Pandemi dan Penyaluran Likuiditas

Minggu, 16 Mei 2021 | 20:38 WIB

Menjadi Umat Terbaik Sepanjang Masa

Jumat, 14 Mei 2021 | 21:02 WIB

Korona, Mudik, dan Nostalgia yang Hancur

Kamis, 13 Mei 2021 | 19:48 WIB

Peluang dari Perang Dagang

Selasa, 25 Juni 2019 | 17:18 WIB

Inovasi Pengawasan Pemilu

Selasa, 16 April 2019 | 18:16 WIB

Awal Tahun, Investasi Mengalir

Selasa, 5 Februari 2019 | 14:46 WIB

Dia Yang Membela Kemanusiaan

Sabtu, 2 Februari 2019 | 12:25 WIB

Petunjuk Memilih Presiden

Sabtu, 26 Januari 2019 | 10:25 WIB

Pilpres dan Politik Ekologi

Sabtu, 19 Januari 2019 | 12:13 WIB

Amerika si Penabuh Gendang

Selasa, 8 Januari 2019 | 13:47 WIB

Tahun Baru 2018

Senin, 1 Januari 2018 | 19:17 WIB

Menutup Tahun, Mengintrospeksi Bangsa

Jumat, 29 Desember 2017 | 19:14 WIB

Darurat Kesehatan Generasi Emas

Kamis, 28 Desember 2017 | 19:35 WIB

Meneruskan Perjuangan Gus Dur

Kamis, 28 Desember 2017 | 08:25 WIB

Saatnya Damai Itu Tercipta

Rabu, 27 Desember 2017 | 18:58 WIB

Refleksi Ekonomi Syariah 2017

Jumat, 22 Desember 2017 | 21:42 WIB

Ibu, Kid Zaman Now, dan Karakter Bangsa

Jumat, 22 Desember 2017 | 20:59 WIB

Berebut Jalan Lurus

Jumat, 22 Desember 2017 | 20:36 WIB

Aspek Politik KLB Difteri Indonesia

Selasa, 19 Desember 2017 | 19:35 WIB
X