KONTEN video yang diunggah pesohor (influencer) di media sosial (medsos) kembali bikin gaduh. Erdian Aji Prihartanto, yang lebih dikenal dengan nama Anji, belakangan ini aktif sebagai influencer medsos. Melalui akunnya di Dunia Manji, Anji mengunggah konten video percakapan bersama Hadi Pranoto yang mengaku seorang profesor yang menemukan obat penyembuh Covid-19. Video di laman YouTube Anji ini dinilai oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengandung informasi sesat.
Dalam video berdurasi sekitar 30 menit itu, Hadi Pranoto yang mengaku sebagai pakar mikrobiologi dan dipanggil Anji dengan sebutan ’’profesor’’ dan beberapa kali ’’dokter’’ itu mengklaim sejumlah obat herbal temuannya mampu menyembuhkan pasien Covid-19 dalam hitungan hari. Sementara Ketua IDI dr Daeng Faqih, seperti dikutip banyak media, mengatakan bahwa informasi yang disampaikan Hadi Pranoto sebagai informasi bohong (hoax) yang dapat memberi harapan palsu dan menyesatkan masyarakat.
Medsos sejumlah pesohor memang punya banyak pengikut. Jumlah pengikut (subscriber) medsos penyanyi Anji mencapai 3,6 juta di YouTube dan 2,1 juta di Instagram. Pesohor lain seperti Atta Halilintar memiliki pengikut setia puluhan juta orang. Begitu perkasanya pesohor medsos, sampai pada Juli lalu Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah figur publik dan pesohor medsos ke istana. Presiden meminta para influencer turut menyosialisasikan protokol Covid-19 ke masyarakat.
Tersingkirnya Kepakaran
Para ahli yang secara akademik dan kapasitasnya sudah teruji justru kalah dengan para pakar gadungan yang bermunculan di medsos. Hal ini bisa terjadi karena melalui kemajuan teknologi komunikasi saat ini siapa saja bisa menjadi apa saja dalam waktu yang instan. Orang awam bisa jadi dalam sekejap menjadi layaknya profesor berilmu tinggi. Lewat beragam mesin pencari (search engine) seperti Google, orang bisa mencari dan menemukan berbagai informasi yang benar maupun yang palsu.
Fenomena ini oleh Tom Nichols, seorang profesor di US Naval War College, disebut sebagai era matinya kepakaran. Nichols (2017) dalam bukunya, The Death of Expertise, menjelaskan bahwa matinya kepakaran merupakan sebuah kondisi ketika semua orang bisa merasa mengetahui semua hal walaupun sejatinya mereka tak memiliki keahlian dan kompetensi. Munculnya pakar-pakar karbitan ini turut menjadikan informasi terkait Covid-19 semakin keruh. Kekeruhan ini cukup mengganggu masyarakat dalam menemukan kejernihan informasi Covid-19.
Lebih jauh Nichols mengatakan bahwa matinya kepakaran menjadi sebuah keniscayaan. Perkembangan teknologi, terutama smartphone dan medsos, telah membuat setiap orang bisa menjadi atau merasa dirinya pakar. Ilmu pengetahuan dan teknologi tak lagi didominasi hanya oleh orang-orang pintar sekelas doktor dan profesor. Para pakar yang dulu menjadi rujukan banyak orang karena ilmu dan keahliannya kini tak berdaya. Siapa saja sekarang bisa menjadi pakar.
Kondisi ini sangat berbahaya, terutama terkait penanganan Covid-19. Tak jarang para ahli yang kredibel justru kalah cepat dengan profesor gadungan yang viral di medsos. Apalagi ketika informasi resmi dari pemerintah terkesan lamban dan tak jelas. Celah kekosongan informasi justru diisi oleh para pembuat konten medsos. Alih-alih mau mendidik masyarakat, tak jarang konten medsos justru melakukan pembodohan dan penyesatan masyarakat.
Di medsos memang memungkinkan siapa saja bisa membuat konten. Konten buatan pengguna (user generated content) merupakan keunggulan medsos. Di medsos terjadi posisi yang kabur antara komunikator dan komunikan, antara pakar dan awam, antara yang benar dan yang keliru. Melalui medsos, kepalsuan dan kebohongan bercampur hingga sulit dipilah dan ditemukan yang benar. Yang jamak terjadi, tak sedikit orang memercayai yang abal-abal hanya gara-gara telanjur viral. Kekuatan medsos menggemakan (echo chamber effect) informasi yang sangat kuat.
Melawan Duodemi
Ketika pandemi masih belum teratasi, bersama itu pula muncul infodemi. Infodemi adalah munculnya informasi yang tak jelas kebenarannya dalam jumlah yang masif dan beredar terus-menerus. Munculnya duodemi ini sesungguhnya sangat berbahaya. Sepintas sepertinya pandemi yang lebih mematikan. Sebenarnya infodemi juga tak kalah berbahaya bagi masyarakat. Melalui beragam informasi tak benar dapat menyesatkan orang. Infodemi telah membuat masyarakat mengalami ketakutan berlebihan dan ada juga yang justru meremehkan pandemi.
Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat terdapat 544 hoax terkait Covid-19 sepanjang Januari hingga awal Agustus 2020 ini. Di antaranya, hoax terkait klaim obat yang sudah menyembuhkan ribuan orang dengan dua atau tiga hari pemakaian. Ada juga klaim bahwa vaksin justru merusak organ tubuh. Hoax dan teori konspirasi di seputar vaksin juga berpotensi membuat masyarakat menolak program vaksinasi. Maraknya infodemi berperan menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat pada protokol kesehatan.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut fenomena infodemi telah menjadi masalah global. Infodemi bisa memengaruhi perilaku masyarakat di tengah kondisi obat dan vaksin yang belum ditemukan. Hasil riset Julii Bainard dan Paul Hunter dari University of East Anglia Inggris menyimpulkan bahwa misinformasi kesehatan dapat membuat wabah suatu penyakit menjadi lebih parah. Orang yang memercayai informasi bohong cenderung tak mau melindungi diri mereka sehingga mempersulit penanganan wabah.
Sejumlah pihak sebenarnya mampu berperan turut memperbaiki keadaan buruk ini. Salah satunya adalah lewat para pesohor medsos. Kesadaran para pesohor bahwa pengaruh dirinya sangat kuat di masyarakat sangat penting agar tumbuh sikap hati-hati sebelum mereka memposting sesuatu. Para pesohor hendaknya tak hanya berfikir yang penting viral, namun juga harus mengedepankan etika dan kemanfaatan dari konten yang akan disebar ke masyarakat.
Para influencer medsos hendaknya mampu menahan diri untuk tak berkomentar di luar kompetensinya. Para pesohor tak elok hanya menguber hits, jumlah viewer, follower, dan subscriber semata, namun juga sangat penting memikirkan implikasi dari konten yang diproduksi dan diviralkan. Tanggungjawab para pesohor sangat besar dalam turut membantu penanganan pandemi Covid-19 saat ini. Para pesohor medsos mestinya bisa memberikan keteladanan bagaimana seharusnya menyajikan informasi yang baik dan benar. (*)
*) Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).