Cianjur Bermula, Satu Kali Lagi
Tembang Cianjuran lamat-lamat mengalun dari langit yang jauh,
memanggil kenangan akan hijau sawah,
Hamparan butir padi yang bernas, juga cerita
tentang kuda kosong dan kerendahhatian memulai satu wilayah baru
Butir padi, lada, dan cabai, tiga penanda
Upeti dari muasal sebuah kota
Pada mulanya hormat dan kebanggaan,
Keris, kuda kerajaan, dan pohon Saparantu menjadi tonggak almanak
Menandai sejarah diplomasi tingkat tinggi
Sejak itu hingga bertahun-tahun kemudian,
Cianjur tak pernah henti melakukan pembuktian
sebagai kota dengan sederet kelebihan
Kemudian tiba jua tahun yang di dalamnya orang-orang
gagap diserang serbuan teknologi,
saat akses informasi khusyuk bersemi di masa pandemi
Siang masih terik memanggang ketika
Anak-anak pergi mengaji, sebagian tidur siang,
melekatkan impian masa depan pada doa-doa
Lalu orang-orang berhamburan saat bumi berguncang,
meneriakkan kata yang mengerikan
dari sebuah bala: gempa!
Kota menjadi hibuk, dinding-dinding rumah dan jalanan
menjelma ombak paling lantak,
tanah retak melebar membanting-angkat-rebahkan
segala kehidupan di atasnya,
menjungkirkan rumah satu-dua-tiga lantai,
melesakkan atap sampai dasar bumi tanpa kecuali
Orang-orang kalang kabut menyelamatkan diri,
mengabaikan segala harta yang tak mungkin bisa turut serta
Sebab jiwa masih utama, bersahutanlah
pecah tangis ibu yang kehilangan anaknya,
rengekan balita yang kebingungan di tengah tidur siangnya,
seruan ayah yang bersegera mengamankan segalanya
Lalu hening. Lalu zikir. Lalu isak tertahan.
Lalu kesadaran: kita tidak mungkin menghindar
Pada hari lain setelahnya, terpal-terpal dibentangkan,
tenda dan selimut diupayakan,
ransum makanan tidak lagi kenal siapa miskin siapa kaya,
terus beredar sejak matahari terbit hingga tenggelam
Yang tertinggal kini rasa senasib sepenanggungan.
Dan
beginilah cerita seorang kakek dari salah satu desa
menusuk-nusuk dada:
Rumahnya diterjang tarian gempa,
melumpuhkan harapan hidup panjang
setelah kakinya ditopang alat bantu jalan
sementara kursi roda tua teronggok di beranda
berpeluk dengan puing-puing atap
Tetangganya tak kalah malang, dua anak balita
tertidur di alas tikar, setelah letih meraung
mencari boneka kesayangan,
kemudian mengulang pertanyaan:
kapan kita meninggalkan pengungsian?
Perempuan tua sibuk membongkar isi karung,
Dicarinya daster ukuran besar bagi rasa sabar
Setelah anak-cucu tertimbun reruntuhan
dan mengulur waktu dimakamkan demi menunggu kain kafan
Kota riuh dengan suara ambulans
Antara kecemasan dan kengerian bersepadan
bagi dukana yang entah di mana ujungnya
Semboyan ’’Ngaos, Mamaos, dan Maenpo” kebanggaan
sementara harus menunggu kota menata diri
hingga hitungan entah berapa purnama lagi
setelah gempa menggebrak kesadaran:
jika Tuhan menginginkan,
yang telah ada dikembalikan pada ketiadaan
Namun sejak mula Cianjur adalah bukti,
Sebuah kota berdiri dari yang tiada menjadi ada
Maka yakinlah, Tuhan menciptakan
tangan dan hati kita untuk bergandengan
membangun kota yang lumpuh dan mati suri
Demi Cianjur bermula, satu kali lagi.
---
RATNA AYU BUDHIARTI, Menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, fiksi mini, dan beberapa naskah drama. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Korea, dan Rusia.