Minggu, 4 Juni 2023

Bahasa Kebangkitan Desa

- Kamis, 25 Mei 2023 | 11:31 WIB
A. Halim Iskandar
A. Halim Iskandar

PULUHAN tahun desa dianggap unit pemerintahan terkecil sehingga mendapat prioritas perhatian yang lebih kecil pula dari negara. Secara administratif, status desa memang demikian. Tetapi, pembangunan desa harus menjadi prioritas mengingat posisi dan status hukum desa dalam konstitusi kita. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya menyebut desa/kampung sebagai daerah kecil yang memiliki susunan asli dan karenanya dianggap istimewa. Kemudian desa memperoleh perhatian semakin serius dan semakin besar sejak adanya Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Memperoleh amanah dari Presiden Joko Widodo untuk menjabat menteri desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi membuat saya pun mempunyai kesempatan untuk mewacanakan desa sebagai beranda depan pembangunan negara kita di berbagai pertemuan formal. Seperti forum para akademisi ataupun forum desa dan juga melalui tulisan-tulisan di media massa yang dapat dibaca umum.

Agar wacana desa sebagai beranda depan pembangunan lebih akseleratif, saya merumuskan kebijakan berupa Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang mengatur dan mengarahkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa untuk mencapai 18 tujuan SDGs Desa. Yaitu (1) desa tanpa kemiskinan, (2) desa tanpa kelaparan, (3) desa sehat dan sejahtera, (4) pendidikan desa berkualitas, (5) keterlibatan perempuan desa, (6) desa layak air bersih dan sanitasi, (7) desa berenergi bersih dan terbarukan, (8) pertumbuhan ekonomi desa merata, (9) infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan, (10) desa tanpa kesenjangan, (11) kawasan permukiman desa aman dan nyaman, (12) konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan, (13) desa tanggap perubahan iklim, (14) desa peduli lingkungan laut, (15) desa peduli lingkungan darat, (16) desa damai berkeadilan, (17) kemitraan untuk pembangunan desa, dan (18) kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.

Baca Juga: 4 Penyebab Pencemaran Tanah yang Terjadi di Kehidupan Sehari-hari

SDGs Desa adalah upaya mengarusutamakan narasi pembangunan desa yang puluhan tahun sebelumnya berada di pinggiran, dengan membawanya ke tengah wacana. Sebagai wacana baru pembangunan desa, SDGs Desa disusun agar juga dapat menjadi ”bahasa kebijakan“ yang mudah dipahami oleh pemangku-pemangku kepentingan pembangunan desa. Dengan demikian, SDGs Desa disusun bukan semata-mata karena mandatory dari konsekuensi ratifikasi Indonesia terhadap dokumen Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs).

Ketika seseorang mengucap ”SDGs Desa”, yang terbayang di benaknya adalah 18 tujuan yang hendak diperjuangkan dan diwujudkan untuk desa. SDGs Desa akhirnya menjadi bahasa kebangkitan desa, dengan melokalkan tujuan pembangunan global dan nasional, yang mencakup aspek kewargaan, kewilayahan, dan kelembagaan desa untuk diletakkan pada konteks budaya desa sekaligus mengarifi kekhasan pembangunan desa-desa seluruh Indonesia.

Rahmah Ida, guru besar pertama studi media di Indonesia, menyimpulkan bahwa medium bahasa (verbal maupun nonverbal) digunakan pembuat wacana (yang merupakan hasil olah pikir dan tindakannya) untuk merepresentasikan realitas. Pada praktiknya, bahasa pun menjadi medium pendorong perubahan terhadap realitas atau penciptaan realitas baru.

Tak heran di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, wacana antikolonialisme dicetuskan melalui bahasa dalam slogan-slogan pembangkit perlawanan rakyat, seperti ”merdeka 100 persen” (Tan Malaka), ”merdeka atau mati” (Jenderal Sudirman), ”revolusi belum selesai” (Bung Karno), dan ”resolusi jihad” (KH Hasyim Asy’ari).

Baca Juga: Empat Ganda Campuran Lolos 16 Besar, Lawan Berat Sudah Menanti

Kini bahasa kebangkitan desa itu mulai menunjukkan hasilnya. Capaian tertinggi SDGs Desa adalah tujuan ke-7; desa berenergi bersih dan terbarukan, tujuan ke-16; desa damai berkeadilan, dan tujuan ke-1; desa tanpa kemiskinan.

Lompatan kemandirian desa yang dicapai selama penyaluran dana desa langsung ke desa adalah nyata. Dana desa sepanjang 2015 hingga 2022 sebesar Rp 468 triliun lebih melesatkan desa mandiri meningkat dari 174 desa menjadi 6.238 desa. Desa maju bertambah dari 3.608 desa menjadi 20.249 desa. Desa berkembang meningkat dari 22.882 desa menjadi 33.902 desa. Desa tertinggal dan desa sangat tertinggal terus berkurang, dari 33.592 desa tertinggal berkurang menjadi 9.584 desa, dan desa sangat tertinggal turun dari 13.453 menjadi 4.982 desa.

Kini, berdasar kebijakan prioritas penggunaan dana desa yang dikeluarkan Kemendes PDTT, data desa menuntun desa memanfaatkan dana desa untuk mencapai 18 tujuan desa. Tahun 2022, sebesar Rp 25.451.178.789.227 atau 37,43 persen dana desa telah dimanfaatkan desa untuk mencapai tujuan SDGs Desa ke-1 desa tanpa kemiskinan, sebesar Rp 11.062.158.009.384 atau 16,27 persen dana desa untuk mencapai tujuan ke-3 desa sehat dan sejahtera, sebesar Rp 8.708.299.604. 454 atau 12,81 persen dana desa dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian tujuan ke-2 desa tanpa kelaparan, sisanya terdistribusi untuk mendukung pencapaian 15 tujuan SDGs Desa lainnya.

Baca Juga: Gercep! Bobby Nasution Langsung Sidak Kondisi Drainase Setelah Dapat Info dari Kepling, Camat Kena Tegur!

Lantaran wilayah 75.265 pemerintahan desa itu mencakup 91 persen wilayah pemerintahan Indonesia, dan 214 juta warga desa hasil pendataan Indeks Desa Membangun (IDM) Kementerian Desa PDTT mencakup 71 persen penduduk Indonesia, SDGs Desa akan menentukan 84 persen pencapaiannya pada 2030. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang semakin progresif memandirikan desa akan memajukan negara Indonesia. Dan SDGs Desa telah menjadi bahasa kebangkitan desa sekaligus praktik mengistimewakan desa dan warga desa. (*)

Halaman:

Editor: Dhimas Ginanjar

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Agar Pancasila Tak Gegar Digital

Jumat, 2 Juni 2023 | 19:50 WIB

Benang Kusut Urusan Pilpres 2024

Kamis, 1 Juni 2023 | 19:45 WIB

Pendampingan Calon Jemaah Haji Lansia

Selasa, 30 Mei 2023 | 19:50 WIB

Revolusi Mental Belum Selesai

Selasa, 30 Mei 2023 | 09:22 WIB

NU-Muhammadiyah dan Kepemimpinan Profetik

Senin, 29 Mei 2023 | 19:45 WIB

Pasca-Lebaran Makin Mumet

Minggu, 28 Mei 2023 | 11:32 WIB

Pemilu dan Tanggung Jawab Politik Korporasi

Jumat, 26 Mei 2023 | 19:50 WIB

Bahasa Kebangkitan Desa

Kamis, 25 Mei 2023 | 11:31 WIB

Membangun Emosi dan Simpati Pemilih 2024

Selasa, 23 Mei 2023 | 19:45 WIB

Pesantren dan Politik Keumatan

Senin, 22 Mei 2023 | 18:45 WIB

Lanturan

Minggu, 21 Mei 2023 | 15:00 WIB

Parenting Menumbuhkan Inovasi

Jumat, 19 Mei 2023 | 10:46 WIB

Respons Aparat terhadap KKB

Rabu, 17 Mei 2023 | 19:16 WIB

Menyoal Tanggung Jawab Jamsostek

Selasa, 16 Mei 2023 | 08:00 WIB

Hexagon Nation Branding di KTT ASEAN

Senin, 15 Mei 2023 | 19:48 WIB

ASEAN dan Pribumi Malas

Minggu, 14 Mei 2023 | 15:50 WIB

Fikih Peradaban untuk Kemanusiaan

Jumat, 12 Mei 2023 | 19:48 WIB
X