Puisi, Perempuan, dan Demokrasi Amerika

Oleh ACHMAD MUNJID*
31 Januari 2021, 17:04:06 WIB

Ke-46 Joe Biden pada 20 Januari 2021, penampilan yang paling memikat khalayak adalah pembacaan puisi oleh Amanda Gorman.

BUKAN cuma penampilan penyair perempuan kulit hitam berusia 22 tahun itu yang cemerlang. Butiran pemikiran dalam puisinya itu juga menggugat nalar lazim tentang demokrasi.

Sastra dan Politik

Ketika bertemu Harriet Beecher Stowe pada 1862, dengan maksud memuji, Abraham Lincoln bercanda, ’’Jadi, rupanya Anda perempuan kecil penulis buku yang telah mengakibatkan perang besar ini.’’ Stowe menulis novel Uncle Tom’s Cabin yang terbit pada 1852 berdasar otobiografi seorang budak, The Life of Josiah Henson, Formerly a Slave, Now an Inhabitant of Canada as Narrated by Himself (1849).

Pengisahan kehidupan budak dalam karya Stowe itu –dicetak ulang oleh 17 penerbit dan menjadi buku terlaris kedua di Amerika setelah Injil pada abad ke-19– mendorong radikalisasi orang kulit putih di wilayah utara dalam menentang perbudakan. Keputusan Presiden Lincoln untuk menghapus perbudakan juga makin kukuh setelah membaca novel itu. Perang sipil pun pecah ketika negara bagian di wilayah selatan mengangkat senjata melawan pemerintahan Lincoln.

Betapapun, rasisme adalah ’’dosa asal’’ Amerika. Bahkan, seabad setelah perbudakan resmi dihapus, Martin Luther King, tokoh kulit hitam peraih Nobel Perdamaian, harus kehilangan nyawa pada 1968 karena memperjuangkan kesetaraan hak-hak sipil warganya.

Toni Morrison, novelis perempuan kulit hitam Amerika, pun menjadi saksi betapa kaumnya terus menjadi korban rasisme sistemik dan menanggung trauma kolektif lintas generasi. Ketika novel pertamanya, The Bluest Eye, selesai ditulis pada 1965, tak ada penerbit yang mau menerimanya. Kenapa?

Ia menulis kisah yang ingin dibacanya, tapi tak kunjung bisa ditemukan. Yakni, tentang nestapa terampasnya kemanusiaan kaum kulit hitam, khususnya perempuan, akibat rasisme di tengah bangsa yang dikenal dunia sebagai kampiun demokrasi. Setelah terlunta-lunta, sebagaimana tokoh protagonis dan kenyataan hidup warga kulit hitam, novel itu akhirnya terbit lima tahun kemudian. Morrison tak menyerah dan terus berkarya.

’’Siapa yang tak paham sastra dicekal karena ia menginterogasi, direndahkan karena ia kritis, diberangus karena memberikan alternatif… Kita akan mati. Mungkin itulah makna hidup ini. Tapi, kita berbahasa. Dengan itulah mungkin hidup kita diukur,’’ kata Morrison ketika berpidato menerima hadiah Nobel Sastra pada 1993.

Perempuan dan Demokrasi

Untuk menulis puisi upacara pelantikan Biden, Amanda Gorman menggali mutiara pemikiran dari pidato tokoh-tokoh Amerika, termasuk Abraham Lincoln dan Martin Luther King Jr. Ketika setengah jalan, kerusuhan berdarah di Gedung Capitol dilakukan pendukung Donald Trump pecah pada 6 Januari 2021. Peristiwa antidemokrasi itulah yang memberikan bentuk akhir puisinya.

Ketika Gorman berumur 10 tahun, Obama menjadi presiden. Tapi, kepresidenan Obama mengusung paradoks. Di satu sisi, Gorman menyaksikan bukti mimpi Amerika bahwa peluang dan sukses terbuka bagi setiap orang. Di sisi lain, ia juga menyaksikan betapa rasisme, terutama kebencian orang kulit putih terhadap kulit hitam, justru mengeras. Lebih-lebih setelah Trump naik.

Berkat dukungan ibunya, seorang guru SD, Gorman yang masa kecilnya kesulitan bicara kemudian rajin menulis puisi sejak umur 6 tahun. Ia terpilih sebagai Penyair Muda Terbaik Los Angeles (2015) ketika masih SMA dan Penyair Muda Terbaik AS (2017) ketika mulai kuliah sosiologi di Harvard.

Baginya, puisi adalah seni menceritakan kebenaran, bicara tanpa rasa takut. Karena itu, puisi selalu politis. Memberanikan diri bicara, kemauan untuk didengar, adalah tindakan politis. Menulis puisi adalah upaya mencipta dengan menemukan retakan dan mengguncang kestabilan bahasa yang menjadi sarananya. Juga tindakan menggoyang status quo dunia yang melahirkannya.

Dengan menemukan retakan dan melakukan destabilisasi, seorang penyair selalu bisa menyampaikan kebenaran otentik meski semua hal telah dikatakan banyak orang sebelumnya. Lagi pula, siapa yang bisa menyampaikan kisah diri sebagaimana yang kita inginkan? Setiap orang bisa menjadi penyair!

Berpuisi baginya bukan terutama soal mendapatkan jawaban yang benar, tapi bagaimana mengajukan pertanyaan secara benar. Itulah sebabnya para penyair selalu punya pertanyaan radikal, pertanyaan paling berbahaya dalam sejarah. Para penyair adalah suara perubahan. Karena itu, ia kerap ditakuti para pemegang otoritas.

Di bawah rasisme sistemik, sejak lulus SMA Gorman aktif mendirikan LSM One Pen One Page, program menulis dan kepemimpinan sebagai pemberdayaan anak muda kaum marginal. Sebagaimana Joy Harjo, penyair perempuan AS keturunan Indian, berpuisi baginya adalah terlibat dalam gerakan sosial.

Dengan memikat Gorman mendemonstrasikan betapa puisi sangat relevan, hidup, nyata, dan penting bagi siapa saja, apalagi kaum minoritas. Menyambung daftar penulis perempuan sebelumnya, Gorman menunjukkan betapa puisi berperan sentral dalam proses demokratisasi masyarakat Amerika.

Berbeda dengan politisi dan ilmuwan politik yang umumnya menganggap demokrasi sebagai tatanan yang sudah jadi, berada ’’di sini’’, dalam The Hill We Climb, puisi untuk pelantikan Biden itu, Gorman menulis bahwa demokrasi adalah cita-cita. Ia adalah ’’mimpi’’ di depan sana. Pengertiannya mirip konsep Derrida, demokrasi sebagai sesuatu yang terus ditempa. Ia terancam berbagai kekuatan yang saling bertolak belakang dan karena itu selalu “tertunda”.

Tapi, sekaligus itulah energi yang menyalakan harapan. Seperti penutup puisinya, ’’Sebab di sana selalu ada cahaya/Kalau kita cukup berani memandangnya/Kalau kita cukup berani menjadi cahaya.” (*)

*) Dosen Sastra Inggris dan American Studies FIB UGM

 

Saksikan video menarik berikut ini

 

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads