Kata ”kekasih” yang disematkan pada Teluk Benoa menjadi penegasan Saras Dewi atas apa yang dirasakan selama berjuang dan menemani aktivis lingkungan di masa-masa kritis saat menghadapi ancaman reklamasi.
—
KARYA seni adalah mesin waktu yang membolehkan mereka yang telah kehilangan orang-orang yang dicintai, sanak keluarga, teman-teman, dapat berjumpa melalui senandung lagu atau puisi liris.”
Penggalan pesan itu disampaikan Saras Dewi dalam pidatonya yang berjudul Seni dalam Lipatan Pandemi yang dibacakan saat Dies Natalis Ke-50 Institut Kesenian Jakarta via daring pada 26 Juni 2020. Pernyataan itu menjadi bagian dari refleksi Saras Dewi selama menghadapi pandemi, yang melihat hubungan manusia dan alam hingga proses setelahnya. Apakah seni sebegitu penting untuk manusia? Bagaimana pula alam merasuk dalam diri atau jiwa seorang manusia?
Di pertengahan tahun ini, Saras Dewi kembali menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Kekasih Teluk setelah pada 2017 pernah terbit dengan edisi yang berbeda. Pengalaman membaca puisi ini membawa saya pada kesempatan untuk membayangkan bagaimana persentuhan alam dan puisi dapat membuka ruang tafsir yang panjang.
Seperti yang disampaikan Saras Dewi di pengantar buku puisi cetakan terbarunya, kehadiran buku ini merupakan sebuah bentuk kemabukan cinta kepada teluk. Sebenarnya bukan hanya teluk, namun alam dan diri manusia berusaha dijelajahi dengan kekuatan puisi. Kita juga bisa melihat pandangan Saras Dewi mengenai alam dan manusia dalam bukunya yang berjudul Ekofenomenologi (2015).
Bahkan di puisi pembuka, kita akan langsung berhadapan dengan gambaran keyakinan yang bisa saja melampaui agama. Sebuah gugatan sekaligus ketegasan akan diri yang berdiri dengan landasan keteguhan hati.
Agamaku tidak diciptakan tuhan
Atau para dewata
Ia dinyanyikan oleh lumba-lumba
Yang senyumnya mengajarkanku,
Kebebasan. (halaman 1)
Pernyataan dalam bait puisi di atas memberi pembaca kesempatan untuk melihat imaji yang ditawarkan penulis dengan jelas. Menggunakan pesona lumba-lumba serta keberanian untuk menyatakan tentang agama yang hadir dengan pendekatan yang berbeda. Puisi pertama ini sekaligus semacam peta yang diisyaratkan dosen filsafat Universitas Indonesia itu sebelum memasuki sejumlah puisi lainnya di buku Kekasih Teluk.
Keyakinanku tidak bertempat,
Di rumah ibadah buatan manusia
Laut adalah persemayaman yang luhur
Pegunungan adalah kesaktian semesta
Padang lamun adalah ruang suciku. (halaman 1)
Terlihat bahwa penulis menciptakan definisi-definisi yang berbeda dengan apa yang dipahami orang awam. Lalu, padang lamun menjadi ruang suci, ibarat tanda yang jelas, bagaimana Saras Dewi memperlakukan penghayatan atas puisi dan pemaknaannya atas situasi yang ada di sekitarnya.
Merayakan Ecopoetry
John Shoptaw, seorang penyair sekaligus pengajar di Universitas California, memberikan penggambaran menarik tentang ecopoetry dalam esainya yang berjudul Why Ecopoetry? Secara umum, ecopoetry bukanlah puisi yang sekadar menggunakan kata-kata dengan penggambaran alam.
Namun, ecopoetry semestinya menghadirkan gugatan atau cara pandang baru yang lebih segar dan luas dalam melihat permasalahan lingkungan di sekitar. Dengan membaca puisi-puisi ecopoetry, cara pandang kita terkait alam dapat menemukan perspektif baru dan berbeda.
Charles Bernstein, salah seorang penyair, mencoba menuliskan sebuah puisi dengan hanya menggunakan satu kalimat: this poem intentionally left blank. Meski sesingkat itu, secara konseptual, menurut John Shoptaw, puisi ini mencoba menjelaskan sebuah hal penting tentang lingkungan kita, tentang kepunahan. Meski tidak menggunakan diksi seperti gunung, sungai, atau hutan, daya kreatif yang dapat memberikan stimulus kepada pembaca menjadikan puisi ini dapat disebut sebagai ecopoetry.
Terlepas dari interpretasi John Shoptaw atas puisi Charles Bernstein tadi, setidaknya kita mendapat gambaran bagaimana cara untuk merayakan ecopoetry. Kembali pada buku Kekasih Teluk, kita dapat melihat ruang yang jelas di mana kumpulan puisi ini termasuk ecopoetry.
Personifikasi dari teluk hadir sebagai suara yang disampaikan Saras Dewi kepada pembaca. Kata ”kekasih” yang disematkan pada Teluk Benoa menjadi penegasannya atas apa yang dirasakan.
Belum lagi saat kita kembali melihat pengantarnya yang menjelaskan bagaimana perasaannya secara terang-terangan kepada Teluk Benoa. Pengalamannya selama berjuang dan menemani aktivis lingkungan di masa-masa kritis saat menghadapi ancaman reklamasi secara tidak langsung turut berperan dalam puisi-puisinya.
Bagaimana alam terpatri dalam diri seorang Saras Dewi dapat kita temukan dalam beberapa puisi lainnya. Puisi Ibu juga berusaha melukiskan kondisi yang tengah terjadi, menggambarkan hubungan terkini antara manusia dan alam. Penggambaran bagaimana pertentangan dan konflik yang ada di manusia kala berhadapan dengan alam.
Pada titik inilah kita bisa melihat keterampilan Saras Dewi menjadikan karya seni sebagai ruang yang lebih dalam untuk mendefinisikan makna atas pengalamannya, lebih dari sebuah mesin waktu. Sebuah ruang yang menawarkan banyak kemungkinan.
Meski tidak banyak kekuatan puisi yang terlihat secara signifikan, ecopoetry yang ada dalam Kekasih Teluk mendorong pembaca untuk mengenal sekaligus berkunjung dalam dimensi kata yang dihadirkan penyair. Sebuah pemaknaan yang lebih luas atas alam dan berpeluang menjadi bentuk persuasif yang dinamis. Namun, kembali lagi, seni dalam sejarah manusia akan selalu memiliki peran penting, cepat atau lambat. (*)
—
- Judul: Kekasih Teluk
- Penulis: Saras Dewi
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
- Tahun Terbit: 2022
- Tebal: xxiii + 110 halaman
- ISBN: 978-602-06-6316-6
*) WAWAN KURNIAWAN, Menulis puisi, cerpen, esai, dan menerjemahkan beberapa karya. Beberapa karyanya, Kumpulan Puisi: Persinggahan Perangai Sepi (2013), Sajak Penghuni Surga (2017), Museum Kehilangan (2021). Kumpulan cerita pendek pertamanya terbit Maret 2021 dengan judul Aku Mengeong oleh Penerbit Indonesia Tera.