Nidhal Guessoum menempatkan sains sebagai usaha objektif yang bersifat ilmiah yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama, bahkan bisa mendukung.
—
SAAT virus korona merajalela ke seluruh pelosok dunia, sering kali kita berjumpa dengan berbagai mitos. Misalnya, infeksi virus pemicu penyakit Covid-19 tersebut dapat disembuhkan dengan mengonsumsi bawang putih. Atau jika kita bisa menahan napas selama 10 detik tanpa batuk, berarti kita tidak terpapar virus tersebut.
Mitos-mitos itu menyebar terutama melalui media sosial sehingga ketika dicerna orang awam, hasilnya bisa beraneka rupa: ketakutan yang berlebihan, kegelisahan, dan semacamnya. Mitos semacam itu relatif mudah menyebar karena terkait dengan rendahnya literasi sains masyarakat.
Literasi sains yang rendah, menurut penulis buku ini, Nidhal Guessoum, dapat mengganggu kebijakan publik yang terkait dengan masalah kesehatan, lingkungan hidup, pangan, energi, dan sebagainya. Faktanya, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, menurut data penelitian tahun 2008, tingkat literasi sains di kalangan orang dewasa hanya mencapai sekitar 28 persen.
Menurut Guessoum, tingkat literasi sains terkait dengan pelajaran sains di tingkat sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi. Juga, sumber informasi sains informal seperti di koran, buku populer, internet, atau museum.
Bagaimana faktor agama, seperti Islam? Guessoum menjelaskan, kaum muslim beranggapan Islam tidak punya masalah dengan sains. Namun, faktanya, dalam beberapa tahun terakhir perspektif antisains berbasis agama mulai muncul.
Beberapa pemuka Islam menolak pengetahuan sains dengan dasar tafsir literal atas Alquran. Mereka juga lalu menempatkan sains dalam skema konspiratif bahwa sains digunakan Barat untuk menyuburkan pandangan dunia materialistis.
Buku ini disusun Guessoum sebagai bimbingan untuk kaum muda muslim agar bisa memahami sains modern secara proporsional. Setelah menguraikan pentingnya literasi sains, Guessoum memberikan gambaran singkat sejarah sains mulai era kuno hingga modern. Secara khusus, Guessoum juga menjelaskan ciri sains modern yang berbasis pada observasi dan eksperimen, berbasis pada matematika, serta profesionalisasi dan institusionalisasi kegiatan sains.
Dalam menempatkan sains modern dan agama, Guessoum menegaskan, segala sesuatu yang ditemukan dan dirumuskan oleh saintis yang kemudian disebut dengan fakta alam atau hukum sains itu hanyalah pendekatan bertahap dan progresif menuju hukum alam sejati (yakni hukum Tuhan). Dengan argumen tersebut, Guessoum menempatkan sains sebagai usaha objektif yang bersifat ilmiah yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama, bahkan bisa mendukung.
Dalam kaitannya dengan Islam, Guessoum juga bersikap kritis terhadap berkembangnya literatur i’jaz ‘ilmi (mukjizat sains dalam Alquran dan sunah) belakangan ini dan konsep sains sakral yang digagas Seyyed Hossein Nasr.
Yang pertama, menurut Guessoum, muncul lebih karena kaum muslim kalah mental di bidang sains dan mencari kepercayaan dirinya pada kitab suci. Dan, yang kedua muncul karena Nasr memandang naturalisme metodologis dalam sains secara negatif.
Memang betul bahwa sains modern perlu dikritik. Tapi, usulan sains tradisional ala Nasr justru mengorbankan karakter objektif sains yang sudah mapan.
Guessoum mendukung sains modern yang berkembang berdampingan bersama agama, demikian juga sebaliknya. Dari sains, kaum beragama bisa menemukan jalan lain untuk mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya.
Selain itu, sains dapat mengangkat martabat manusia melalui ilmu dan juga membantu kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi lain, agama dapat ikut meneguhkan kaidah-kaidah etis dalam praktik sains sehingga dapat membantu menekan ekses negatif sains modern dan mengarahkannya ke jalan yang lebih baik.
Buku yang ditulis guru besar fisika dan astronomi ini sangat penting dan bisa mengilhamkan untuk masyarakat Indonesia. Kemampuan sains pelajar Indonesia berdasar laporan PISA 2018 menempatkan Indonesia di peringkat ke-70 dari 78 negara yang diteliti, persis di bawah Kazakhstan dan Azerbaijan.
Buku ini bisa menginspirasi upaya peningkatan melek sains dan juga bisa menjadi titik tolak diskursus agama dan sains yang lebih kontekstual. Tujuannya, sains maupun agama dapat lebih mudah berkontribusi dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan seperti pandemi korona saat ini. (*)
*) M. MUSHTHAFA, Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep
JUDUL BUKU: Memahami Sains Modern Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim
PENULIS: Nidhal Guessoum
PENERBIT: Qaf, Jakarta
CETAKAN: Pertama, Februari 2020
TEBAL: 204 halaman
ISBN: 978-602-5547-68-3
Saksikan video menarik berikut ini: