Yoni Astuti menghabiskan lebih dari separo hidupnya sebagai tour guide. Tiga puluh lima tahun, tepatnya. Perjalanan panjang itu memberinya banyak teman dan ilmu baru. Perempuan yang menapak usia 65 tahun tersebut menuangkan pengalamannya ke dalam tulisan.
---
HOBI naik gunung mengantarkannya menjadi pramuwisata atau tour guide. Di alam, Yoni merasa menemukan dunianya. Bukan di kota. Apalagi di balik meja ticketing sebuah agen travel tempatnya bekerja selepas lulus.
Yoni masuk klub pencinta alam Maharanee Gipsy & Mountaineers (MGM). ”Pertama sampai puncak itu di Gunung Lawu dan langsung suka. Yang di Jawa timur pernah ke Welirang, Arjuna, Penanggungan, Semeru,” cerita Yoni.
Di sisi lain, pekerjaan ticketing cukup membuatnya jenuh. Namun, dari sanalah kali pertama dia melihat kedatangan beberapa orang yang tampak semringah. Mereka adalah tour guide. Yoni lantas dikenalkan kepada ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI).
Belum diterima jadi guide, Yoni memutuskan resign dari pekerjaan. ”Aku mulai ikut training-training,” kenangnya.
Mayoritas tamu yang dia bawa adalah wisatawan mancanegara. Meski mulanya kemampuan berbahasa Inggris Yoni pasif, lambat laun kosakatanya bertambah dan kian lancar berkat sering berkomunikasi dengan para turis. ”Waktu itu belum ada internet. Aku cerita berbekal buku,” imbuhnya.
Yoni memandu untuk wilayah Pulau Jawa. Sesuai dengan lisensi guiding yang dia miliki. Di luar Jawa, dia bisa menjadi tour leader. Yoni sempat sakit lantaran kebanyakan tur. ”Empedu sobek. Dokter bilang tidak boleh melakukan pekerjaan ini, tapi kok saya menderita, ya,” ungkap anggota Indonesian Tour Leader Moslem Association (ITMA) Jawa Timur itu.
Begitu sembuh, lanjut Yoni, jadi tour guide lagi. Kala itu, dia fokus membuat tur naik gunung. Dari 1995 sampai 2005, dia mengurus trekking Semeru. ”Ternyata pekerjaan ini memang sangat berat,” ucapnya.
Namun, lantaran sudah memulai, Yoni pantang menyerah. Dia berprinsip, guide bukan sekadar penunjuk jalan. ”Guide itu teman perjalanan. Keamanan dan kenyamanan mereka adalah tanggung jawabku,” tegas asesor kompetensi pemandu wisata dan pemandu ekowisata tersebut.
Selama sepuluh tahun itu pula, dia banyak mendapat relasi baru. Salah satunya, seorang tour leader sekaligus penulis asal Prancis yang menginspirasinya untuk kembali pada jenis tur yang semula dia jalani.
”Dia mengajari bahwa jika guide hanya bicara tinggi gedung, tinggi gunung, orang bisa cari data-data itu sendiri. Kalau cerita kearifan lokal, bicara budaya, mereka tidak bisa mendapatkannya 100 persen di buku. Jadi, saya fokus ke sana,” jelas Yoni.
Dia pun mulai sering menghadiri upacara-upacara adat di Bromo. Dari sana Yoni sadar, Bromo tidak sekadar matahari terbit dan Kasada. Cerita yang dia bagikan ke wisatawan pun jadi makin luas.
”Orang bule kalau traveling, dia harus mendapatkan sesuatu untuk pengetahuannya. Tidak hanya senang-senang. Nah, aku mengisi itu,” tutur anggota DPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Surabaya tersebut.
Dari perjalanan itu pula, Yoni banyak berkenalan dengan jurnalis. Dia tergerak untuk menuliskan apa yang dia temukan di tempatnya memandu wisatawan. Mulai kearifan lokal hingga adat dan budaya setempat. Lantas, Yoni mengirimkan tulisan itu ke beberapa media lokal hingga luar.
”Sempat diundang dinas pariwisata Banyuwangi untuk liput kompetisi surfing. Pernah juga diundang ke Pulau Rote, NTT,” tambahnya.
Pandemi datang. Wisata menjadi sektor pertama yang lumpuh. Sebagai gantinya, Yoni mengisi waktu dengan aktif mengikuti berbagai kelas kepenulisan dan kompetisi menulis. Buku pertamanya yang berhasil terbit bercerita tentang single fighter woman.
”Ini cerita perjalanan hidupku dan aku belum nikah. Intinya di situ, seorang perempuan meskipun tidak menikah bukan berarti tidak bahagia. Justru aku ingin melakukan sesuatu untuk orang lain,” bebernya.
Selama pandemi, dia turut menuangkan karya dalam enam buku antologi fiksi dan enam buku antologi nonfiksi. Perempuan yang April mendatang genap 65 tahun itu juga tergabung sebagai anggota komunitas Perempuan Penulis Padma (Perlima).
Begitu pandemi melandai, Yoni kembali menjadi pemandu. Terbaru, dia mengantar tamu yang masih muda-muda ke beberapa destinasi dengan trek berat. Mulai air terjun Tumpak Sewu, Kapas Biru, Madakaripura, kemudian Bromo, hingga Ijen.
”Bayangkan dua tahun tidak berjalan kaki ya kerasa kan, tapi aku harus mampu. Aku masih bisa lho bawa grup bule-bule yang kakinya panjang-panjang itu,” ujar penerima penghargaan Excellent Guiding of Audley Travel Guide Awards 2016 itu.