JawaPos.com – Perdagangan karbon (carbon trading) saat ini menjadi tren secara global. Adapun jenis perdagangan tersebut merupakan kegiatan jual-beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Pada awal 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan potensi pendapatan tambahan dari transaksi jual-beli sertifikat emisi karbon sebesar Rp 350 triliun. Hal ini mendorong pemerintah menyiapkan aturan dalam bentuk Peraturan Presiden.
CEO Landscape Indonesia, Agus P. Sari menyebutkan, terdapat sektor potensial yang dimiliki Indonesia dan bisa dikembangkan untuk menyambut era perdagangan karbon. “Dua sektor utama yang berpotensi untuk pasar karbon di Indonesia di antaranya sektor lahan dengan subsektor gambut dan mangrove. Kedua, sektor energi,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (22/4).
Baca Juga: Kurangi Emisi Karbon, Anies Sampaikan 2 Usulan ini ke PBB
Meskipun demikian, Agus menilai, sejumlah tantangan masih menjadi kendala penerapan perdagangan jenis ini. Landasan peraturan menjadi sangat penting agar perdagangan karbon dapat memberikan keuntungan maksimal bagi negara. Di antaranya kebutuhan mengaturnya secara sektoral di setiap kementerian.
Selain itu, Ia juga memperingatkan pentingnya debirokratisasi dengan melihat karbon ini sebagai komoditas baru, sehingga harus tunduk pada aturan pasar. “Kita masih menunggu dua hal. Keputusan yang akan menjadi rulebook mengenai pasar karbon secara global, dan Perpres yang mengatur mengenai pasar karbon di Indonesia,” ucapnya.