Kisah-kisah dalam buku ini sederhana dan membumi. Meski begitu, Joko Pinurbo tidak meninggalkan ciri khasnya: tetap puitis dan filosofis sekaligus getir dan jenaka.
TIDAK bertele-tele. Bernas. Begitu prosa fiksi yang disajikan Joko Pinurbo melalui kumpulan cerita Tak Ada Asu di Antara Kita.
Buku ini tidak tebal. Bisa dibaca sekali duduk. Selesai. Hanya 103 halaman, berisi 15 cerita yang ditulis pendek-pendek. Judul-judul yang dipilihnya pun singkat-singkat, di antaranya: ”Siraman Rohani”, ”Pak RT”, ”Ayat Kopi”, ”Guru Bahagia, dan ”Belajar Menggambar”. Kalaupun ada judul yang panjang, hanya ada satu, ”Perjamuan Petang Bersama Keluarga Khong Guan”.
Kisah-kisah dalam buku ini sederhana. Membumi. Realistis. Meski begitu, jangan khawatir, Joko Pinurbo tidak meninggalkan ciri khasnya. Tetap puitis dan filosofis. Sekaligus getir dan jenaka.
Begitu pun nama-nama tokoh yang dipilih penulis. Unik dan otentik. Ada Kasbulah, Salindri, Susantuy, Slametno, Marbangun, Trinil, dan Khong Guan. Beragam ilustrasi apik yang berwarna melengkapi setiap cerita juga terasa lekat keseharian pembaca. Seperti aktivitas di warung kopi, pemandangan alam, dan situasi di meja makan. Membaca buku ini terasa seperti healing tersendiri.
Jokpin, begitu ia dikenal, tadinya menulis puisi. Penyuka karya-karyanya pasti tak heran dengan syair-syairnya yang lekat dengan diksi asu. Puisinya bertajuk ”Asu” terasa menggetarkan. Sarat makna. Bisa jadi asu adalah hewan peliharaan yang dicintai Jokpin. Sehingga menginspirasinya menciptakan larik-larik puitis.
Nah, kumpulan cerpen (kumcer) ini adalah medium barunya dalam menuangkan ide-ide kreatifnya. Buku kumcer ini dibuka dengan kisah berjudul ”Siraman Rohani” yang diantar dengan serangkaian kalimat pembuka berdiksi tegas. Tanpa ribet mengajak pembaca berinterpretasi. Gaya penulisannya seperti lead berita di koran.
”Ada rumah besar di tengah permukiman yang halamannya luas dan berpagar tinggi. Salah satu dinding samping rumah itu berba_tasan langsung dengan gang dan tak pernah sepi dari coretan. Tempo hari dibersihkan dan dicat, esoknya sudah berlepotan coretan lagi. Ada tulisan ”asu” yang tampak mencolok, ditulis besar dengan cat semprot merah. Itu pasti ulah Kasbulah, seorang remaja bengal yang pandai misuh dan gemar mencoreti tembok rumah orang.” (halaman 2)
Penulis mengemas kisah kenakalan remaja itu dengan gaya bercerita tidak serius. Tapi mengena di hati. Kenakalan remaja lumrah terjadi di mana-mana.
Salah satunya perilaku vandalisme coret-coret tembok. Aksi grafiti itu, bagi sebagian remaja, dianggap keren. Menjadi salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Tapi jadi masalah sosial jika dilakukan tidak pada tempatnya.
Seperti yang dilakukan Kasbulah pada tembok rumah Pak Susantuy, tokoh pemuka agama yang dimintai tolong ayahnya menasihati dirinya supaya insaf dari kenakalan. Ya, si Kasbulah yang dijuluki bajingan kecil ini selain hobi mencoret tembok rumah orang juga doyan bolos sekolah dan memalak teman-temannya.
Membaca cerpen ini memang bikin geram sekaligus merenung di waktu yang sama. Segala sesuatu pasti ada sebabnya. Kenakalan Kasbulah tidak tiba-tiba. Kisah ini dibumbui dengan unsur puitis yang menjadi keahlian Jokpin. Itu tak lain karena penulis menyelipkan nukilan baris puisi Sapardi Djoko Damono yang dipelesetkan ”yang fana adalah waktu, kita abadi” menjadi ”yang fana adalah Kasbulah, matematika abadi”.
Berikutnya beranjak ke cerpen ”Anak Batu, Anak Hujan”. Melalui metaforanya, Jokpin seperti menyindir modernisasi yang melenyapkan keasrian alam dan lingkungan. ”Tanah kosong di kanan kiri rumah telah dilipat, diganti dengan beton-beton pembangunan. Jalan koral di depan rumah telah digulung, diganti dengan jalan aspal oleh pembangunan.” (halaman 24)
Dalam cerita itu, Jokpin yang telah menerbitkan buku puisi antara lain Kepada Cium, Perjamuan Khong Guan, dan Srimenanti ini sekaligus mengkritisi sebagian perilaku orang-orang di era modern yang masih memercayai hal-hal takhayul. Si tokoh perajin topeng yang tadinya sakit stres dan linglung menyatakan diri sembuh setelah minum air dari batu besar yang ada di halaman rumahnya.
Lewat cerpen ”Korban Hoaks”, Jokpin yang meraih Penghargaan Sastra Asia Tenggara (2014) menyindir fenomena pencitraan palsu yang kerap dilakukan orang-orang saat ini. Celakanya, sikap manipulatif itu membuat pelakunya merasa nyaman dan aman sehingga bisa seenaknya berbohong sana-sini. Pun orang lain menganggapnya wajar.
Membaca buku ini seperti membicarakan hidup kita sendiri yang terkadang ”asu” sekali. Tak Ada Asu di Antara Kita bisa jadi alternatif hiburan dari penatnya kesibukan-kesibukan, baik fisik maupun pikiran yang melelahkan. Selain literatur bagi siapa saja yang ingin belajar menulis sebenar-benarnya cerita pendek. Selamat merayakan hidup yang asu! (*)
---
- JUDUL: Tak Ada Asu di Antara Kita
- PENULIS: Joko Pinurbo
- CETAKAN: Pertama, Januari 2023
- PENERBIT: Gramedia Pustaka Utama
- ISBN: 978-602-06-6727-0
---
*) YETI KARTIKASARI, Pembaca buku dan penggemar kopi. Tinggal di kaki Penanggungan, Pandaan, Pasuruan.