Buku ini bercerita tentang dunia anak-anak, tapi kegelisahan mereka kurang tereksplorasi. Para tokoh digunakan sekadar untuk menyampaikan nasihat-nasihat ideal yang ditujukan untuk anak-anak –meski sebagian cerita juga berpotensi ditujukan untuk kelompok orang dewasa.
---
MENULIS adalah hasil kerja kegelisahan. Apa hasilnya jika perempuan menulis tentang perempuan? Yang terjadi, sebagian besar tulisannya akan berisi segala pandangannya tentang ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Ia akan lebih banyak berbicara sebagai korban ketimbang sebagai pelaku kejahatan, tanpa menyadari bahwa perempuan juga bisa menjadi pelaku kejahatan.
Buku ini bercerita tentang dunia anak-anak –dan dimasukkan dalam kategori buku anak. Hanya, para penulisnya bukanlah anak-anak. Maka, kita pun tak akan mendapatkan cerita perihal kegelisahan yang bersumber langsung dari kelompok anak.
Apalagi, kurasi karya ini diprakarsai oleh Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam (LSBPI) MUI yang semakin menguatkan aroma bacaan bahwa medium cerita akan digunakan sebagai sarana dakwah. Tentu saja sah, mengingat tujuan awal pengisahan –sedari dulu, selain sebagai sarana penghibur– memang tak bisa lepas sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu, termasuk nasihat.
Nun, cerita anak yang dibuat sendiri oleh anak-anak konon juga tidak ada. Cerita dengan tokoh utama kancil, buaya, dan beragam cerita tentang mitologi dan legenda, pembuatnya adalah orang dewasa, yang sasaran tuturnya sebagian adalah anak-anak. Buku ini menempati posisi yang terakhir itu.
Seperti yang bisa diduga, unek-unek seputar kegelisahan seorang anak pun jadi kurang maksimal tereksplorasi. Dalam cerita ”Tempe Lagi! Tempe Lagi!”, pengarang yang semula berhasil masuk dalam psikologis anak-anak sebagai korban kondisi perekonomian yang kurang mapan pun kemudian harus dimentahkan lagi dengan beragam nasihat orang tua.
Sebagian besar cerita memiliki kesamaan metode berkisah. Para tokoh digunakan sekadar untuk menyampaikan nasihat-nasihat ideal yang ditujukan untuk anak-anak –meski sebagian cerita juga berpotensi ditujukan untuk kelompok orang dewasa.
Sebut saja cerpen ”Doa Burung-Burung” yang diadopsi menjadi judul buku, ”Sahabat-Sahabat Kecilku”, atau ”Bumiku Renta” yang mengambil objek-objek sekitar sebagai simbol universal lantaran bisa dipahami kelompok anak sekaligus orang dewasa. Sehingga cerpen itu pun terkesan sebagai sebuah cerita untuk orang dewasa yang dibahasakan dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami oleh anak-anak.
Melalui buku ini, kita kemudian juga bisa menemukan perihal batasan-batasan apa yang bisa disebut sebagai cerita anak. Norma-norma seperti apa yang layak dan harus diajarkan untuk anak. Serta terutama sudut pandang orang dewasa tentang anak-anak.
Perihal poin terakhir, tentu tak serta-merta bisa kita dapatkan secara langsung. Kita perlu mengambil jarak sekian jeda untuk memahami penokohan serta poin tema yang dibidik penulis dalam ceritanya.
Saya ambilkan sebagai contoh, cerpen ”Aku Juga Cantik” yang menarasikan perihal pakaian yang baik menurut syariat Islam beserta definisi cantik yang menjadi bidikan turunannya. Contoh ini saya ambil lantaran definisi tentang kecantikan sebenarnya amat subjektif sehingga posisi anak-anak yang kita tahu masih dalam tahap sebagai objek didikan lingkungan sekitar (utamanya orang tua) tak memiliki netralitas.
Ghaida yang digambarkan mendefinisikan kecantikan sebagaimana cantiknya para bintang televisi Korea kemudian mendapatkan justifikasi baik dari sang ibu maupun teman sepermainan. Cerita semacam ini menjadi semacam pisau bermata dua.
Di satu sisi ia mengajarkan norma dari sudut pandang Islam, namun di sisi lain sekaligus menghakimi norma/kebudayaan entitas budaya lain, yang bisa jadi tak ada pelanggaran norma lain di sana. Butuh pendampingan khusus bagi anak-anak untuk mencerna cerita semacam ini. (*)
---
- Judul buku: Doa Burung-Burung
- Penulis: Anisah Solichah, Adi Zamzam, Yeti Nurmayati, dkk
- Penerbit: Alif Republika (imprint Republika Penerbit)
- Cetakan: Pertama, Oktober 2022
- Tebal: xii + 236 halaman
- ISBN: 978-623-88114-2-7
*) NUR HADI, Menulis cerpen dan puisi, sedang aktif mengawal berdirinya sekolah kepenulisan Akademi Menulis Jepara