Minggu, 4 Juni 2023

Transformasi Seni Rupa Tionghoa

- Minggu, 5 Februari 2023 | 13:15 WIB
KLASIK: Perkampungan di Bali karya Sambodja (Tio Kim Hin). Karya tersebut sudah tak menampakkan ke-Tionghoa-annya. (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)
KLASIK: Perkampungan di Bali karya Sambodja (Tio Kim Hin). Karya tersebut sudah tak menampakkan ke-Tionghoa-annya. (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)

Seni rupa Tionghoa telah melesat menjadi Indonesia. Bahkan, menjelma menjadi seni peradaban dunia. Tidak tersekat-sekat aliran ataupun etnis. Yang ada hanya riuhnya tepuk tangan apresiasi.

---

DI masa Orde Baru, seni rupa Tionghoa muncul sebagai bentuk perlawanan. Budaya Tionghoa seakan disuntik mati oleh pemerintahan Soeharto, tak terkecuali seni rupanya. Maka, untuk menunjukkan eksistensinya, apa pun dilakukan dan dihidupkan dengan mempertahankan gaya, aliran, dan karakter.

Salah satu kekhasan seni rupa Tionghoa mengacu pada Chinese painting dengan menggunakan cat air sebagai media utamanya. Kurator dan pelukisAgus Dermawan T. menuturkan, saat Orde Baru memang diperlukan untuk mempertahankan karakternya. ”Karena kalau tidak, akan dihilangkan,” kata Agus.

Karakter itulah yang kemudian secara perlahan membentuk pandangan stereotipe soal pelukis Tionghoa. Hal itu lantas membuat seakan-akan ada sekat antara seniman seni rupa Tionghoa dan non-Tionghoa. ”Itu terjadi akibat kebijakan Soeharto yang menyingkirkan Tionghoa,” ujar pria asal Banyuwangi, Jatim, itu. Dan ’’masa gelap’’ bernama Orde Baru itu berlangsung 32 tahun.

Menurut Agus, barangkali keberhasilan bertahan dari masa gelap tersebut karena masih adanya sisa-sisa percikan cahaya terang di era Soekarno. Saat itu, seniman Tionghoa mendapatkan apresiasi yang tinggi di era presiden pertama Indonesia tersebut.

Di era Soekarno terbentuklah sebuah kelompok seni rupa bernama Yin Hua. Yin diartikan Indonesia dan Hua berarti China atau Tionghoa. Kelompok itu didirikan pelukis tersohor keturunan Tionghoa, Lee Man Fong. Serta beberapa pelukis lainnya seperti Ye Thay Hua, C.M. Hsu, dan Ling Nang Lung. ”Para anggota Yin Hua ini sering berkumpul di studio foto di kawasan Mangga Besar,” tutur Agus.

Lee Man Fong diangkat secara resmi oleh Presiden Soekarno untuk menjadi pelukis istana. Lee Man Fong sendiri merupakan pelukis kenamaan, yang saking hebatnya namanya diperebutkan tiga negara. Yakni, Tiongkok, Singapura, dan Indonesia. ”Padahal, dulunya beliau merupakan pelukis Istana Presiden Indonesia,” kata Agus.

Bukan hanya Lee Man Fong, menurut Claire Holt dalam buku Art in Indonesia-Continuities and Change, pesona karya-karya pelukis Yin Hua sangat diperhatikan pemerintah Tiongkok. Bahkan, mereka ditawari menggelar pameran lukisan di Beijing.

-
BHINNEKA TUNGGAL IKA: Jokowi-Indonesia Bangkit karya Robby Lulianto (Tan Goan Siu). (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)

Tapi, tercatat sejarah, salah seorang pengurus Yin Hua, Ling Nang, pernah berkata, ”Kami sekuat tenaga menyumbangkan kami punya karya kepada kesenian Indonesia”. Penegasan itulah yang menurut Agus membuat Yin Hua sangat Indonesia.

Dengan nama Yin Hua yang masyhur, wajar jika saat itu Soekarno menganggap karya-karya Yin Hua adalah Duta Budaya Indonesia. Sedangkan Tiongkok menganggap karya-karya Yin Hua sebagai tanda awal ikatan kuat tali persahabatan politik kedua negara. Yang di kemudian hari menjadi pijakan perumusan gerakan politik Poros Jakarta-Peking. ”Jadi, itu sejarahnya,” terang Agus.

Namun, semua itu kini telah berbeda. Perbedaan ke arah yang positif. Pasca 1998, setelah lengser keprabonnya Soeharto, menjadi titik permulaan bangkitnya seni rupa Tionghoa.

-

MAESTRO: Kelinci karya Lee Man Fong. Lee Man Fong adalah tokoh besar seni lukis Tionghoa. (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)

Melainkan, melesat lebih dari itu. Seni rupa Tionghoa telah menjadi Indonesia. Bahkan, telah menjadi seni rupa peradaban dunia. ”Dan tidak lagi tersekat-sekat dengan gaya Chinese painting dengan cat airnya,” urai Agus.

Agus menjelaskan, kini seniman Tionghoa telah berkarya dengan berbagai aliran, gaya, dan karakter. Yang bahkan bisa sampai pada satu titik, yaitu penikmat lukisannya tidak mengetahui bahwa sang pelukis itu berdarah Tionghoa.

Seniman lainnya, F.X. Harsono, pun memperkuat keyakinan Agus Dermawan. Kini tidak ada lagi pelukis Tionghoa yang berupaya memperahankan karakter Chinese painting. ”Tidak ada keseragaman menggunakan teknik tertentu,” ujar Harsono.

Namun, soal posisi seniman Tionghoa sekaligus posisi kaum Tionghoa masih menjadi tanda tanya dalam benak Harsono.

-

SPESIAL: Presiden Soekarno (kiri) menghadiri pameran seni rupa grup Yin Hua di Hotel Des Indes, Jakarta, pada 1956. (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)

Editor: Ilham Safutra

Tags

Terkini

Membaca Reformasi tanpa Glorifikasi

Sabtu, 18 Maret 2023 | 18:05 WIB

Mengenal Lukisan Lelet Nikotin Karya Gus Mus

Sabtu, 11 Maret 2023 | 09:12 WIB

Menguji "Penawaran" Baru Aliran Abstrak

Minggu, 12 Februari 2023 | 09:53 WIB

Transformasi Seni Rupa Tionghoa

Minggu, 5 Februari 2023 | 13:15 WIB

Upaya Membuka Dialog Masa Lalu dan Masa Kini

Minggu, 25 September 2022 | 09:58 WIB

Karya yang Merangkai Perbedaan dan Keliaran

Minggu, 18 September 2022 | 12:47 WIB

Jika Tak Dipupuk, Sejarah Cuma Bongkahan Batu Kecil

Minggu, 4 September 2022 | 09:49 WIB

Seniman Surabaya Manfaatkan Kopi untuk Melukis

Selasa, 26 Juli 2022 | 06:46 WIB

Tak Hanya Bisa Dinikmati, tapi Juga Dorong Ekonomi

Rabu, 5 Januari 2022 | 20:03 WIB

Di ArtOs Kembang Langit, 1 Lukisan Terjual Rp 2,4 Miliar

Selasa, 21 Desember 2021 | 17:40 WIB

Wujud Syukur Perjalanan GM sebagai Perupa

Sabtu, 23 Oktober 2021 | 09:17 WIB

Kemanusiaan dan Spiritualitas Basoeki Abdullah

Minggu, 7 Maret 2021 | 16:48 WIB

Meneladani Affandi lewat Alam, Ruang, dan Manusia

Minggu, 8 November 2020 | 15:49 WIB

Merawat Lukisan, Menjaga Peradaban

Minggu, 25 Oktober 2020 | 18:47 WIB

Lima Konservator untuk Ribuan Koleksi

Rabu, 21 Oktober 2020 | 06:17 WIB
X