Pertunjukan teater dimulai sejak penonton berada di luar ruangan. Seorang aktor (Heksa Ramdono) yang berperan sebagai pembawa acara tengah membacakan sinopsis dan aturan main dalam pertunjukan ”Flash of Life” karya Eka Nusa Pertiwi yang diselenggarakan pada Jumat, 16 Desember 2022, di Studio Film ISBI, Bandung.
---
SETELAHNYA, penonton diarahkan masuk ke ruang pertunjukan yang kosong dan gelap dan tanpa setting panggung. Kemudian disambut dengan lantunan kasidah ”Khobiri” gubahan KH Zaini Abdul Ghani (Abah Guru Sekumpul) oleh seseorang (Nida Ulhanifah Setiadi) dari salah satu sudut ruangan. Beberapa penonton menyalakan flash telepon selulernya untuk menerangi ruangan yang gelap. Tak lama kemudian, ia berjalan ndodok menuju sudut ruangan lain sambil terus melantunkan kasidah.
Pertunjukan teater ”Flash of Life” berangkat dari lurik yang mempunyai makna filosofis garis vertikal yang bersifat transenden. Lurik adalah kain tenun yang acap digunakan sebagai bahan pakaian surjan Keraton Jogjakarta maupun Kartasura. Lurik dalam tradisi Arab dikenal dengan burdah, yaitu kain yang bermotif garis lurus. Burdah mempunyai sejarah khusus dalam tradisi Islam. Diriwayatkan ketika itu Rasulullah menghadiahi burdah kepada Ka’ab bin Zuhair ketika sedang membacakan syair puji-pujian kepadanya. Sejak saat itu, burdah dikenal dengan syair cinta yang berisi puji-pujian terhadap Rasulullah. Salah satunya yang masyhur adalah kasidah burdah Imam Al Bushiri.
Surjan menurut KRT Jatiningrat Tepas Dwarapura Keraton Jogjakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang. Kata ”sirojan” juga diadopsi dari bahasa Arab yang mempunyai arti sama. Hal ini termaktub dalam surah Al Ahzab ayat 46. Menurut keterangan dalam surah Al Ahzab ayat 45–48 yang dijelaskan dalam tafsir Al Munir, ”sirojan” merujuk kepada Rasulullah. Kata ”sirojan” juga dikutip dalam kitab maulid ”Simtudduror” yang disusun Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi. Dalam kitab maulid ”Simtudduror” pada part ke-5 bait ke-4 dikatakan ”Fakaana fii dzulmatil zahli lilmustabshiriina siroojan wa qomaron muniiran” (Jadilah ia pelita penerang dan bulan purnama bagi pencari cahaya penembus kejahilan gelap gulita).
Setelah pelantun kasidah keluar ruangan, dari kerumunan penonton muncul seseorang (Eka Nusa Pertiwi) yang memakai baju kimono berbahan lurik, menggerakkan tarian yang mirip dengan kabuki, kemudian mendekati sumber-sumber cahaya flash telepon seluler milik penonton dengan napas yang kadang lirih, mengentak, kadang pula seperti suara napas yang lelah. Seolah napas adalah musik yang memandu gerak tubuhnya. Pada fragmen ini, saya mulai terganggu karena semula pertunjukan ini berangkat dari lurik dan surjan, bukan kimono. Bagi saya ini kontradiktif.
Pascatokoh berbaju kimono melebur bersama penonton, tiba-tiba seseorang (Heksa Ramdono) keluar dari kerumunan penonton. Ia maju ke tengah ruangan –lebih mirip seorang motivator yang memulai dengan pertanyaan-pertanyaan retoris. ”Apa arti sebuah rumah menurutmu?” katanya sambil menyapu wajah penonton dan tatapannya berhenti pada seorang penonton. Hal ini mengingatkan saya pada konsep ”Estetika Kaum Tertindas”-nya Augusto Boal. Sistemnya disusun dari kritik dan analisis teatrikal, yang kemudian dikembangkan berdasar gagasan interaksi langsung antara penonton dan pemain.
Ia meminta penonton untuk aktif menyalakan flash telepon selulernya. Hingga kemudian ia menyalakan lampu ruangan dan pembicaraan pun jauh lebih cair. Topiknya masih sama, seputar rumah. Di tengah perbincangan, tiba-tiba dikejutkan dengan suara teriakan dari atas salah satu sudut panggung. Seseorang (Memes) tengah menuruni anak tangga dengan tergesa hendak menyampaikan kabar dengan suara yang memecah seluruh isi ruangan. Saya merasa dihadapkan dengan dunia lain yang asing, semacam alienasinya Brecht. Seseorang itu –katakanlah yang mewakili kaum tertindas– mengabarkan pada sang ”motivator”, yang ternyata kakaknya sendiri, bahwa rumahnya digusur untuk pembangunan pabrik milik Jepang. Bahkan, sang kakak yang semula bergairah mendadak lesu dan tidak dapat menolong dirinya sendiri. Dari sini saya baru memahami arti kimono berbahan dasar lurik itu. Setidaknya ada dua hal penting. Pertama, bagaimana sebuah negara tidak bisa mengolah bahan mentah di negaranya sendiri sehingga mendapat keuntungan kecil dari hasil penjualan ekspor bahan mentah. Dampaknya adalah perluasan kapitalisasi industri yang merampas hak-hak tanah atas warganya sendiri yang kehilangan tempat tinggal. Kedua, lurik adalah bahan dasar, transendensinya iman, Islam, dan ihsan. Islam bisa masuk ke budaya mana pun dengan dasar aturan yang ketat sehingga melahirkan ihsan, yaitu rahmatan lil alamin (rahmat/kasih bagi seluruh alam).
Setelah sang kakak dan adik berpisah membawa kesedihan rumahnya yang tergusur, lampu ruangan kembali gelap. Tampak dari kerumunan penonton lampu flash menyala, seseorang (Moch. Wail) tengah membacakan potongan syair maulid Al Barzanji dengan kostum berwarna putih dan lilitan kain putih di kepala yang mirip masyarakat Baduy, Banten. Penonton menyimak pembacaan maulid dengan khusyuk. Hingga tiba saatnya mahalul qiyam (berdiri, seakan menyambut kedatangan Rasulullah), semua penonton ikut berdiri dan terlibat dalam senandung ”Yaa Nabi salam alaika, yaa Rasul salam alaika, yaa Habib salam alaika, shalawatulloh alaika”. Setelah mahalul qiyam, mereka duduk kembali. Lalu, beberapa panitia masuk ke ruangan dengan membagi-bagikan makanan dan minuman mirip dengan acara maulid/salawatan yang pernah saya temui. Pertunjukan pun selesai.
Ada tiga peristiwa kunci dalam pertunjukan yang melibatkan penonton ini, yaitu flash telepon seluler, tanya jawab, dan yang terakhir mahalul qiyam. Bahwa Rasulullah adalah surjan/sirajan muniran, pembawa kabar gembira dan rahmat untuk manusia sekalian alam, yang kemudian estafet cahaya itu mesti diteruskan meski sebatas flash telepon seluler. Seperti kisah seekor semut yang memanggul setitik air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Ketika semut itu ditanya oleh seekor burung, ”Hai semut, air yang kamu bawa tidak akan bisa memadamkan api itu.” Lalu, semut menjawab, ”Memang tidak bisa, tapi setidaknya Tuhan tahu posisi saya berada di pihak yang mana.” (*)
KEDUNG DARMA ROMANSHA, Pengamat pertunjukan