Beberapa waktu lalu, sempat ramai ada seorang perempuan yang tak mau dipanggil dengan sebutan ”mbak”. Alasannya bukan karena ia tak mau dianggap tua, atau bahkan tak mau dianggap sebagai perempuan, tapi karena tak mau dianggap sebagai pembantu. Ya, di rumahnya kemungkinan pembantu dipanggil dengan sebutan ”mbak”.
---
DI HARI lain, ada seorang perempuan lain yang meminta orang memanggilnya dengan sebutan ”cici”. Itu biasanya sebutan untuk perempuan Tionghoa. Masalahnya, perempuan ini bukan seorang Tionghoa.
Tentu saja kedua kasus sempat menimbulkan kehebohan. Dengan mudah kita menemukan argumen bahwa ”mbak” itu istilah yang umum untuk perempuan yang lebih dewasa, atau sebagai sapaan hormat, tak memandang kelas atau profesi. Demikian juga kita mudah menemukan argumen, lebih tepatnya olok-olok, bahwa meminta dipanggil ”cici” seolah-olah ia mau mengaku-aku sebagai Tionghoa.
Pertanyaannya, memang tak boleh orang merasa tak nyaman dipanggil ”mbak”? Pengertian ”mbak”-nya memang berbeda dengan pengertian umum, tapi apakah pengertian yang dipahami umum menggugurkan pengalaman personal? Mengabaikan perasaan individu? Memang tak boleh kalau seseorang merasa lebih nyaman dipanggil ”cici”?
Di dunia ini, kita akan selalu berhadapan (dan di satu titik mungkin menjadi konflik) antara ”pandangan/ukuran umum” dan ”pengalaman/perasaan personal”. Dalam kasus perang demi tanah air, misalnya, secara umum kita bisa bersepakat bahwa itu merupakan kewajiban dan kebanggaan. Tapi, bagi individu-individu, perang demi apa pun bisa saja menjadi kepiluan dan kepedihan.
Masih ingat dengan seorang komentator politik yang dipanggil ”Profesor”? Kebanyakan dari kita memahami ”Profesor” sebagai gelar guru besar di universitas, tentu dengan syarat-syarat tertentu untuk memperolehnya. Orang yang dimaksud jelas belum memenuhi syarat. Tapi, bagaimana kalau oleh pemujanya dianggap sudah memenuhi syarat, dalam arti mereka memiliki syarat yang berbeda?
Saya merasa, semakin hari kita semakin dituntut untuk lebih berempati terhadap ukuran-ukuran, pilihan-pilihan, dan bahkan nilai-nilai personal. Masalahnya, di titik mana ukuran-ukuran umum bisa diterima bersama, dan di titik mana ukuran personal yang dipengaruhi pengalaman pribadi juga bisa dimengerti?
Kalau urusannya berhubungan dengan ukuran suhu barangkali lebih gampang. Ruangan dengan AC 180 C di Bandung atau di New York ya sama saja ukurannya. Tapi, ”panas” atau ”dingin” bisa jadi berbeda maksudnya orang per orang. Dua ukuran yang konstan dan yang relatif sama-sama bisa diterima.
Sebagai orang yang senang membaca sastra, saya bisa memahami pengalaman-pengalaman personal ini. Berbeda dengan sains atau ilmu pengetahuan yang ukurannya adalah objektivitas, sastra (baik novel maupun puisi) bagi saya lebih merupakan usaha untuk melihat dunia dengan ukuran-ukuran personal.
Seperti kata Tolstoy, jika keluarga bahagia bisa serupa (dengan artian mengikuti imajinasi umum), maka keluarga yang tak bahagia, bahagia dengan caranya sendiri-sendiri. Sastra memang bisa membawa kita ke sana, mengasah kita untuk melihat pengalaman-pengalaman yang berbeda. Dengan cara itulah, kita belajar berempati kepada pandangan atau nilai yang unik.
Berempati kepada siapa pun yang berbeda.
Belum lama ini, ada kasus lain di mana ukuran, definisi, memperlihatkan dinamikanya. Apakah kita perlu mempertahankan kriteria-kriteria lama, atau kita mencoba membuka diri dengan kemungkinan-kemungkinan baru?
Kasus ini terjadi di Amerika. Seorang perenang, Lia Thomas, menjadi perenang tercepat dalam kejuaraan NCAA (National Collegiate Athletic Association) kategori perempuan. Yang menjadi kehebohan adalah ia seorang transpuan.
Saya rasa kasus ini masih jadi perdebatan panas di Amerika dan bagian-bagian dunia yang lain. Kategorinya jelas, ”perempuan”, tapi pertanyaannya, apa itu ”perempuan”? Apakah perempuan bersifat psikologis/hormonal, atau itu merujuk manusia yang memiliki rahim dan vagina?
Saya tak punya kapasitas menjawabnya. Para ahli biologi maupun psikologi mungkin akan terus berdebat. Demikian juga otoritas-otoritas olahraga, bagaimana mereka menentukan apa itu ”perempuan”? Apa ciri-cirinya, batasan-batasannya? Tentu yang lebih penting lagi, mendengarkan mereka yang terlibat.
Kasus semacam ini jelas jauh lebih pelik dari sekadar saya merasa ”panas” dan orang lain merasa ”dingin” pada ruangan yang sama. Ia memaksa kita untuk membuka ruang empati lebih luas, untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan cara pandang lain.
Dalam kasus ”cici”, di tingkat yang serius, sebetulnya apa ukuran ras? Secara umum bisa saja ia dianggap ”bukan Tionghoa”, tapi siapa yang bisa menjamin ia tak punya gen Tionghoa? Bukankah sekitar tiga tahun lalu, Najwa Shihab yang dianggap orang merupakan keturunan Arab, setelah dites DNA, ternyata hanya memiliki gen Arab 3,4%? Ia bisa mengakui 96,6% gen dari ras yang tersisa, bukan?
Satu hal yang jelas, segala hal di dunia tak pernah mapan. Kita akan terus mempertanyakan dan menggugatnya. Jika kita berhenti bertanya, yang lain akan melakukannya. (*)
---
*) EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016