Tujuh puluh tahun setelah Demak berdiri, Jaka Tingkir dinobatkan Sultan Trenggana sang penguasa Demak sebagai adipati di Pajang. Dia segera memerintahkan untuk membabat hutan di sebelah barat Desa Pengging kampung asalnya untuk dijadikan pusat pemerintahan kadipaten. Begitu ibu kota baru berdiri, rakyat berbondong-bondong pindah ke sana sehingga dalam waktu singkat tempat yang semula daerah pinggiran berkembang menjadi sebuah kota yang ramai dan makmur.
SETELAH Sultan Trenggana wafat, Jaka Tingkir mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Adiwijaya. Kian lama pamor Sultan Adiwijaya kian bersinar. Pajang pun menjelma kerajaan besar. Sementara, cahaya Demak makin redup.
Namun, di balik kemegahan Pajang, ada sesuatu yang menggundahkan hati Sultan Adiwijaya. Hingga sekian lama, dia belum juga memiliki keturunan yang bakal menjadi penerus kekuasaannya kelak. Istrinya Ratu Mas Cempaka, putri keempat mendiang Sultan Trenggana, tak juga mengandung. Mengikuti tradisi untuk memancing keturunan, sang Sultan memutuskan untuk mengambil anak angkat.
Anak yang beruntung itu seorang remaja bernama Danang. Dia putra Ki Ageng Pemanahan, orang kepercayaan Sultan yang sudah dianggap sebagai kakak sendiri. Di Keraton Pajang, Danang disayangi dan diperlakukan sebagai anak kandung oleh sang Sultan. Sampai-sampai dia lupa bahwa dia hanyalah anak pungut.
Diam-diam ada seorang adipati yang tak sudi tunduk kepada Sultan Adiwijaya. Dialah Arya Penangsang, penguasa Jipang. Dia putra Pangeran Seda Lepen dan cucu Raden Patah –pendiri Kesultanan Demak.
Dalam pandangan Penangsang, Jaka Tingkir cuma menantu Sultan Trenggana sehingga tidak punya hak atas takhta. Lagi pula, anak desa jelata itu tak memiliki trah darah biru. Dia merasa lebih berhak dan lebih layak menjadi raja ketimbang Jaka Tingkir.
Penangsang adalah murid Sunan Kudus. Dia mencurahkan isi hatinya kepada sang guru yang merupakan sesepuh para wali. Sunan Kudus mendukungnya. Makin hari keinginan Penangsang untuk berkuasa kian bergelora. Berkali-kali dia memohon restu kepada Sunan Kudus agar diperbolehkan memberontak terhadap Sultan Adiwijaya. Namun, Sunan Kudus tak juga memberi izin dengan alasan belum tiba waktunya untuk melancarkan perlawanan. Jika dipaksakan, akan berakhir sia-sia dan menelan banyak korban.
”Kapankah saya diizinkan menyerbu Pajang? Saya tidak rela tunduk terhadap seorang anak desa jelata,” kata Penangsang jemawa.
”Anakku, bersabarlah. Sultan Pajang itu sakti dan waskita,” sahut Sunan Kudus mencoba menenangkan muridnya.
Penangsang memang memiliki kelemahan berwatak sombong dan mudah naik darah. Dia juga pantang ditentang. Jika sudah memiliki kemauan, dia sulit dicegah. Jika menginginkan sesuatu, dia tak segan merebutnya dengan kekerasan. Kalau tidak senang dan marah dengan seseorang, dia tega membunuh.
Dia pernah menyuruh anak buahnya membunuh Raden Prawoto yang menggantikan Sultan Trenggana sebagai penguasa Demak. Sebabnya, abang sepupunya itu dianggap telah bersekongkol membunuh ayahnya.
Adik Raden Prawoto yang bernama Ratna Kencana atau Ratu Kalinyamat yang berkuasa di Jepara berupaya menuntut balas. Namun, Penangsang malah menyuruh kaki tangannya membunuh suami sang ratu, Pangeran Hadiri.
Karena merasa dizalimi, tapi tak berdaya membalas kematian dua lelaki yang dia cintai, Ratu Kalinyamat yang terhitung kakak ipar Sultan Adiwijaya itu bertapa telanjang di Gunung Danaraja. Dia bersumpah tak akan berpakaian sampai dendamnya terbalaskan. Berbulan-bulan perempuan ayu itu bersila tanpa busana, hanya menutupi tubuhnya dengan rambut sepinggang yang liar tergerai.
”Jika kematian suami dan kakakku belum ditebus dengan kematian Penangsang, jika aku belum dapat menginjak kepalanya, aku tak akan berkain!” ucapnya sungguh-sungguh.
Sementara itu, Penangsang sudah tak tahan membendung nafsu berkuasa. Tanpa sepengetahuan Sunan Kudus, dia mengutus empat bromocorah untuk membunuh Sultan Adiwijaya. Keempat lelaki berilmu tinggi itu ialah Wanengpati, Singaprana, Kartajaya, dan Jagasatru. Penangsang membekali mereka dengan keris Kyai Setan Kober.
”Jika berhasil membunuh Jaka Tingkir, kalian akan kuberi hadiah rajabrana dan kuangkat menjadi adipati!” kata Penangsang.
Janji imbalan menggiurkan itu membuat mereka rela bertaruh nyawa. Lebih baik mati dalam memperjuangkan harapan ketimbang hidup melata dalam kemiskinan. Mereka berangkat dari Jipang dengan menyamar sebagai petani.
Setelah tiga hari mempelajari situasi di purasaba dan memata-matai istana, pada tengah malam mereka berhasil menyusup ke dalam Keraton Pajang tanpa diketahui oleh para pengawal yang telah mereka sirep sehingga tertidur. Sungguh ampuh pengaruh mantra ajian megananda sehingga seluruh penghuni istana terlelap, termasuk Sultan Adiwijaya.
Tiga orang berbusana serbahitam masuk ke dalam kamar keprabon. Sementara, Jagasatru berjaga-jaga di luar kamar. Di atas ranjang, berdampingan dengan istrinya, tampak lelaki jatmika itu tengah tidur nyenyak berbalut sehelai selimut. Matanya terpejam rapat dan terdengar dengkur lembut. Orang paling berkuasa di Pajang itu terlihat tak berdaya.
Wanengpati lekas menghunjamkan Kyai Setan Kober yang telah mencabut banyak nyawa ke perut sang Sultan. Namun, jangankan melukai tubuh yang telentang pasrah itu, selimutnya saja tak robek sedikit pun. Ternyata Sultan Adiwijaya memang sungguh mandraguna. Dia tetap pulas meski berkali-kali ditujah keris keramat yang konon bertuah.
Ketiga penyusup itu berusaha menikam sang Sultan bergantian. Tetapi tak mempan. Sultan pun terbangun. Dia melemparkan selimutnya kepada ketiga penyerangnya. Mereka terkejut mendapat serangan kilat, lalu terkapar muntah darah.
Tak berapa lama, Ki Ageng Pemanahan dan beberapa penggawa yang telah siuman berhasil melumpuhkan penyusup yang berjaga di luar kamar Sultan. Ketika ditanyai, karena ketakutan mereka mengaku terus terang bahwa mereka suruhan Arya Penangsang dari Jipang.
Alih-alih murka, Sultan Adiwijaya hanya tersenyum tipis menatap para penyerangnya yang telah tak berdaya. ”Jangan diapa-apakan. Mereka kuampuni karena hanya menjalankan perintah,” katanya kepada para pengawalnya. Kemudian, kepada Ki Ageng Pemanahan dia memberi amanat, ”Kakang, lepaskan mereka dan berilah bekal yang cukup untuk pulang ke Jipang.”
Keempat orang itu pulang dengan perasaan wirang. Namun, mereka bersyukur karena masih dibiarkan hidup. Malah, masing-masing dibekali uang emas setail. Sementara, keris Kyai Setan Kober disita oleh Ki Ageng Pemanahan.
Sepulang ke Jipang, mereka menghadap Arya Penangsang. Mendapat laporan dari keempat begundal suruhannya, dia marah dan merasa ditampar. Namun, diam-diam dia kagum atas kesaktian Jaka Tingkir yang semula dia remehkan.
Sementara itu, di balairung Keraton Pajang, Sultan Adiwijaya mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk membahas ulah Arya Penangsang. Sultan bersabda, ”Siarkan sayembara. Siapa saja yang sanggup membunuh Arya Jipang akan aku anugerahi tanah Mataram!”
Tiga hari kemudian, Ki Ageng Pemanahan datang menghadap Sultan bersama sahabatnya Ki Juru Martani yang menjabat lurah tamtama atau kepala pasukan penjaga istana. Dia menyatakan bahwa mereka berdua bersedia melawan Arya Penangsang.
Sultan merasa senang mendengarnya. Dia tersenyum lebar. ”Bagus. Kuberikan doa restu. Berhati-hatilah menghadapi Arya Jipang. Ilmunya tinggi.”
Ki Juru Martani yang cerdik telah mempersiapkan siasat. Pada satu sore yang cerah dia mengirimkan sepucuk surat tantangan kepada Arya Penangsang untuk bertarung satu lawan satu di tepi Bengawan Sore. Isi surat itu sangat merendahkan martabat.
Ki Juru Martani menangkap seorang tukang rumput abdi kadipaten Jipang. Orang itu lalu dia suruh mengantarkan surat kepada majikannya. Untuk menghina Arya Penangsang, dia memotong telinga kiri si tukang rumput. Dengan darah bercucuran, tukang rumput malang itu menghadap majikannya dan menyerahkan surat dari Ki Juru Martani.
Melihat abdinya dalam keadaan serupa itu, Arya Penangsang berang dan merasa dipermalukan. Murkanya kian memuncak saat dia membaca surat tantangan yang amat kurang ajar. Amarah membakar hatinya. Membuat dia lupa diri.
”Bajingan tak tahu diri!” rutuk Arya Penangsang dengan wajah beringas.
Dia berteriak menyuruh abdinya menyiapkan si Gagak Rimang. Seraya menyandang tombak, Arya Penangsang melompat ke punggung kudanya, lalu berangkat sendirian tanpa pengawal. Kuda jantan legam itu melesat bagai terbang menuju Bengawan Sore.
Ketika Arya Penangsang muncul di tepi bengawan, yang datang menghadapinya bukanlah Ki Juru Martani atau Ki Ageng Pemanahan, melainkan Danang yang kini telah tumbuh menjadi pemuda tangguh yang gesit berperang.
Begitu melihat Penangsang di seberang, Danang segera berteriak menantang. Penangsang menjadi gelap mata. Tanpa perhitungan dia menyerang dengan berang. Dia menyeberangi sungai kecil itu dan dengan tombak teracung memacu kudanya ke arah musuh.
Danang yang menunggangi kuda betina menyambutnya dengan tombak pusaka Kyai Plered. Melihat kuda betina itu, Gagak Rimang timbul berahi dan menjadi lepas kendali. Dengan sigap Danang melompat turun dari kudanya. Saat Penangsang sibuk mengendalikan kudanya yang berlari liar karena keranjingan, Danang menusukkan tombaknya merobek perut musuh.
Penangsang terjatuh ke bumi dengan usus terburai. Dia berupaya bangkit untuk balas menyerang. Namun, dia tak sanggup lagi berdiri. Lelaki digdaya itu terkapar meregang nyawa. Darahnya memerahkan bumi.
Ki Ageng Pemanahan lalu memenggal kepala Penangsang dan membawanya menghadap Sultan Adiwijaya. Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan mengaku bahwa dia sendirilah yang telah membunuh Penangsang. Ki Ageng Pemanahan berharap dianugerahi tanah Mataram sebagai hadiah sesuai janji Sultan.
Namun, Sultan Adiwijaya ingkar janji. ”Terima kasih, Kakang telah berhasil menunaikan tugas dengan baik. Jika Kakang bersedia menerima Jipang, akan kuberikan sekarang. Namun, jika menginginkan tanah Mataram, Kakang harus bersabar dahulu.”
Mendengar kata-kata itu, Ki Ageng Pemanahan kecewa, tetapi dia tak kuasa membantah. Dia hanya bisa membatin. Ajining diri ana ing lathi. Bukankah kehormatan seorang manusia terletak pada lidahnya? Apakah penguasa boleh berbuat semaunya? Di manakah keadilan?
Setelah terdiam cukup lama, dia berkata lirih, ”Mohon ampun, Sinuwun. Hamba sungguh tak berani menerima selain yang telah dijanjikan. Biarlah hamba menunggu saja.”
Sang Sultan tak berucap apa-apa lagi. Dia bangkit dari singgasananya dan masuk ke dalam istana, meninggalkan Ki Ageng Pemanahan yang tunduk terpekur.
Pendapa agung itu begitu sunyi. Tak terdengar cericit burung di pepohonan. Sementara, di langit barat cahaya jingga telah meredup. Tak lama lagi malam akan menyelimuti bumi Pajang. (*)
ANTON KURNIA, Menulis tiga kumpulan cerpen, antara lain Insomnia (2004) yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Arab, dan Spanyol. Novelnya, Majnun, baru saja terbit. Ia terpilih mengikuti Melbourne Virtual Writers in Residence 2022.