JawaPos.com– Panembahan Reso naik panggung di Ciputra Artpreneur akhir pekan ini. Pertunjukan drama yang disebut-sebut sebagai mahakarya Rendra tersebut dimainkan selama tiga jam tanpa jeda. Durasi pertunjukan tersebut jauh lebih pendek dari pementasan Panembahan Reso pertama kali pada 1986 lalu yang berlangsung hingga tujuh jam. Kali ini, Hanindawan menjadi sutradara Panembahan Reso. Bersamanya ada Sosiawan Leak yang bertugas sebagai asisten sutradara.
“Durasi yang menjadi lebih pendek tidak mengubah struktur cerita Panembahan Reso,” kata Hanindawan. Cerita tentang ambisi Panji Reso yang bersekongkol dengan Ratu Dara memburu takhta dengan segala cara tetap menjadi nadi pertunjukan ini. Kelicikan dan kekejaman seorang Reso yang tega membunuh istrinya sendiri, persekongkolan nafsunya dengan Ratu Dara merebut kekuasaan, hingga akhir tragis Reso yang telah menjadi Panembahan mengalir lancar untuk penonton.
Pada malam gladi bersih, Panembahan Reso sempat terganggu dengan klip mikrofon Ratu Dara. Suara Ratu Dara yang diperankan Sha Ine Febriyanti beberapa kali lesap dalam sejumlah adegan berbeda. Beruntung Ine tampak sadar dan berusaha meninggikan proyeksi suaranya hingga penonton masih mendengar dialognya. Di luar persoalan teknis pengeras suara Ratu Dara, gladi bersih selama tiga jam itu berjalan lancar. Para awak pertunjukan sukses menuntaskan Panembahan Reso hingga mendekati tengah malam dengan penonton yang betah mengikuti lakon sampai akhir.
Panembahan Reso adalah pertunjukan yang banyak dibicarakan di ranah teater Indonesia. Karya ini bernas membidik nafsu berkuasa dalam diri manusia yang mungkin tak berhenti sebagai ilusi bila berjumpa dengan persekongkolan. Panembahan Reso juga mengisahkan kekuasaan yang mutlak dapat berujung pada tragedi. Tidak sulit mencari padanan cerita besar Panembahan Reso dengan sejarah para penguasa negeri ini, khususnya Jawa. Narasi besar tentang perburuan mengejar kekuasaan yang dapat memantik beragan intrik hingga berdarah-darah tampaknya akan selalu ada tanpa memandang zaman.
Mereka yang pernah menyaksikan Panembahan Reso edisi 1986 kembali mengenang pertunjukan di Istora Senayan itu lalu mengingat kedekatan karya tersebut dengan kenyataan di luar panggung. Dialog-dialog dalam Panembahan Reso dan narasi di sekitarnya tentu terasa amat kuat saat dipentaskan manakala rezim otoriter Orde Baru masih kukuh berkuasa. Pernyataan keras Panji Tumbal usai dikhianati Panji Reso menjelang dipancung Pangeran Bindi tentang pemberontakannya berbeda dengan patgulipat para elite demi gemerlap singgasana, melainkan untuk kesejahteraan rakyat tertindas dan dibungkam, rasanya dapat membikin merinding penonton di kala Indonesia yang masih sentralistik di masa itu.
Bagi yang belum pernah menontonnya, Panembahan Reso edisi 2020 memberikan pengalaman menyaksikan pemanggungan naskah drama penuh sastra dalam bangunan dramaturgi yang kuat. Juga merasakan rupa saling silang sebuah pertunjukan teater. Saling silang antara tanda-tanda khas teater tradisi dan modern, Jawa dan bukan Jawa, juga antara konvensional dan mutakhir. Saling silang itu tampak kentara sejak pertunjukan dimulai. Musik hidup yang memadukan gamelan dan instrumen modern membius penonton untuk mendekati lakon pada sebuah ruang yang sangat khas Jawa. Padahal, hingga tuntas dipentaskan, Jawa tak pernah disebut.
Penonton yang larut dengan tanda-tanda khas Jawa niscaya bertanya-tanya saat para panji bermunculan di atas panggung. Tampak terang mereka lebih mirip serombongan pendekar kungfu ala film-film Hongkong era 80-an ketimbang pembesar sebuah kerajaan Jawa. Penanda pertunjukan khas Jawa dalam Panembahan Reso memang kuat namun, sekali lagi, lakon ini tidak berlatar Jawa. Nama para tokoh yang khas Jawa pun sebenarnya tidak dapat menguatkan lakon ini berlatar Jawa dan budayanya. Mana mungkin ada pangeran di Jawa bernama Rebo padahal lahir hari Kamis?

-
Panembahan Reso edisi 2020 menunjukkan saling silang antara teater tradisi dengan modern. Ada rasa khas drama Kethoprak yang menempatkan raja dan tokoh utama lazim memproyeksikan pemeranannya serba ‘besar’ di banyak adegan. Namun, di saat sama, Panembahan Reso juga menunjukkan pemeranan khas realisme teater modern dalam babak demi babak cerita. Setidaknya hal itu tampak pada adegan-adegan Jamaluddin Latif dan Ruth Marini yang memerankan Pangeran Rebo dan Nyi Reso, juga dalam adegan mabuk Raja Tua (Gigok Anurogo)-Panji Reso (Whani Darmawan).
Pemeranan Jamal yang wajar meyakinkan kehadiran seorang pangeran penakut, kekanak-kanakan, sedikit bodoh, dan jauh dari berwibawa. Di bagian lain, Ruth secara terukur mampu membangun suasana pilu saat meratapi ambisi sang suami yang disebutnya akan berkubang di telaga darah. Pada adegan Raja Tua dan Panji Reso teler bersama, tidak ada Gigok Anurogo dan Whani Darmawan di sana. Yang ada adalah dua manusia mabuk kuasa tengah merayakan kemabukannya. Saling silang antara pemeranan meyakinkan ala realisme dengan kerja keaktoran yang cenderung berlebih khas teater tradisional menjadikan Panembahan Reso menarik disimak hingga akhir.

-
Tak semua saling silang di pertunjukan Panji Reso mengasyikkan. Ada yang jomplang pada skenografi panggung dan musikalitas. Tata panggung yang sederhana dengan latar belakang kain putih sejak awal mengisyaratkan citra visual akan menyertai jalannya cerita. Rupa-rupa citra itu muncul dari bayang-bayang hasil sorot lampu dari balik panggung. Dinding sebagai layar yang menggunakan kain secara langsung menyebabkan tampilan visual yang muncul di atasnya niscaya jauh dari rapi.
Bayangan pasukan berkuda dari para pemeran prajurit hingga citra statis wayang dari teknik pemanggungan yang konvensional ini pada akhirnya tidak cukup kuat ikut membangun suasana adegan. Panggung yang didominasi warna putih juga tidak banyak dimanfaatkan dengan kemungkinan menembakkan rupa-rupa visual bersumber video ataupun animasi. Hanya adegan paling akhir yang tampak menggunakan sekujur prosenium sebagai layar dengan maksimal. Di bagian musik, Panembahan Reso amat meriah. Iringan suara sangat dominan di sebagian besar adegan Panembahan Reso hingga terdengar berlebih.

-
Panembahan Reso berakhir dengan adegan terbunuhnya Reso, lelaki yang telah menjadi raja sekaligus mengalami delusi. Bersamanya Panji Sekti (Budi Bodot Riyanto) yang menjadi kawan sepersekongkolan setianya ikut mati. Ratu Kenari (Sruti Respati), selir Raja Tua korban kelicikan Panji Reso, membunuh mereka. Ujung cerita ini hadir di atas panggung dengan muram. Suara tembang tanpa iringan instrumen dari pinggir panggung yang mengawali adegan seiring meredupnya tata cahaya membangun suasana suram. Hingga Panembahan Reso rebah oleh tusukan Ratu Kenari, hanya sepi di atas panggung yang tersiram warna merah. Akhir tragis dan kelam dari lakon yang rumit.