Reog adalah ikon Ponorogo di ranah budaya. Namun, Ponorogo memiliki citra kuat di dunia kuliner melalui sate ayamnya. Warung Sate Ayam H Tukri Sobikun menjadi salah satu warung tertua dan pionirnya.
EKO HENDRI SAIFUL, Ponorogo
---
RIBUAN tusuk sate bertumpuk di dapur pembakaran H Tukri Sobikun. Selain sate, empat tungku pemanggang dari semen yang sudah berkerak menjadi saksi perjalanan usaha kuliner yang sudah berusia sekitar empat dekade tersebut.
Pegawai paling senior, Prasetyo Wardoyo, menyatakan, selama dirinya 20 tahun bekerja di sana, tungku pembakaran sate tetap sama. Resep bumbu sate pun tidak berubah. Potongan daging ayam dipertahankan berukuran dua ruas jari orang dewasa.
Yang berubah cuma dua. Konsep penjualan dan jumlah ayam yang dipotong setiap hari. Dulu, ketika merintis usaha pada 1970-an, Sobikun berkeliling menjual sate. Dia menjajakan sate dari satu emperan toko ke emperan lain di Ponorogo. Seiring dengan makin larisnya sate, generasi ketiga H Tukri Sobikun memutuskan menetap di lokasinya sekarang. Tepatnya di Jalan Lawu, Nologaten, Ponorogo. Pergeseran lain adalah Sobikun memotong lima ekor ayam setiap hari pada awal merintis usaha.
Kini, dalam sehari, 100 ekor ayam dipotong untuk menyambut tamu di warung makannya.
Prasetyo lantas menceritakan, bentuk tungku sate yang menjadi ”temannya” selama berdekade itu dijaga betul. Sesekali, di beberapa titik tungku dioleskan semen agar retak atau kerusakan kecil yang lain tidak menjadi masalah besar. ”Tungku harus dirawat agar tidak rusak. Kalau tungku tidak berfungsi maksimal, rasa sate yang semula manis malah bisa jadi asin,” jelas Prasetyo.
Sebagai pegawai yang terawet, dia mahir memanggang sate langsung 40 tusuk. Dengan sekali lirik, Prasetyo tahu mana sate yang matang dan belum. ”Pembakaran sate memang berbeda-beda. Di sini sate dibakar dua kali,” ungkap Prasetyo.
Pembakaran pertama dilakukan hingga sate setengah matang. Setelah dibakar, sate dicelupkan ke dalam bumbu lagi. Sate lantas dibakar lagi untuk kali kedua hingga benar-benar matang dan siap disajikan. Meski terlihat enteng, proses membakar sate ternyata tidak mudah. Harus pandai mengatur arang supaya sate tidak gosong. Agar kualitas sate mumpuni, arang yang dipakai tidak sembarangan. ”Biasanya, kami pakai arang dari pohon asam. Arang pohon asam lebih tahan lama saja,” jelas Prasetyo.
Ketika Jawa Pos ke Kampung Sate Ponorogo Januari lalu, ada banyak warung yang berjajar. Namun, sate H Tukri Sobikun paling diburu masyarakat. Bentuk dan rasanya khas. Tusuk sate memiliki panjang sekitar 12 sentimeter. Irisan daging yang cukup besar membuat orang merasa mantep dan puas.
Menurut generasi ketiga Sobikun yang kini mengelola warung sate H Tukri Sobikun, Suroto, dirinya meneruskan usaha mertuanya, H Tukri. H Tukri ini adalah anak Sobikun. Dan, di bawah kendali H Tukri, pesanan sate meningkat pesat. ”Pekerja sempat kewalahan melayani pengunjung. Karena itu, ketika saya dipercaya, warung makan dibangun dan diperluas,” kata Suroto.
Kini banyak warga luar daerah Ponorogo yang penasaran dengan satenya. Warung makan yang dikelola Suroto selalu ramai setiap hari. Sejak dibuka pukul 05.00, warung sate H Tukri Sobikun ramai pembeli. Sebagian besar merupakan masyarakat luar daerah yang sengaja datang untuk mencari oleh-oleh.

-
Bukan hanya artis ibu kota yang datang ke warung sate H Tukri Sobikun. Sejumlah pejabat seperti mantan ketua umum Partai Golkar yang juga pengusaha Aburizal Bakrie pernah mampir ke warungnya. ”Tapi, yang membuat saya lebih bangga lagi, warung saya menjadi jujukan presiden,” ujar Suroto.
Bapak dua anak itu mengungkapkan, satenya dikangeni Presiden Keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ayah Agus Harimurti Yudhoyono itu sudah dua kali berkunjung. Selain SBY, Joko Widodo, presiden Indonesia saat ini, ternyata juga kepincut dengan sate Tukri. Pria asal Solo itu tercatat sudah dua kali mampir untuk makan sate.
Suroto mengabadikan kedatangan dua presiden di tembok warungnya. Foto itu tentu menjadi bagian penting promosi warungnya. Orang nomor satu di negeri ini saja datang dan mencicipi sate yang dibuatnya tersebut.
Nah, tantangan saat ini, menurut Suroto, adalah menjaga kualitas produk. Tidak cukup berinovasi. Upaya mempertahankan resep keluarga juga menjadi kunci meningkatkan penjualan. Cuma, Suroto tidak memerinci resep yang dipakai keluarganya. Namun, dia menyampaikan bahwa perkembangan warung tidak terlepas dari ajaran pantang menyerah yang ditularkan Sobikun, sang perintis warung. ”Kami memang tidak membuka banyak cabang. Kami ingin masyarakat tetap datang ke sini untuk meramaikan warung,” tutur Suroto.