Paparan kekerasan terus-menerus, termasuk secara kebahasaan, akan melahirkan banalitas. Banalitas ini akan pula berdampak pada pola pikir dan pola pikir adalah pencipta tindakan.
LANGUAGE relativity, yang digagas oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, mengungkap bahwa pola pikir seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh bahasa yang digunakannya. Kemudian, pola pikir ini akan mendikte tindakan.
Tindakan ini pun bisa saja sesuatu yang baik atau bahkan, utamanya, yang buruk. Tiga lapis kausalitas inilah yang hendak disampaikan oleh Achmad San.
Buku ini terdiri atas dua bab besar. Bab pertama, Tragedi Bahasa dalam Budaya, jeli membidik fenomena kebahasaan beserta implikasinya dalam lingkup kehidupan sehari-hari. Bab kedua, Tragedi Bahasa dalam Politik, utamanya, mendedah strategi-strategi manipulatif oleh para pemimpin bangsa kita.
Kekerasan Linguistik yang Menyusup
Tanpa kita sadari, tragedi bahasa telah mengepung kehidupan kita sehari-hari. Di antaranya melalui penyebutan akronim, simplifikasi bahasa media sosial, dan irasionalitas bahasa iklan.
Bahkan, kekerasan linguistik di ranah olahraga dan kuliner juga tidak lepas dari pengamatan penulis. Sejatinya, kosakata dalam ”kekerasan dalam kuliner” (ayam) mutilasi, digeprek, dipenyet, digepruk, dan diremuk (halaman 10) ataupun dalam ”kekerasan dalam olahraga” lindas, gilas, menghabisi, membantai, membinasakan (halaman 12–14) sudah menjadi banal.
Selaras dengan hipotesis Sapir dan Whorf, ungkap penulis, ”apa pun yang merepresentasikan kekerasan dapat memengaruhi pola pikir manusia, khususnya anak-anak” (halaman 11). Dengan demikian, bisa jadi kekerasan fisik ataupun perundungan, bahkan di kalangan anak-anak sekalipun, yang akhir-akhir ini kerap hadir, adalah ”buah karya” dari kekerasan linguistik ini.
Walau belum ada studi khusus yang mengkaji ini, setidaknya sebuah benang merah teoretis telah hadir. Paparan kekerasan terus-menerus, apa pun bentuknya, akan melahirkan banalitas. Banalitas ini akan pula berdampak pada pola pikir dan pola pikir adalah pencipta tindakan. Sesuatu yang seharusnya ”salah” bisa tampak ”lumrah”.
Manipulasi Bahasa dan Kontestasi Kekuasaan
Bahasa bukan sekadar moda berkomunikasi, tetapi mekanisme kekuasaan (Bourdieu, 1991). Proposisi ini sejalan dengan paparan penulis bagaimana para penguasa negara ”bermain-main” dengan, istilah penulis, ”kendaraan kata-kata” melalui technical reasoning, metonimia, personifikasi, penjulukan, akronim, dan, utamanya, slogan dan propaganda.
Beda era, beda jargon. Slogan dan propaganda menjadi kendaraan politik yang andal demi tujuan politik, yakni strategi rasionalisasi tindakan dan legitimasi pengaruh dan kekuasaan politik. Frasa ”atas nama stabilitas”, bahasa politik era mantan Presiden Soeharto (halaman 89), dan ”revolusi mental” ataupun ”kerja, kerja, kerja” oleh Presiden Jokowi (halaman 109) merupakan segelintir dari sederat contoh konkret yang dihadirkan penulis.
Lebih lanjut, subbab Glosarium Korupsi patut pula dicermati. Istilah yang berkelindan dengan ”korupsi” hadir melimpah dalam bentuk idiomatik, metafora, eufemisme, ataupun disfemisme. Jika kita beranalogi dengan fenomena ”snowclone” pada suku Inuit di Kutub Utara, yakni setidaknya ada 50 diksi terkait ”salju”, semakin berkelindannya glosarium terkait korupsi hendaknya tidak kita maknai tunggal sebagai gejala kebahasaan semata. Sebuah indikator gejala sosial pun melekat. Suku Inuit memang hidup dalam cuaca dingin abadi. Namun, akankah korupsi (semakin) menjadi bagian hidup kita seperti halnya ”salju” bagi suku Inuit?
Pembiaran Adalah Penyemaian
Kekhawatiran penulis akan dampak negatif tragedi bahasa jelas tersurat dalam buku ini. Dengan latar belakang di bidang bahasa dan telah ada beberapa buku kebahasaan yang ditulis, penulis tampak jelas memiliki kepekaan tinggi terhadap fenomena bahasa serta dampak sosialnya. Karena itu, kekhawatiran penulis sangatlah beralasan.
Hal ini sama berterimanya dengan usulan kritis penulis. Jika program televisi yang mengandung unsur kekerasan dilarang, bukankah sepantasnya kekerasan verbal juga dilarang?
Ada dua catatan kecil untuk buku ini. Pertama, terdapat paradoks saat penulis mengafirmasi pendapat ”kata itu netral” (halaman 53). Sebenarnya, buku ini secara otomatis menegasi pendapat tersebut. Ada makna dan implikasi tertentu dari setiap kata.
Kedua, elemen kebahasaan dalam pembahasan pada subbab ”Kenapa Kita Cenderung Keras kepada Papua” terasa kurang kental. Meski demikian, buku ini sangat berguna bagi pemerhati bahasa di bidang linguistik, komunikasi, ataupun jurnalistik.
Juga terdapat letupan-letupan ide penelitian yang bisa diadopsi. Lebih lanjut, bagi pembaca umum, buku ini layak dibaca demi memberi tepukan di pundak kita semua agar sadar pentingnya peran bahasa berikut dampak negatif yang mengikuti.
Pada hakikatnya, pembiaran merupakan penyemaian atas legitimasi tidak langsung pada praktik kekerasan bahasa, pada khususnya, dan kekerasan, pada umumnya. (*)
---
- Judul buku: Tragedi Bahasa
- Penulis: Achmad San
- Penerbit: Mera Books
- Cetakan: Pertama, Oktober 2022
- Jumlah halaman: 141
- ISBN: 978-623-88039-5-8
---
*) SHIERLY NOVALITA YAPPY, Mengajar di Universitas Kristen Petra dan Universitas Ciputra