Nikah Dini Erat dengan Kekerasan dan Stunting

25 September 2022, 16:46:56 WIB

Regulasi dan Sosialisasi Tak Bisa Membendung Gelombang Pernikahan Dini

Legalisasi pernikahan selalu berfokus pada usia mempelai. Asal tak melanggar undang-undang (UU), pernikahan dianggap sah. Bahkan, saat usia tidak sesuai dengan anjuran, pernikahan tetap bisa menjadi legal lewat dispensasi.

SECARA formal, pernikahan dini adalah perkawinan anak. Pasangan atau salah satu di antaranya belum memenuhi syarat usia pernikahan. Masih di bawah umur. Revisi UU Pernikahan membuat siapa pun yang usianya belum mencapai 19 tahun dianggap melanggar.

Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perkawinan anak. Kondisi ekonomi, norma sosial dan lingkungan, sampai tuntutan keluarga. Di atas kertas, angka perkawinan anak periode 2020 ke 2021 turun. Namun, penurunan tersebut masih jauh dari ekspektasi.

Karena itulah, ikhtiar untuk membendung gelombang perkawinan anak masih terus dilakukan. Terutama di daerah-daerah yang angka perkawinan anaknya masih tinggi. ”LBH APIK Nusa Tenggara Barat dan LBH APIK Sulawesi Selatan aktif melakukan kampanye dalam pencegahan perkawinan anak,” ungkap Khotimun Susanti saat diwawancarai Jawa Pos pada Jumat (23/9).

Khotimun adalah koordinator pelaksanaan harian di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). Berdasar langkah aktif di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Selatan (Sulsel), LBH APIK mendapati keterangan yang menyatakan bahwa perempuan yang mengalami perkawinan anak kerap dilanda masalah.

”Rata-rata menyampaikan rasa tidak nyaman berumah tangga sejak usia anak,” ujar dia. Namun, tidak sedikit pula yang tanpa malu-malu bicara blak-blakan, menentang perkawinan anak. Sayangnya, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki yang telah terjadi.

Karena harus menikah di usia dini, banyak dari mereka yang kemudian putus sekolah. Tidak sedikit pula yang rumah tangganya diwarnai kekerasan. Baik secara fisik maupun verbal. ”Maka, untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, upayanya harus lebih komprehensif,” ucap Khotimun.

Sosialisasi tentu tidak cukup. Buktinya, meski sudah dibantu dengan hadirnya aturan baru yang membatasi pasangan yang boleh menikah minimal harus berusia 19 tahun, perkawinan anak tetap saja terjadi. Bahkan, setelah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) hadir, perkawinan anak tidak serta-merta hilang.

Untuk itu, LBH APIK menilai perlu ada pembentukan budaya hukum yang lebih masif. ”Agar masyarakat menyadari bahaya perkawinan anak,” tutur Khotimun. Saat ini, lanjut dia, substansi hukum kadang tidak dapat diimplementasikan.

Menurut Khotimun, salah satu sebabnya adalah budaya hukum belum terbentuk. Kondisi tersebut diperparah dengan penegakan hukum yang juga belum sepenuhnya bebas masalah. ”Misalnya masih adanya dispensasi nikah yang mudah serta faktor lainnya,” tambah dia. Pihaknya menyadari, banyak masyarakat yang memilih perkawinan muda sebagai upaya untuk mencegah seks bebas. Atau menutupi perilaku bebas remaja yang dianggap aib keluarga.

LBH APIK menilai UU TPKS bisa menjadi jembatan untuk menyosialisasikan perkawinan anak dihentikan. Mereka melihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama instansi terkait lainnya sudah mengambil langkah dengan mengampanyekan pencegahan perkawinan anak.

”Namun perlu lebih dimasifkan dengan meningkatkan peran desa-desa, sekolah, dan komunitas,” imbuh Khotimun. Mereka juga disarankan segera memperkuat pencegahan perkawinan anak. Terlebih setelah UU TPKS lahir. ”Termasuk mendorong regulasi maupun koordinasi dalam merespons masih maraknya dispensasi nikah,” sambung dia.

Itu penting lantaran LBH APIK berpandangan bahwa perkawinan anak bisa berdampak pada kualitas generasi bangsa di masa yang akan datang. ”Apalagi, kementerian dan lembaga juga masih masif dalam pencegahan stunting. Yang berdasar berbagai penelitian, adanya perkawinan anak dan juga KDRT memiliki hubungan linier dengan adanya stunting,” beber Khotimun.

Di sisi lain, KPPPA menegaskan kembali bahwa perkawinan anak yang mengandung unsur pemaksaan perkawinan berpotensi masuk ranah hukum. Hal itu disampaikan Nahar yang bertugas sebagai deputi bidang perlindungan khusus anak KPPPA. ”Sanksi pidananya diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS,” jelasnya. Hukuman penjaranya juga tidak main-main. Mencapai maksimal sembilan tahun atau sanksi denda maksimal Rp 200 juta.

Untuk itu, perkawinan anak harus dibendung. Tiara Sutari, salah seorang pekerja di Jakarta, menolak perkawinan anak atau pernikahan dini. Menurut dia, bukan hanya perlu aturan ketat, praktik perkawinan anak yang masih terjadi juga harus menjadi atensi serius. ”Soalnya, meskipun ada aturan, kalau nggak dibarengi dengan penyuluhan dan pemantauan, tetap bisa dilanggar,” terangnya.

RISIKO PERKAWINAN ANAK

  • Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
  • Persoalan finansial
  • Kesehatan bayi dan balita
  • Risiko stunting tinggi
  • Risiko perceraian pada usia muda
  • Tidak terpenuhinya kebutuhan pendidikan anak

Editor : Ilham Safutra

Reporter : syn/c9/hep

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads