SEMESTINYA kita gembira, Megawati Soekarnoputri memilih asyik bicara hal-hal di luar politik. Video yang beredar terakhir, bos partai terbesar Indonesia itu merisaukan kebakaran. Sambil memerintah para kadernya sampai ranting untuk waspada, termasuk menyiapkan tabung pemadam kebakaran. Ini anjuran yang bagus meski cuaca sekarang masih hujan dan banyak banjir.
Nasihatnya kepada ibu-ibu agar lebih banyak merebus, mengukus, dan merujak juga layak diikuti. Meski, anjuran itu ternyata diterjemahkan agak meleset saat kader-kadernya bikin demo masak di markas PDIP. Bukannya memperagakan semata-mata menu rebusan, eh malah bikin tutorial membuat minyak kelapa!
Baik juga bagi kita kalau di meja makan berkurang menu berkilau aneka gorengan. Sebab, makanan rebusan tetap tak kalah enaknya asal pintar memasak. Dan, yang rebusan jelas lebih sehat dan aman, terlebih pada usia-usia ”jelita” (menjelang 75 tahun).
Bicara tentang waswas kebakaran atau merebus makanan jelas lebih penting bagi rakyat sekarang ketimbang putri Bung Karno itu bicara politik. Situasi politik kerap penuh gombal, terlebih saat ini. Apalagi kalau bukan gombal demokrasi berupa keinginan menunda pemilu dan menambah masa jabatan presiden untuk tiga periode.
Situasi bisa lebih bikin sumuk kalau Megawati tergoda untuk ikut bicara dan ”digoreng” seolah-olah menyetujui ide tak tahu diri itu. Sikap PDIP melalui Puan Maharani (DPR), Hasto Kristiyanto (Sekjen), dan Ahmad Basarah (MPR) sudah jelas. Ogah tunda pemilu dan presiden menjabat tiga periode.
Lebih baik Megawati meneruskan kampanye rebusan atau godokan. Sejak lama, godokan bercitra lebih baik. Sehat dan rendah kolesterol. Kalau digodok lebih dulu, berarti sesuatu ide sedang diseriusi untuk dimatangkan dengan hati-hati.
Citra sebaliknya dialami gorengan. Gorengan selalu dianggap makanan jalanan dan abai faktor kesehatan. Makanan jalanan bukan masalah, tetapi lebih mementingkan gurih ketimbang sehat itu yang menjadi masalah. Kekalahan negara melawan mafia minyak goreng saat ini turut memperburuk citra gorengan.
Nah, gorengan makin pekat dalam politik kita. Begitu kerap muncul istilah ”digoreng” terkait dengan suatu informasi. Informasi sederhana sekalipun, kalau digoreng dengan bumbu politik, pasti hasilnya bias ke mana-mana. Termasuk dalih-dalih terkait dengan lontaran pemilu diundur dan masa jabatan presiden tiga periode, itu produk gorengan politik. Bukan hasil penggodokan, pemasakan, maupun pematangan suatu gagasan politik untuk diolah dengan serius dan terukur.
Namanya juga gorengan, ide kemaruk kekuasaan itu pasti datang dari elite dibantu ”pawang politik.” Lalu, ide minim daging logika itu diolesi tepung tebal-tebal berupa kerumunan kebulatan tekad ala Orba-Orla, ditabuhi riuh gonggongan dukungan para buzzer. Lalu, ditaburi micin survei-survei orderan. Bumbu utamanya adalah 110 juta ”big dusta.”
Untung saja, sejak diamandemen, konstitusi kita tak lagi ”singkat dan supel.” Istilah itu dulu diindoktrinasikan Orba saat melanggengkan kekuasaan lewat pelaksanaan UUD 1945 asli. Yang memang pasal-pasalnya singkat dan tafsirannya supel alias elastis. Karena itulah, masa jabatan presiden bisa seumur hidup pada era Bung Karno dan 32 tahun pada era Pak Harto.
Konstitusi kita sekarang terperinci dan rigid. Maka, upaya menggoreng-gorengnya untuk mengolor masa kuasa terbentur bunyi aturannya yang sulit diutak-atik. Pilpres lima tahun sekali, ya lima tahun sekali. Jabatan presiden hanya bisa diperpanjang sekali, ya sekali.
”Bukankah UUD bukan kitab suci?” kilah juru goreng politik. Memang, tetapi UUD juga bukan kitab janji kampanye. Yang bisa diubah ubah suka-suka, dilupakan, bahkan diingkari tanpa merasa bersalah. Namanya saja undang-undang ”dasar”. Dasar alias fondasi tak bisa seenaknya diubah tanpa digodok dengan perencanaan matang dan alasan yang jelas.
Pada 2000, alasan amandemen UUD 1945 memang kuat. Dasar atau fondasi itu sudah tak kuat menyangga tuntutan demokratisasi dan akuntabilitas bernegara. Sebagai koreksi dari otoritarianisme dan ugal-ugalan KKN ala Orde Baru.
Hasil penggodokan matang di MPR saat itu adalah konstitusi kita sekarang. Yang mengantarkan empat kali pemilu demokratis. Termasuk mendudukkan Jokowi di kursi kepresidenan. Dua periode. Dan, Megawati Soekarnoputri adalah satu-satunya pemimpin parpol yang masih bertahan saat ini, yang ikut menggodok amandemen UUD 1945 pada 2000.
Sejauh ini konstitusi kita masih kuat menahan gorengan politik kemaruk kekuasaan belakangan ini. Apalagi, hasil gorengan itu tetap tak bisa dicerna, apalagi ditelan publik. Bahkan, ada yang menyebut barang itu sebagai ”begal demokrasi” atau ”teroris konstitusi.”
Gorengan tunda pemilu dan tiga periode memang kental bermuatan kolesterol oligarkisme dan bisa membuat demokrasi stroke. Lumpuh seketika di tangan bangkitnya zombi otoritarianisme.
Syukurlah goreng-menggoreng yang bermula dari seputar istana ini sudah distop Jokowi. Kita hanya perlu mewaspadai. Jangan sampai terjadi ”bahaya laten” penggorengan hingga pemilu pada Hari Valentine 2024 berlangsung. (*)
*) Senior Editor Jawa Pos