Mengulik Fakta Surabaya sebagai Barometer Kota Literasi Versi Perpusnas
Membaca dan menulis tak bisa dipisahkan. Demikian juga pemerintah dan masyarakat. Sebagai dua sisi penting penggerak literasi, pemerintah dan masyarakat harus sama-sama aktif. Dengan demikian, supply dan demand akan menjadi ideal.
—
PERPUSTAKAAN Nasional (Perpusnas) membawa kabar gembira untuk Kota Surabaya pada awal November. Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca Perpusnas Adin Bondar menyebut ibu kota Jawa Timur itu sebagai barometer kota literasi. Predikat yang membuat bangga masyarakat Kota Pahlawan.
Ditemui Jawa Pos seusai Gemilang Perpustakaan Nasional di Jakarta pada Jumat (11/11), Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menyebut ketersediaan perpustakaan sebagai tolok ukur pelabelan kota literasi. Di Surabaya, perpustakaan tersedia sampai di tingkat kelurahan. Mudah ditemukan dan mudah diakses. Itu tidak terlepas dari peran pemerintah kota (pemkot).
”Ini kemudian disusul peningkatan kualitas pendidikannya, kapasitas produknya. Semua secara konsisten dan sistematis,” tegas Syarif.
Dia menambahkan bahwa gerakan literasi di Surabaya dimulai sejak Tri Rismaharini masih menjabat wali kota. Menurut dia, Surabaya juga menjadi satu-satunya kota yang punya ribuan tenaga penggerak untuk mengembangkan budaya literasi sampai masyarakat kalangan bawah. Itulah yang membuat perpustakaan berkembang dengan baik sampai sekarang.
Syarif mengibaratkan literasi sebagai kemampuan memproduksi barang dan jasa. Tidak mungkin suatu daerah bisa menjadi produsen jika tidak pernah ada pelatihan bagi penduduknya. Sebab, literasi hanya akan terwujud jika semua sisi pentingnya saling mendukung. Kalaupun ada daerah yang tingkat literasinya tinggi tanpa harus ada banyak gerakan, Syarif yakin itu terjadi karena literasi di daerah tersebut sudah menjadi budaya.
”Di Jogja, misalnya. Kesadaran literasinya tinggi. Tukang becak saja baca koran,” paparnya.
Selain Surabaya, tingkat literasi di sejumlah kota besar lainnya berkembang dengan baik. Di antaranya, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Lampung, dan Banjarmasin. ”Tapi, sekali lagi, jangan menganggap literasi hanya bagiannya dikbud dan perpustakaan. Ini domain setiap orang,” ungkapnya.
Nirwan Arsuka pun sepakat jika perkembangan literasi di daerah sangat dipengaruhi pemkot atau pemda. Namun, tidak selalu pemkot atau pemda yang memeloporinya. ”Di banyak tempat, justru relawan yang aktif bergerak, baru kemudian pemda merespons,” tutur penulis asal Sulawesi Selatan yang juga dikenal sebagai pegiat literasi tersebut.
Pemerintah, menurut dia, harus bisa memastikan masyarakat menguasai dua poin literasi dasar. Yakni, membaca dan menulis. Dengan begitu, pengembangan literasi dapat dilakukan dengan lebih baik. ”Literasi tidak cukup hanya itu. Kini, ukurannya adalah pada sejauh mana orang menjadi subjek dan bisa berdampak bagi lingkungannya,” tegas pendiri Pustaka Bergerak Indonesia itu.
Di sisi lain, indikator layak tidaknya sebuah kota menjadi barometer literasi sesungguhnya sangat kompleks. Pengamat pendidikan Totok Amin Soefijanto menegaskan bahwa indikator literasi pada zaman digital seperti sekarang harus berubah. Tidak lagi menganut ukuran yang lama.
’’Bukan tolok ukur yang old school seperti ketersediaan buku di kecamatan, kelurahan, atau RT/RW. Itu literasi dalam konteks lama,” ungkapnya kepada Jawa Pos saat dihubungi pada Kamis (10/11).
Totok mengacu pada data UNESCO tentang minat baca masyarakat Indonesia. Angkanya memprihatinkan, 0,001 persen. Artinya, dari setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang rajin membaca. ’’Dari situ terlihat bahwa kuncinya adalah minat baca. Jadi, bukan ketersediaan buku atau perpustakaan,’’ jelas peneliti kebijakan publik tersebut.
Dia lantas menyebutkan bahwa demand-side minat baca harus dibangun sebaik-baiknya. Tidak melulu berfokus pada supply-side saja. Totok menyatakan, penyebutan Surabaya sebagai barometer kota literasi masih menitikberatkan pada supply-side, bukan demand-side.
’’Saat ini masih pada ’pemerintah bisa ngasih ini itu’. Tapi, pernah tidak diukur apakah buku-buku itu dibaca atau tidak? Berapa orang yang baca? Pernah tidak disurvei orang suka buku bacaan apa?’’ tandas peraih gelar doktor dari Boston University tersebut.
—
ENAM LITERASI DASAR UNTUK ORANG DEWASA
1. Literasi baca tulis
2. Literasi numerasi
3. Literasi finansial
4. Literasi sains
5. Literasi budaya dan kewarganegaraan
6. Literasi teknologi informasi dan komunikasi (literasi digital)
Sumber: World Economic Forum