Di era ini, timbul persepsi aliran abstrak telah usai. Tecermin dari peristiwa-peristiwa seni rupa belakangan, lukisan abstrak hampir tak ada yang ambil bagian ataupun menonjol. Namun, kini malah ada yang berani menggelar pameran abstrak.
PAMERAN lukisan abstrak bertajuk Non di Tokonoma, Jakarta, menunjukkan keberanian menggebrak keadaan. Sebab, aliran abstrak hampir tidak menunjukkan perkembangan baru dalam beberapa tahun belakangan. Pelukis aliran abstrak Indonesia terakhir yang tersohor masihlah Hanafi, yang kini usianya menyentuh 60 tahunan.
Pengamat seni rupa Bagus Purwoadi menuturkan, bila dilihat, lukisan abstrak dalam perspektif negatif itu telah selesai. ”Itu karena abstrak tidak ada penawaran baru. Terlihat dari hampir tidak adanya abstrak muncul dalam peristiwa seni rupa kekinian,” kata Bagus kemarin (10/2).

-
Nah, dalam Non ada lima pelukis muda, di usia 30-an akhir dan awal 40-an, yang berpartisipasi. Yakni AP Bestari, Farid Sycumbang, Toni Siswoyo, Philips Sambalao, dan Walid S. Basmalah. ”Maka, pantaslah kemudian semua bertanya, apa ada sesuatu yang baru ditawarkan dalam lukisan abstrak mereka,” tutur Bagus.
Menurut dia, apa yang ditawarkan lima seniman itu bukanlah sesuatu yang tertutup. Bisa apa saja. ”Namun, yang pasti semua itu perlu untuk diuji,” terang Co-Curator Cemara 6 Galeri-Museum, Jakarta, tersebut.
Bagus menambahkan, saat ditanya apakah pameran ini sesuatu yang refreshing atau serius, tentunya publik yang bisa menilai. Namun, saat ini banyak sekali karya yang perlu berpikir. ”Dalam karya ini, publik bisa lepas dari isu sosial politik dan kehidupan. Menikmati komposisi bentuk dan warna. Tak perlu terbebani yang lainnya,” jelas Bagus.

-
Dalam pameran itu juga para seniman muda ini membeberkan bagaimana proses mereka berkarya. Misalnya AP Bestari, dengan dua lukisannya bertajuk Katarsis #1 dan Katarsis #2. Kedua karyanya memang menunjukkan warna-warna yang indah. Namun, tersimpan kesan duka.
Tari –panggilan akrab AP Bestari– menuturkan bahwa dua karyanya itu perwakilan dari perjalanan emosionalnya. Dari peristiwa turbulensi hidup yang dialami, salah satunya saat ditinggal sosok ayah. ”Ternyata kematian berdampak terhadap psikis dan fisik,” ujar Tari.
Berbeda lagi dengan Philips Sambalao. Yang merekam perjalanan bentuk yang kemudian dituangkan dalam abstrak. ’’Setiap menemukan sesuatu yang menarik, saya foto dulu. Nanti baru dituangkan,” jelas Philips.
Begitu pula dengan Walid Syarthowi Basmalah. Karyanya begitu personal. Salah satunya, yang menunjukkan pemandangan sebuah pegunungan.