KITA akan menikmati Piala Dunia (PD) Qatar sebagai pesta sepak bola anomali. Turnamen tidak dihelat di musim libur panjang, namun justru di tengah-tengah kompetisi. Pemain akan bertanding di stadion yang berpendingin, di tengah sengatan udara gurun.
Perayaan dan pesta kemenangan akan dibatasi. Bendera-bendera hanya boleh berkibar di tempat-tempat yang ditentukan. Jatah alkohol dibatasi. Seks dan obat-obatan ketat diawasi. Bagi nonheteroseksual, UU Qatar bahkan bisa membuat mereka masuk bui.
Alih-alih dirayakan bersama sebagai perayaan global, PD Qatar menjadi ajang perdebatan moral.
Orang menyebut keputusan menunjuk Qatar sebagai kesalahan, hasil korupsi dan kolusi petinggi FIFA, oligarki, dan juragan minyak bumi. Negara ini terlalu kecil dan kolot untuk sebuah pesta dunia. Stadion megah dibangun di atas darah dan bangkai pekerja.
Qatar dan kawan-kawan, sebaliknya, menuduh pengecam dan pemboikot sebagai rasis. Telah lama sepak bola hanya mengenal satu warna. Isu hak asasi, LGBT, atau buruh migran adalah imperialisme modern kulit putih dalam dunia sepak bola.
***
Sebagai peserta pasif PD, saya dan banyak jutaan penggemar sepak bola di Indonesia menyambut event ini sebagai anomali. Di satu sisi, jarak waktu Qatar dan Indonesia mencegah kita begadang sampai dini hari. Dari segi musim, menikmati siaran di awal-awal musim hujan bersama kerabat dan teman memberi kehangatan tersendiri.
Di sisi lain, PD seperti datang di waktu yang tak tepat. Belum kering air mata kita dari tragedi Kanjuruhan, sepak bola merasuk lagi dalam kehidupan kita sehari-hari. Di saat kita butuh puasa sepak bola untuk merenungkan apa arti kehidupan, PD menawarkan kesegaran air tawar di tengah kekeringan.
Anomali PD Qatar, barangkali, cerminan sepak bola sebagai kebutuhan fundamental dan risiko tak tertanggungkan yang dibawanya kepada manusia modern.
***
Konon, sepak bola memungkinkan mobilitas sosial, menjalin fair play, dan menjamin kesetaraan peluang. Namun, sepak bola juga tumbuh bersama dengan rasisme, ketidakadilan, ketimpangan, dan korupsi. Di banyak tempat, sepak bola bahkan tempat penjahat kelamin dan maling beraksi.
Sepak bola tidak memberi kita makan atau santunan sosial. Namun, sepak bola memberikan sesuatu kepada manusia yang sulit diberikan negara, bank, universitas, bursa saham, dan sederet institusi modern lainnya: tempat berbagi perasaan dan menjalin solidaritas sosial.
Dalam dunia kontemporer, sepak bola mengisi peran yang secara tradisional disediakan agama, mitos, masyarakat, atau kekerabatan. Ia memberi makan bagi naluri primitif kita yang selalu butuh orang lain. Sehari-hari, sepak bola memberi alasan untuk mengobrol dan bertemu sesama; lari dari kesuntukan di tempat kerja atau guru-guru yang membosankan.
***
Korupsi, salah kelola, politik, keculasan, yang selalu ada dalam kehidupan, adalah juga bagian sepak bola. Namun, seburuk-buruknya sepak bola dikelola –dari tarkam, liga kabupaten, sampai Piala Dunia– ia tetaplah permainan.
Sepak bola menawarkan persaingan sekaligus kebersamaan; permainan sekaligus keseriusan; tragedi dan kebahagiaan; kekecewaan dan harapan; tuntutan, dan pada akhirnya, penerimaan. Kehidupan jauh lebih penting dari sepak bola? Itu hanyalah separo kebenaran. Kehidupan modern tak akan pernah berjalan tanpa sepak bola. Sepak bola terlalu penting untuk diabaikan.
Jika PD kali ini penuh anomali, dihelat di tempat yang tidak biasa di waktu yang tidak terbiasa oleh pihak-pihak yang tidak biasa, begitu pulalah kehidupan kita sendiri.
Persetan dengan FIFA, PSSI, atau emir-emir kaya yang bosan, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan dunia ini. Selama sebulan ini, mari kita nikmati sepak bola sebagai permainan. Tidak, kita tidak melupakan wajah sepak bola sebagai komoditas, alat politik, atau alat kekerasan. Kita tidak menutup mata dari sisi gelap penyelenggaraan PD dan tata kelola sepak bola dunia.
Sebagai penikmat sepak bola, mari kita nikmati PD kali ini, pertama-tama sebagai sebuah perayaan atas permainan global. Permainan yang bisa menghilangkan dan mengalihkan, meskipun sejenak, kita dari dunia yang penuh gejolak dan anomali ini. Permainan yang memberi kita empat minggu perasaan kolektif sebagai manusia modern yang terus berusaha menghindar dari kegilaan hidup sehari-hari. (*)
—
*) DARMANTO SIMAEPA, Penulis buku Tamasya Bola dan Di Belakang Gawang