Menari di Hadapan Nasib

Oleh: Darmanto Simaepa
18 Desember 2022, 19:54:46 WIB

JawaPos.com-Final Piala Dunia selalu berisi kisah manusia di hadapan kepastian nasib dan ketidakmenentuan sejarah. Pemain sepak bola bisa dan akan selalu berusaha mengukir sejarah. Namun, mereka tak pernah bisa melawan nasib yang sudah digariskan.

Tegangan di antara nasib dan sejarah itu mengayunkan pendulum sepak bola di antara dua kutub kemungkinan: kemenangan atau kekalahan. Keduanya beriringan, namun dipisahkan selaput tipis keberuntungan.

Dalam sejarah, keberuntungan bisa jadi segalanya. Nasib buruk mengutuk Moacir Barbosa, kiper terbaik Brasil pada masanya. Kesalahan membaca arah bola Alcides Ghiggia membuat dia dikucilkan dari dunia yang begitu dicintainya.

Sebaliknya, sapaan dewi fortuna membuat kaki Iker Casillas terjulur 2 sentimeter lebih tinggi dari biasanya, menepis sodoran Arjen Robben ke gawang menganga. Menjadikan namanya abadi di buku sejarah olahraga.

Tegangan nasib dan sejarah di final juga memberi kisah para pahlawan yang berhasil menjangkau puncak tertinggi kejayaan atau pecundang yang tersungkur di sumur tanpa dasar.

Diego Maradona menjadi orang suci di altar sepak bola setelah menggabungkan tangan Tuhan dan kaki setan. Sementara itu, Johan Cruijff atau Ferenc Puskas melakukan semua hal yang benar. Namun, pada akhirnya nasib toh lebih memilih Jerman.

Bagi Robben dan Barbosa, keberuntungan berjarak jutaan cahaya. Bagi Maradona dan Cruijff, nasib menjadi penentu ke mana akhir perjalanan kegeniusan dan bakat alam.

Oleh karena itu, final bukan dan tidak akan pernah berisi kisah tentang berapa jarak lari yang ditempuh atau persentase penguasaan bola. Atau debat tentang bertahan atau menyerang. Di pertandingan akbar, satu ditambah satu tidak pernah menjadi dua.

Final adalah panggung sejarah bagi manusia berbakat yang menari-nari bersama bola di hadapan drama kehidupan. Kita menunggu, memaki, bersorak, atau menahan napas untuk umpan-umpan brilian, satu kesalahan fatal, peluang yang gagal dituntaskan, atau gol yang sangat buruk tapi menentukan.

Tentu saja Lionel Scaloni dan Didier Deschamps sampai ke final dengan bekal rencana berupa racikan taktik maupun strategi. Scaloni memahami kegeniusan dan bakat alam Messi dan sekaligus tanggung jawab sejarahnya.

Sementara itu, Deschamps menjadi jenderal kecil yang besar di mana pun dia berada dan selalu punya taktik jitu untuk memenangi perang puputan.

Namun, final tidak dimainkan oleh angka-angka atau papan diagram. Ia dimainkan, dimenangi, dan diratapi oleh pemain yang berdarah-daging. Manusia yang terus-menerus mendayagunakan pikiran dan tubuhnya secara kreatif untuk membaca hawa permainan. Hingga menerka arah bola dan mengambil keputusan kapan menyerang dan bertahan.

Di Lusail, Messi akan lebih banyak berjalan-jalan pelan dan bersijingkat untuk mencari celah bagaimana dia bisa menggapai impiannya, impian yang penggila bola seluruh dunia berbagi dengannya.

Dia akan sering menengok ke kiri dan ke kanan, menunggu celah terbuka. Jika momentum datang, dia akan dengan sigap menari-nari bersama bola untuk menunjukkan bahwa bakat alam adalah alat terbaik untuk mencari keadilan.

Antoine Griezmann tidak akan menari, namun berlari ke segala penjuru lapangan, mengubah diri setiap saat dari penyerang ke gelandang bertahan, bek kanan, dan sebaliknya. Kylian Mbappe akan mengintai di sisi kiri, menunggu Nahuel Molina atau Rodrigo De Paul lengah, lalu melesat ibarat macan tutul menyisir padang sabana.

Bisa juga final ini jadi panggung buat Emiliano Martinez untuk menggoyang-goyangkan pinggulnya untuk kali kesekian setelah adu penalti. Atau sebaliknya, ini menjadi tempat Hugo Lorris jadi kapten pertama yang mengangkat dua kali trofi Piala Dunia.

Atau Julian Alvarez yang salah tendang, bolanya meleset dan membentur siku Raphael Varane, lantas mengarah ke sudut kiri gawang.

Final tidak akan berhenti mengejutkan kita. Ia memberi harapan, membuat badan kita mendemam, atau mengirim embun tipis di kelopak mata. Ia menyeret kita untuk menghayati segala kemungkinan: harapan dan penyesalan, kegembiraan dan kegagalan, manis dan getir kehidupan.

VAR akan mengekang emosi dan sedikit menjengkelkan. Namun percayalah, esensi final akan tetap sama: panggung tempat pemain besar menari di hadapan nasib.

Apakah Messi dapat meninju keangkuhan nasib yang menampar jiwanya di final 2014? Apakah akhirnya dia bisa mengenyahkan bayang-bayang Maradona dan menciptakan bayang-bayangnya sendiri? Atau justru ini adalah panggung pengukuhan bagi Mbappe untuk melampaui apa yang dicapai Pele?

Mau tidak mau final kali ini panggung bagi Messi untuk mementaskan tarian terakhirnya di hadapan nasib. Pertaruhannya sangat besar. Jika menikmati, dan lebih penting lagi memenanginya, dia akan menjadi setengah dewa. Jika gagal, dia (dan kita) akan belajar tentang dan menerima betapa rapuhnya manusia di hadapan takdir semesta. (*)

Editor : Ainur Rohman

Saksikan video menarik berikut ini:

Alur Cerita Berita

Lihat Semua