Abraham Samad: Pemberantasan Korupsi Negara Kita Sedang Tertatih-tatih

10 Desember 2022, 19:48:04 WIB

SEJAK dinonaktifkan dari ketua KPK akibat konflik Cicak vs Buaya Jilid III pada 2015, Abraham Samad kembali menjadi warga sipil biasa. Dia kembali ke dunia advokasi yang merupakan basic-nya sejak awal.

BISA Anda ceritakan bagaimana kesibukan Anda saat ini?

Saya kembali ke dunia awal. Back to basic. Kembali ke advokat. Tapi, saya menghindari litigasi agar tidak terjadi konflik kepentingan di dalamnya. Jadi, kegiatan advokasi saya saat ini sebatas konsultan. Selain kembali dunia advokat, saya mengajar.

Di luar rutinitas itu, saya juga lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga. Waktu jadi ketua KPK (2011–2015, Red), saya jarang berkumpul dengan keluarga. Waktu itu anak saya yang pertama duduk di bangku SMP, kemudian yang kecil masih SD.

Mereka sering saya tinggal kerja. Apalagi, kalau ada operasi tangkap tangan (OTT), saya tidak pulang karena harus ikut turun membantu teman-teman di KPK.

Apa yang masih melekat dalam benak Anda tentang peristiwa Cicak vs Buaya Jilid III pada 2015?

Itu peristiwa yang luar biasa karena saya harus ditahan pada waktu itu. Saya ingat betul waktu itu jam setengah satu malam, saya dibuatkan surat penahanan. Saya menolak. Saya nggak mau.

Sebab, saya bukan pelaku kriminal yang harus dimasukkan ke penjara. Jadi, saya tetap berada di ruang pemeriksaan pada saat itu. Kemudian terjadi tarik-ulur selama kurang lebih dua jam, akhirnya surat penahanan dianulir. Saya menjadi tahanan kota. Akhirnya saya bisa pulang.

Apakah peristiwa itu membuat Anda trauma?

Sebelum menjadi ketua KPK, tentu saya sudah hitung semua risikonya. Bahkan sampai risiko yang terberat. Yaitu, dibunuh. Karena sudah menghitung risiko itu, secara pribadi, saya tidak shock (dengan peristiwa 2015).

Apalagi, risiko terberat yang kita hitung adalah dihabisi di tengah jalan. Saat pulang dari kantor ke rumah, orang bisa saja menembak kita waktu pulang dari kantor walaupun ada ajudan.

Apa yang masih mengganjal setelah Anda tidak lagi menjadi pimpinan KPK?

Saya akui, sampai sekarang saya belum tenang. Kenapa? Karena saya belum menyelesaikan tugas saya. Itu menjadi kegelisahan saya sampai sekarang. Masih banyak program dan amanah yang belum saya laksanakan. Misalnya, kasus-kasus yang belum terselesaikan. Juga, banyak program pencegahan yang telah disusun belum kita laksanakan.

Bagaimana Anda melihat kinerja para pimpinan KPK saat ini?

Sudah bergeser. Pimpinan KPK sekarang terlihat hanya datang kerja dan menunaikan tugas. Padahal, sebenarnya peran dan kewajiban pimpinan KPK itu datang, mendedikasikan seluruh jiwa dan raganya untuk pemberantasan korupsi. Artinya, tidak ada lagi yang tersisa. Itulah makna dari mewakafkan. Ibaratnya, jiwa raga diserahkan seluruhnya kepada pemberantasan korupsi, nggak ada lagi yang tertinggal. Itu yang seharusnya dimiliki pimpinan KPK.

Bagaimanapun, KPK itu wadah untuk berjuang, bukan tempat untuk bekerja. Kalau di instansi lain, memang tempat untuk bekerja menunaikan tugas. Tapi, kalau kita tidak. Kita datang untuk mendedikasikan. Amanah kita adalah amanah untuk berjuang, bukan untuk bekerja.

Bagaimana Anda melihat arah pemberantasan korupsi saat ini?

Agenda pemberantasan korupsi negara kita sedang tertatih-tatih. Mungkin kita harus merekonstruksi lagi strategi pemberantasan korupsi yang akan dilakukan pemerintah ke depan. Kalau pakai desain yang ada sekarang, undang-undangnya memang tidak bisa maksimal. Kalau pakai desain yang sekarang, pemberantasan korupsi tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah harus membuat desain baru.

Kalau pemberantasan korupsi hanya diberikan sepenuhnya kepada APH (aparat penegak hukum), itu sulit. Semua harus terlibat. Legislatif, eksekutif, dan masyarakat harus dilibatkan. Kalau nggak begitu, nggak bisa. Pemberantasan korupsi seperti sekarang tidak bisa mengejar kejahatan korupsi yang begitu cepat dan begitu canggih modusnya.

Bagaimana sebaiknya?

Kalau orang luar bilang, kejahatan korupsi itu white collar crime, kejahatan kerah putih. Kerah putih yang dimaksud adalah kejahatan orang-orang pintar, orang-orang berdasi. Kalau kejahatan dilakukan orang-orang pintar, modusnya pasti canggih. Jadi, kalau APH tidak canggih, UU-nya tidak canggih, maka dia susah. Yang terjadi sekarang adalah seperti itu.

Saya melihat pemerintah bingung menghadapi kejahatan kerah putih ini. Mereka sedang mencari desain mana yang tepat. Menurut saya, desain pemberantasan korupsi itu sederhana. Pertama, jangan samakan pemberantasan korupsi negara satu dengan yang lain sebelum melihat tingkat korupsi di negara itu. Membuat strategi korupsi harus melihat tingkat korupsi yang ada di negara itu, bukan mencontoh.

Yang tepat, kita harus melihat tingkat korupsi di negara itu. Indonesia, misalnya, bagaimana tingkat korupsinya? Apakah tinggi, rendah, atau menengah. Kalau tinggi, harus mengedepankan penindakan. Strategi itu tidak berarti meniadakan pencegahan, ya. Tapi, mengedepankan penindakan dan mengintegrasikan pencegahan.

Penindakan yang represif dan pencegahan harus berjalan bersama, tapi ada yang di depan. Itu namanya pengintegrasian. Kalau tidak ada yang depan, tidak ada guide-nya. Tidak berarti mengedepankan penindakan kita tidak mengutamakan pencegahan, itu salah.

Kalau kita memberikan penindakan melalui law enforcement yang keras dan tegas, memberi hukuman yang tinggi kepada pelaku korupsi itu akan menimbulkan deterrent effect. Orang akan takut. Itu berarti masuk pencegahan. Itulah yang saya maksud pengintegrasian.

KASUS KAKAP YANG DITANGANI ABRAHAM SAMAD

– Korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri (2012)

– Korupsi kuota impor daging sapi (2013)

– Korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Banten (2013)

– Kasus suap dan gratifikasi kepala SKK Migas (2013)

– Korupsi proyek Hambalang (2014)

– Kasus dugaan rekening gendut calon Kapolri Jenderal Budi Gunawan (2014–2015)

Editor : Dhimas Ginanjar

Reporter : tyo/c7/jun

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads