PANDEMI Covid-19 memberikan dampak yang signifikan bagi kemerosotan ekonomi di Indonesia. Banyak perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar sehingga tidak dapat bertahan. Perusahaan banyak melakukan pemutusan hubungan kerja karena permintaan dan daya beli masyarakat terhadap produk atau jasa juga mengalami kemerosotan.
Setelah lebih dari dua tahun mengalami krisis akibat pandemi, keadaan Indonesia mulai stabil dan dampak Covid-19 mulai dapat dikendalikan. Berbagai strategi pemulihan ekonomi mulai dijalankan oleh pemerintah dan perusahaan. Pastinya, strategi-strategi tersebut hanya akan mencapai hasil seperti yang diharapkan jika strategi-strategi tersebut dieksekusi oleh sumber daya manusia yang kompeten.
Pada 2030, berdasarkan karakteristik jumlah penduduk dan usia penduduk, Indonesia akan menikmati bonus demografi. Tersedianya jumlah tenaga kerja yang cukup akan dapat membantu pemerintah dan perusahaan dalam pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, bonus demografi ini akan dapat dinikmati jika tenaga kerja Indonesia memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Berdasarkan data dari website Badan Pusat Statistik tentang tingkat pengangguran di Indonesia, terdapat kenaikan persentase tingkat pengangguran pada jenjang pendidikan sarjana (universitas) dari tahun 2019 ke tahun 2020, yaitu 5,67 persen tahun 2019 menjadi 5,73 persen di tahun 2020. Peningkatan persentase ini juga terjadi pada jenjang pendidikan Diploma, yaitu 5,99 persen pada tahun 2019 menjadi 6,76 persen tahun 2020.
Sementara tingkat pengangguran pada jenjang pendidikan SMA dan SMK mengalami penurunan. Persentase pengangguran pada tahun 2019 untuk jenjang pendidikan SMA adalah 7,92 persen dan mengalami penurunan pada tahun 2020 menjadi 6,77 persen. Penurunan yang signifikan terjadi pada jenjang pendidikan SMK, yaitu dari 10,42 persen (tahun 2019) menjadi 8,49 persen (tahun 2020).
Realita ini dapat menimbulkan terbentuknya persepsi masyarakan bahwa mencari kerja dengan jenjang pendidikan perguruan tinggi lebih sulit daripada mencari kerja pada lulusan SMA/SMK. Hal ini menjadi tantangan bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan daya saing lulusannya agar dapat bersaing mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang ilmunya dan jenjang pendidikannya.
Selain dari faktor jumlah pencari kerja lulusan perguruan tinggi yang banyak, faktor lain yang menyebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi pencari kerja yang baru lulus kuliah (fresh graduate) adalah terdapat persepsi dari perusahaan bahwa fresh graduate adalah pelamar kerja yang “SIAP untuk LANJUT KULIAH” bukan pelamar kerja yang “SIAP untuk BEKERJA”.
Khususnya pada kondisi saat ini yang mana perusahaan memasuki masa pemulihan ekonomi setelah krisis akibat pandemi covid-19, perusahaan membutuhkan karyawan yang siap untuk lari kencang agar progam-program pemulihan ekonomi dapat tercapai. Permasalahan utama pencari kerja fresh graduate adalah perusahaan tidak memiliki jaminan atas kesiapan pencari kerja untuk dapat mengamplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah di tempat kerja.
Berbeda dengan pencari kerja yang sudah memiliki pengalaman kerja, perusahaan dapat mencari informasi latar belakang pelamar dari perusahaan sebelumnya sehingga dalam proses perekrutan karyawan, perusahaan mencapat informasi yang lebih banyak untuk memprediksi perilaku kerja (kinerja) dari pencari kerja.
Universitas juga melihat kondisi ini serta berusaha untuk melengkapi lulusannya dengan berbagai program agar dapat memberikan jaminan kompetensi siap kerja bagi lulusannya. Salah satu cara yang dilakukan oleh universitas adalah dengan mendirikan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) melalui perolehan lisensi LSP dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melalui LSP yang dimiliki oleh universitas, setiap mahasiswa dapat mengikuti ujian “sertifikasi kompetensi teknis” sesuai dengan skema yang dimiliki oleh LSP dari Universitas tersebut yang sudah mendapat lisensi/validasi skema dari BNSP.
Rujukan skema sertifikasi yang disetujui oleh BNSP dapat bersumber dari standar kerja kompetensi nasional (SKKNI), standar kerja kompetensi khusus (SKKK), dan standar kerja kompetensi internasional (SKKI). Ujian sertifikasi kompetensi teknis atas sebuah skema yang dimiliki oleh LSP mencakup seperangkat unit kompetensi, elemen kompetensi dan kriteria unjuk kerja atas sebuah pekerjaan yang tersedia di industri yang mencakup uji pengetahuan, ketrampilan kerja dan sikap.
Setiap mahasiswa yang sudah mengikuti ujian sertifikasi kompetensi teknis dari LSP yang dimiliki oleh universitas tersebut dan hasil ujian dinyakatan “KOMPETEN” akan mendapat sertifikat kompetensi yang dikelurkan oleh BNSP. Sertifikat kompetensi ini adalah produk hukum sehingga setiap sertifikat yang dikeluarkan oleh LSP di bawah pengawasan negara (BNSP).
Hal ini akan menambah daya saing pencari kerja fresh graduate karena mereka memiliki dokumen yang dapat memberikan jaminan atas kompetensi teknis mereka kepada perusahaan bahwa mereka siap bekerja untuk jenis pekerjaan yang sesuai dengan skema sertifikasi kompetensi yang dimilikinya. Melalui sertifikasi kompetensi ini, perusahaan juga dapat melakukan validasi informasi dari pencari kerja fresh graduate dengan melakukan pengecekan pada website BNSP atas LSP yang mengeluarkan sertifikasi kompetensi tersebut serta pengecekan pada website LSP terkait detail informasi kompetensi teknis yang diujikan atas sebuah skema. Kemitraan antara BNSP dan Universitas melalui Lembaga Sertifikasi Profesi yang dimiliki universitas akan memberikan kebermanfaatan yang signifikan sebagai penghubung antara industri dan universitas.
*) Dr. Hastuti Naibaho, M.Si., PMA, Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi P1 Universitas Pembangunan Jaya