Catatan Pasien Covid-19: Perlunya Penyembuhan Terpadu Medis-Spiritual

Oleh MUHAMMAD QODERI *)
24 September 2020, 19:48:16 WIB

APAKAH masih ada orang yang tidak percaya dengan Covid-19? Apakah masih ada di antara kita yang tidak yakin Covid-19 sangat dekat dengan kehidupan kita semua? Dan masihkah ada di antara kita yang sembrono terhadap ancaman virus korona?

Saya ingin menuliskan pengalaman saya sebagai pasien Covid-19 untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin masih banyak dimiliki warga masyarakat. Saya ingin berbagi pengalaman sebagai orang yang terpapar virus korona yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya tersebut.

Itu semua ingin saya bagikan dalam tulisan opini ini agar pengalaman saya bisa menjadi pelajaran bagi semuanya. Tidak ada maksud lain, kecuali agar kita semua tidak ceroboh dalam menjalani hidup sehari-hari di tengah pandemi Covid-19 yang masih sangat tinggi tingkat penularannya.

Saat membuat tulisan ini, saya sedang menjalani hari ke-22 dari proses perawatan dan penyembuhan sebagai pasien Covid-19 di sebuah rumah sakit (RS) di Surabaya. Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT yang masih memberikan kesempatan untuk bisa menuliskan cerita yang saya alami dalam 22 hari menjalani rawat isolasi di RS karena terpapar Covid-19.

Sebelum terpapar, saya berpikir bahwa Covid-19 itu dibuat-buat oleh manusia untuk kepentingan penguasaan atas manusia lainnya. Setelah mengalami sakit karena tertular virus itu, khususnya saat kritis pada hari ke-7 hingga ke-9, saya baru sadar bahwa virus tersebut betul-betul mengancam jiwa. Untuk kali pertama saya tidak berpikir lagi siapa yang membuat saya tertular. Saya tersadar bahwa semua itu pada akhirnya tidaklah penting. Ibaratnya, kita tak perlu bertanya siapa yang membuang puntung rokok karena nyatanya api telah melalap hutan dan permukiman.

Awalnya saya merasa sehat, kuat, dan sibuk dengan berbagai aktivitas. Dengan kondisi tubuh saya yang sehat dan kuat, saya yakin tidak akan tertular virus korona. Tapi, semua akhirnya terjadi. Saya tidak pernah tahu persis kapan virus Covid-19 itu hinggap kali pertama di tubuh saya. Saya tidak pernah tahu lewat siapa penularan virus itu terjadi ke dalam diri saya.

Saat melihat hasil swab test pertama positif, saya masih belum sepenuhnya yakin tubuh saya sudah tertular. Saya juga menolak untuk menjalani perawatan di RS. Namun, semua itu berubah total saat saya mengikuti swab test kedua sebagai second opinion. Karena hasilnya sama-sama positif, saya akhirnya menyerah dan bersedia untuk mengikuti anjuran rawat isolasi di RS.

Seminggu pertama menjalani rawat isolasi, saya merasakan kesendirian karena tidak dapat berinteraksi langsung dengan keluarga dan kerabat. Kondisi yang benar-benar membuat saya stres karena sebelumnya saya bisa menuangkan pikiran saya dan meluangkan waktu saya sepenuhnya untuk organisasi dan masyarakat. Kondisi tersebut sangat terbalik dan sulit untuk saya.

Pada hari ke-7 hingga ke-9, saya merasakan sakit di seluruh tubuh, lemas, dan sulit bernapas. Kesakitan yang luar biasa. Saya merasa napas terhenti saat ingin buang air besar (BAB). Bahkan, untuk menelepon keluarga saja, saya tidak bisa karena badan saya lemas dan kesulitan bernapas.

Saya pun lalu merasa berada dalam alam setengah sadar. Saya teringat kembali semua masa lalu dengan orang tua dan guru-guru. Dalam setengah sadar itu, seakan mereka tersenyum melambai dan mendekat kepada saya. Pengalaman berada di alam setengah sadar itu memberi saya semangat kembali untuk bangkit.

Keesokan harinya saya mulai bisa bernapas dengan enak. Metabolisme tubuh saya lancar, termasuk dalam hal BAB. Tapi, saat malam hari tiba, mata saya sulit terpejam. Padahal, semua lagu kenangan melalui handphone sudah saya pasang dekat telinga. Tapi, itu membuat saya makin sulit terlelap.

Lalu, terdengar sayup suara doa yang dipanjatkan lewat speaker kamar. Sayup-sayup sekali. Akhirnya saya merasa harus mencari HP untuk memutar suara religius yang lebih jelas. Saya lalu memutar bacaan surah Al Baqarah yang dibacakan seorang gus favorit saya. Dengan suara bacaan atas surah Al Baqarah tersebut, mulai terbayang suasana masa lalu yang tenang. Akhirnya saya pun bisa tidur lelap.

Dengan pengalaman spiritual yang menenangkan itu, saya terus ingin mengulangnya dan mendengarkan suara bacaan Alquran selama tiga hari berturut-turut. Alhamdulillah, masuk hari ke-13, saya sudah merasa sehat dan bisa menelepon keluarga dan sahabat. Bisa berkirim pesan lewat WA dan lain-lain.

Saya berpikir saya bisa pulang setelah menjalani perawatan selama 14 hari. Namun, ternyata hasil swab test kedua saya yang dilakukan di RS masih positif dan saya juga masih harus mengenakan infus. Awalnya saya protes ke dokter dan memaksa agar bisa pulang segera.

Dokter lalu menjelaskan kondisi terbaru tubuh saya bahwa gula darah saya naik. Saturasi oksigen turun. Logika saya lalu mulai memberontak: kok bisa terjadi seperti itu? Dokter lalu menjelaskan perubahan klinis pada tubuh saya secara medis. Akhirnya saya harus menyadari bagaimana nasib hidup saya jika saya sebelumnya tetap tidak mau opname di RS saat puncak inkubasi korona terjadi. Pasti, bayangan kematian jelas di benak saya saat ini.

Akhirnya saya bersyukur telah dirawat di RS. Tapi, yang jauh lebih penting, saya merasa lebih bersyukur lagi karena perawatan medis yang disempurnakan dengan layanan penguatan spiritual telah membuat saya merasa menemukan kesempatan untuk bisa sembuh lebih cepat.

Karena itu, saya merasa penyembuhan secara medis yang dipadukan dengan spiritual yang diyakini pasien sangat membantu mempercepat penyembuhan. Di sini saya meyakini perlunya pendekatan kemanusiaan dalam penanganan pasien Covid-19 dengan menggabungkan antara medis dan spiritual secara memadai. (*)


*) Muhammad Qoderi, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi PW NU Jawa Timur, menjalani perawatan di RS di Surabaya

Editor : Dhimas Ginanjar

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads