Kishore Mahbubani dan Peran Intelektual

Oleh ASRUDIN AZWAR *)
14 Oktober 2021, 19:48:21 WIB

BELUM lama ini, intelektual kenamaan asal Singapura Kishore Mahbubani membuat sensasi melalui tulisannya yang dimuat Project Syndicate pada 6 Oktober 2021. Dengan mengambil judul ”The Genius of Jokowi”, Mahbubani membeberkan banyak prestasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama memimpin Indonesia. Jokowi dinilai Mahbubani telah melakukan lebih dari sekadar memerintah secara kompeten. Dia telah menetapkan standar pemerintahan baru yang seharusnya membuat iri negara-negara demokrasi besar lainnya.

Sontak saja tulisan Mahbubani itu memicu kontroversi. Tidak sedikit intelektual dalam negeri yang mengkritiknya. Rocky Gerung, misalnya, menyebut Mahbubani sebagai dosen yang bertindak laiknya buzzer. Ada juga yang menyinggung Mahbubani yang memuji Jokowi itu karena dia merupakan Dewan Penasihat Golkar Institute. Kita tahu Golkar merupakan partai pendukung pemerintahan Jokowi.

Namun, mereka yang berada dalam barisan pendukung Jokowi tetap menilai positif isi tulisan Mahbubani. Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Golkar Institute Ace Hasan Syadzily, sebagai misal, menyebut pandangan Mahbubani sebagai pandangan yang objektif dan bukan karena dipengaruhi Golkar Institute. Kapasitasnya sebagai akademisi dan mantan diplomat terkemuka dunia tentu tak diragukan lagi. Menurut dia, Mahbubani tidak akan mempertaruhkan reputasi akademisnya sebagai intelektual kelas dunia untuk menilai kepemimpinan Jokowi tanpa parameter yang terukur.

Mereka yang mengkritik Mahbubani menghendaki intelektual memosisikan diri sebagai oposisi, berada di luar lingkaran kekuasaan. Sementara mereka yang mendukung Mahbubani menginginkan intelektual menyokong status quo. Tulisan ini hendak menelisik posisi Mahbubani dalam dua jenis peran intelektual tersebut dan dari situ akan diketahui apa yang menjadi masalah dari isi tulisannya.

Intelektual Oposisi

Mahbubani dikritik karena tulisannya tidak mencerminkan semangat intelektual oposisi. Lalu apa intelektual oposisi itu? Ada dua literatur penting yang bisa dikutip untuk menjawabnya. Pertama karya besar dari Julien Benda, La Trahison des Clercs (1927). Kemudian catatan penting Edward W. Said sebagaimana yang terangkum dalam seri kuliah Reith, Representations of the Intellectual (1993).

Benda dalam karyanya itu pernah membuat definisi konkret intelektual yang kemudian banyak dikutip, yakni segelintir manusia yang sangat berbakat dan yang diberkahi moral-filsuf-raja. Mereka ini yang membangun kesadaran umat manusia. Karena itu, Benda mengecam intelektual yang tak mengabaikan panggilan serta mengompromikan prinsip-prinsip mereka. Mereka inilah yang disebut Benda sebagai intelektual berkhianat.

Said yang mengamini perkataan Benda melengkapi makna intelektual itu. Bagi Said (1993) intelektual tidaklah berada di menara gading. Mereka mesti terlibat langsung dalam persoalan masyarakat dan berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Said mengecam intelektual yang suka bersolek dan memilih diam atas persoalan-persoalan di sekitarnya.

Sebagai oposan, kata Said, intelektual tidaklah sekadar menjadikan argumen sebagai senjata. Intelektual juga harus bergerak dan berperan sebagai ayah dan ibu dari sebuah gerakan. Apalagi, fakta menunjukkan, tidak ada revolusi penting dalam sejarah modern yang tanpa intelektual.

Dalam kaitan itu, tulisan Mahbubani jelas tidak mencerminkan sama sekali semangat oposan. Saya sebutkan satu contoh saja dari isi tulisannya. Pujiannya terhadap Jokowi dan koalisinya yang berhasil mengesahkan omnibus law tahun lalu, yang bertujuan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja baru, bukan merupakan pandangan objektif. Sebab, isi UU Cipta Kerja masih mengandung celah kritik dan bisa diperdebatkan secara akademis. Itulah mengapa, aksi turun ke jalan menolak UU Cipta Kerja saat itu marak dilakukan mahasiswa dan buruh.

Editor : Dhimas Ginanjar

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads