Menekan Kemiskinan Ekstrem

Oleh ACHMAD ALI *)
14 September 2021, 19:48:33 WIB

PERHATIAN dan komitmen pemerintah dalam menangani kemiskinan ekstrem di masa pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya. Betapa tidak, mereka memasang target penurunan angka kemiskinan ekstrem secara nasional menjadi 0 persen pada akhir 2024. Anggaran besar pun digelontorkan. Untuk penyelesaian kemiskinan ekstrem sepanjang 2021 mencapai Rp 440,69 triliun.

Seperti dikatakan Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memimpin rapat pleno Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) secara virtual 26 Agustus 2021, anggaran itu digunakan untuk beberapa hal. Di antaranya bantuan sosial (bansos), subsidi, serta program kegiatan pemberdayaan di tujuh provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua.

Mewujudkan target penurunan penduduk miskin ekstrem tentu bukan perkara mudah. Dibutuhkan validasi dan pemutakhiran data keluarga miskin ekstrem agar intervensi program tidak salah sasaran. Pemerintah juga dituntut mampu memilih program penanggulangan kemiskinan yang tepat dan efektif.

Kondisi kemiskinan ekstrem, sebagaimana didefinisikan Bank Dunia, adalah masyarakat yang hidup dengan pendapatan kurang dari 1,90 dolar AS per orang per hari atau sekitar Rp 27 ribu per orang per hari dengan asumsi kurs 1 dolar AS senilai Rp 14.300. Penduduk miskin ekstrem biasanya juga tak memiliki aset produksi sendiri, bekerja dengan upah rendah, dan tidak punya tabungan sebagai penyangga ekonomi keluarga.

Chambers (1987) dalam Suyanto (2020) menyebutkan, ciri utama penduduk miskin ekstrem adalah rentan atau rapuh. Mereka tidak memiliki tabungan yang cukup dan tanggungan utangnya relatif besar. Sebuah kombinasi yang menyebabkan penduduk miskin masuk dalam perangkap yang makin lama makin tidak memungkinkan mereka untuk keluar secara mandiri.

Berdasar rilis Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia dalam lima tahun terakhir jumlah penduduk miskin terus menurun. Pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin tercatat 10,64 persen atau 27,77 juta jiwa. Sementara per Maret 2021 angka kemiskinan turun menjadi 10,14 persen atau 27,54 juta jiwa. Dari jumlah absolut sebanyak 27,54 juta jiwa penduduk miskin itu, menurut catatan TNP2K, sebanyak 10,86 juta jiwa atau 4 persen di antaranya masuk dalam kategori penduduk sangat miskin atau miskin ekstrem. Kemiskinan ekstrem itu berada di 212 kabupaten/kota dari 25 provinsi, yang merupakan kantong kemiskinan dengan cakupan 75 persen dari jumlah penduduk miskin.

Data penurunan jumlah penduduk dalam lima tahun terakhir itu memang tak terbantahkan. Namun, di sisi lain, disparitas kemiskinan antarwilayah perkotaan dan perdesaan di Indonesia terlihat masih tinggi. Hal itu tecermin dari data BPS di mana jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 di perkotaan mencapai 12,18 juta jiwa atau 7,89 persen. Sebaliknya, di perdesaan sudah mencapai double digit, yakni 13,10 persen atau 15,37 juta jiwa.

Fakta tersebut juga seiring dengan memburuknya tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah perdesaan. Tercatat, indeks kedalaman kemiskinan pada Maret 2021 di perdesaan sebesar 2,27, lebih tinggi dari perkotaan 1,29. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan di perdesaan sebesar 0,57, lebih tinggi dari perkotaan 0,31. Untuk itu, ada beberapa catatan yang pantas kita beri perhatian dalam upaya menekan kemiskinan ekstrem.

Pertama, pemberdayaan penduduk miskin di perdesaan harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Apalagi dalam menghadapi pandemi Covid-19, peran desa dalam menahan laju peningkatan kemiskinan juga demikian besar. Menjaga daya beli masyarakat desa dan meningkatkan kinerja serta potensi desa perlu terus didorong. Dari sini dana desa kembali berperan sebagai alat survival kit di desa melalui refocusing penggunaannya dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) dana desa. Sayangnya, hingga saat ini BLT dana desa baru terealisasi sebesar Rp 5,6 triliun atau 19,4 persen dari pagu anggaran Rp 28,8 triliun.

Kedua, keberadaan penduduk miskin di perdesaan tentu berkorelasi dengan sektor pertanian. Berdasar data BPS, sebagian besar rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian dengan persentase 46,30 persen. Di tengah pandemi Covid-19, sektor pertanian memang mengalami pertumbuhan, tetapi bebannya menjadi makin berat. Hal itu disebabkan pengangguran di kota yang akibat pandemi kembali ke desa dan menjadi petani. Alhasil, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian meningkat dari 27,53 persen menjadi 29,76 persen pada tahun lalu.

Editor : Dhimas Ginanjar

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads