TERPILIHNYA KH Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum PBNU periode 2022–2027 membawa kabar gembira. Khususnya bagi nahdliyin. Kabar gembira itu ada yang berdimensi politik, ada juga yang berdimensi kemanusiaan. Kemanusiaan inilah yang sedari awal memang menjadi basis gerakan Nahdlatul Ulama (NU). Tulisan ini hanya akan fokus pada kabar gembira yang berdimensi kemanusiaan.
Sebagai seorang ”negosiator kemanusiaan” berskala internasional, isu hak asasi manusia (HAM) dan kemanusiaan melekat dalam diri Gus Yahya. Sebagaimana bapak ideologisnya, Gus Dur, Gus Yahya mempunyai modal besar untuk memainkan peran itu selama menakhodai PBNU lima tahun ke depan.
Jamak dipahami, persoalan kekerasan seksual merupakan ”subsistem” dari masalah HAM. Juga keagamaan. Menyadari hal itu, NU tidak tinggal diam. Melalui rekomendasi muktamar ke-34 di Lampung, NU mendesak DPR bersama pemerintah segera mengesahkan RUU TPKS dan RUU PPRT (NU Online) sebagai satu-satunya payung hukum bagi para korban kekerasan.
Kebangkitan Srikandi NU
PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya hendak ”memainkan” peran serius dalam mengentaskan kekerasan seksual. Asumsi itu diperkuat dengan masuknya sebelas tokoh perempuan NU dalam struktur PBNU periode 2022–2027 yang baru diumumkan pada 12 Januari 2022. Fakta tersebut kian memperjelas komitmen NU untuk memerangi kasus-kasus kekerasan seksual yang belakangan marak terjadi di Indonesia. NU, dengan demikian, makin strategis posisinya untuk membawa perubahan signifikan terhadap penurunan angka kekerasan seksual.
Menariknya, sebelas tokoh perempuan yang masuk dalam struktur PBNU memiliki beragam kemampuan dan latar belakang sosial. Perhatikan Nyai Hj Khofifah Indar Parawansa dan Nyai Hj Alissa Qotrunnada Wahid misalnya. Para nyai sekaligus aktivis yang malang melintang dalam dunia pergerakan sosial politik.
Khofifah adalah seorang santri NU yang dikenal sebagai aktivis pada masanya. Pengalaman berorganisasinya di PMII, Muslimat NU, dan partai politik sudah matang. Bekal itu pula yang mengantarkannya menjadi anggota DPR, menteri sosial, hingga saat ini gubernur Jawa Timur.
Hal serupa terlihat dari seorang Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, mantan presiden yang juga ulama besar, cendekiawan, dan pejuang kemanusiaan. Berbeda dengan Khofifah atau Gus Dur, Alissa memilih jalur kultural (bukan politik praktis) sebagai medan geraknya. Di wilayah kultural dia menjadi lebih dekat dengan rakyat kecil di akar rumput.
Bersama Gusdurian, komunitas (kultural) yang dipimpinnya, Alissa concern pada isu-isu sosiokultural. Selain pada kasus-kasus intoleransi yang menggunakan postulat agama, menyuplai kebutuhan pokok korban bencana, Alissa bersama-sama para Gusdurian juga terus ”memerangi” kejahatan yang berbasis seksual secara konsisten.
Langkah Konkret
Secara prinsip, sesungguhnya tidak ada masalah antara NU dan isu perempuan. Sejak berdirinya hingga menjelang satu abad ini, tidak ada fatwa-fatwa atau keputusan keagamaan NU yang bias gender. Para pendiri NU menerima dengan baik kenyataan sejarah peradaban Islam yang tidak pernah ”sepi” dari keterlibatan perempuan.
Perempuan di mata NU harus dijunjung tinggi, bukan justru dinodai hak dan martabatnya. Bukti riil perhatian NU terhadap ”kemerdekaan” perempuan adalah keberadaan Muslimat dan Fatayat sebagai organisasi khusus perempuan NU. Spirit itu harus dilestarikan secara terus-menerus. Masuknya tokoh-tokoh perempuan dalam struktur PBNU menjadi angin segar bagi tersemainya nilai-nilai yang bermuara pada kesejahteraan kaum perempuan.
Dari aspek yuridis-normatif, pengurus perempuan PBNU perlu terus mengawal agar RUU TPKS dan RUU PPRT sebagai rekomendasi muktamar segera disahkan. Mengonsolidasikan barisan perempuan NU yang jumlahnya jutaan bisa memperkuat legitimasi suara NU di hadapan pemangku kebijakan.
Di luar itu, untuk kepentingan jangka panjang (pemberdayaan perempuan), penting juga kiranya memperhatikan tawaran Pieternella van Doorn-Harder dalam Women Shaping Islam, Reading the Qur’an in Indonesia (2006). Terkait aktivisme organisasi perempuan Islam Indonesia, dia menawarkan tiga langkah konkret untuk memberdayakan perempuan.
Pertama, menyelesaikan persoalan-persoalan akar rumput, yang meliputi pengentasan kemiskinan, buta huruf, dan kerja-kerja filantropi lainnya. Kedua, melakukan program-program yang mengarah pada pemenuhan hak-hak perempuan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Ketiga, mengembangkan diskursus akademik yang menyangkut hak-hak perempuan, tak terkecuali dalam wacana teologi dan fikih.
Tawaran Pieternella di atas sangat relevan untuk kita renungkan ulang. Dia tidak hanya menekankan pentingnya pengentasan kekerasan seksual. Dia juga menawarkan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan kesejahteraan dan pemberdayaan kaum perempuan. Dan bila diringkas, tawaran Pieternella mengerucut pada langkah kultural dan struktural. Bermodal kemampuan keagamaan serta latar belakang sosial yang beragam, para tokoh perempuan di tubuh PBNU saat ini sangat memungkinkan untuk melakukan dua langkah tersebut.
Persoalan kemiskinan, buta huruf, dan program-program yang mengarah pada pemenuhan hak-hak perempuan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan yang notabene memerlukan kebijakan struktural yang memihak bisa diambil alih oleh pengurus perempuan PBNU yang kebetulan sedang menjadi pejabat publik (politisi). Di wilayah kultural, hal seperti pengembangan diskursus akademik yang juga meliputi teologi dan fikih adalah domain pengurus perempuan yang sedari awal fokus mengurusi santriwati dan muslimat secara keseluruhan.
Keterpaduan langkah kultural dan struktural pada akhirnya membentuk semacam ”peta jalan” yang disediakan NU untuk memerangi kekerasan seksual di satu sisi dan mewujudkan pemberdayaan perempuan di sisi yang lain. Peta jalan itu sebagai panduan berpikir dan bertindak, yang menutup ruang bagi terciptanya sistem kehidupan yang timpang, memarginalkan manusia, apa pun kelas dan jenis kelaminnya. (*)
*) MOH. RASYID, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta