SEJAK entakan Covid-19 melanda dunia, hampir semua sektor kehidupan manusia terdampak, sektor ekonomi, sosial-budaya, kesehatan, pendidikan, kegiatan keagamaan, dan lainnya. Pendidikan merupakan sektor esensial yang sangat terasa dampaknya hingga saat ini. Meski berbagai upaya dan intervensi telah dilakukan, mulai bantuan fasilitas, bantuan kuota untuk belajar, penyesuaian kurikulum darurat, bahkan terbaru telah terbit kebijakan kurikulum merdeka, tampaknya sisa-sisa dampak Covid-19 memerlukan langkah besar agar kualitas pendidikan di Indonesia tidak tertinggal dari negara lain.
Dampak Covid-19 juga rentan mendisrupsi profesi guru. Guru tak lagi dilihat seberapa lama ia mengabdi, namun seberapa mampu ia beradaptasi dengan tuntutan teknologi dan informasi. Sejak Covid-19 melanda, kultur pembagian jam mengajar bergeser, dari pola lama ke pola baru. Dulu kepala sekolah dalam membagi jam mengajar mempertimbangkan jumlah guru, kelas, dan pengalaman. Kini juga mempertimbangkan kompetensi teknis dalam mengoperasikan perangkat teknologi dan informasi. Tak sedikit guru yang terpaksa didampingi guru yang melek digital karena pertimbangan non-skill terkait teknologi. Semata untuk keperluan membantu teknis mengoperasikan media pembelajaran berbasis digital agar ia tetap mendapatkan jam mengajar.
Kondisi tersebut menjadi pertanda bahwa guru saat ini menghadapi tuntutan kompetensi teknologi dan informasi untuk mendukung kualitas layanan pendidikan yang lebih adaptif. Namun, guru yang literate dengan teknologi dan informasi bukan berarti segalanya. Karena ragam tantangan lain memerlukan bukan sekadar kompetensi teknologi. Namun, ketajaman jiwa seorang guru dalam mengabdikan diri di dunia pendidikan menjadi tagihan yang sangat fundamental.
Apalagi, akibat Covid-19, ragam kerentanan baru pada anak usia pelajar terus bermunculan. Kerentanan anak putus sekolah, kerentanan menikahkan anak daripada melanjutkan pendidikan, kerentanan anak terpapar media digital, kerentanan anak mengalami masalah psikologis, kerentanan anak menjadi pelaku bullying sebagai akibat lekatnya dengan akses kekerasan di media digital, dan kerentanan lainnya. Kondisi tersebut memerlukan guru yang memiliki ketajaman jiwa sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai mentor, bahkan sebagai sahabat. Dan bukan sekadar sebagai pengajar yang andal teknologi. Namun tak peka terhadap masalah yang dihadapi peserta didik.
Spirit Bung Karno
Untuk mengatasi ragam tantangan di atas, diperlukan guru yang responsif sekaligus sebagai pelindung bagi anak. Pribadi yang demikian memerlukan spirit Bung Karno agar guru memiliki ketajaman jiwa sebagai pendidik sejati.
Menurut Bung Karno, tiap-tiap guru tidak saja memenuhi syarat-syarat ”technisch” yang orang biasanya tuntutkan dari seorang guru, tapi benar-benar Rasul kebangunan yang sejati, — Rasul kebangunan bukan saja secara ”formeel”, tetapi Rasul kebangunan di dalam tiap-tiap sepak terjangnya, di dalam segenap levenshounding-nya, di dalam sekujur badan dan tulang sungsumnya, — satu Rasul kebangunan sampai ke ujung tiap-tiap getaran rohnya dan jiwanya (Sukarno, 1964:613). Hanya guru yang benar-benar Rasul kebangunan dapat membawa anak ke dalam alam kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ”menurunkan” kebangunan ke dalam jiwa anak… (Sukarno, 1964:614-615).
Dari pandangan Bung Karno tersebut, setidaknya terdapat dua kata kunci; pertama, untuk menjadi guru sejati, tak sekadar mengandalkan syarat formil; kedua, guru yang memiliki idealisme dalam jiwanya sebagai pendidik merupakan guru terbaik. Dengan kata lain, untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (termaktub di Undang-Undang 20/2003 tentang Pendidikan Nasional), diperlukan guru yang dalam pribadinya dilandasi dengan panggilan jiwa.
Sejatinya pandangan dimaksud sejalan dengan Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 7 ayat 1 bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasar prinsip; memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Karena panggilan jiwa, guru perlu memiliki antara lain: (1) kasih sayang kepada peserta didik, (2) kesadaran akan profesinya sebagai tugas mulia, (3) sebagai pelindung anak tanpa diskriminasi, (4) melakukan tugas dilandasi dengan rasa tanggung jawab, (5) sarat dengan inovasi yang membahagiakan anak untuk belajar.
Jiwa Ramah Anak