PEDULI krisis, dua kata yang makin ditinggal jauh DPR RI akhir-akhir ini. DPR disorot publik terkait anggaran pengadaan gorden yang nilainya mencapai Rp 48,7 miliar. Pemerhati parlemen, masyarakat luas, dan beberapa anggota DPR pada waktu tender dibuka Maret lalu terang-terangan menolak anggaran tersebut. Karena dianggap mengabaikan perasaan publik yang tengah berjumpalitan dengan krisis ekonomi, persis di tengah persiapan menghadapi Lebaran.
Namun, bak ”anjing menggonggong kafilah berlalu”, suara protes itu tak digubris. Proses lelang tender penggantian gorden di rumah dinas jabatan anggota DPR tersebut tetap tancap gas dengan menabrak tanda larangan alias verboden berupa nilai etika dan prinsip kepantasan publik. Padahal, menurut Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, pengajuan anggaran gorden sudah tidak disetujui sejak tahun 2009.
Dan baru tahun ini anggaran gorden tersebut disetujui hanya karena alasan gorden di rumah dinas anggota DPR sudah tak layak. Karena sudah digunakan sejak 2009 atau 13 tahun lalu (Jawa Pos.com 9/5/2022). Aneh bin ajaib, jika memang sejak awal fulus gorden itu sudah ditolak ramai-ramai, kenapa masih ngotot dipaksakan di tengah ketir-ketirnya kondisi keuangan negara?
Ironisnya lagi, anggaran gorden rumah dinas anggota DPR itu ternyata dimenangkan PT Bertiga Mitra Solusi (BMS), penawar harga tertinggi seharga Rp 43,5 miliar, dibandingkan PT Panderman Jaya yang mengajukan Rp 42,1 miliar dan PT Sultan Sukses Mandiri yang menawar Rp 37,7 miliar. Bahkan, berdasar penelusuran Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), PT BMS adalah perusahaan kontraktor dan IT (Jawa Pos.com 9/5/2022). Tidak heran jika banyak pihak mencium ada ”permainan” atau patgulipat di balik menangnya PT BMS.
Mestinya Sudah Cukup
Mestinya tak ada apologi bagi DPR memaksakan menggelontorkan anggaran sebesar itu hanya untuk membuat rumah dinas mereka terlihat keren dan mewah. Toh, menurut pengakuan beberapa anggota DPR, kain gorden di rumah mereka masih layak dipajang, hanya memang perlu dicuci. Ada juga sumber yang mengatakan, tidak semua anggota dewan menempati rumah dinas berlantai dua itu. Sebagian hanya ditempati tenaga ahli atau asisten pribadi masing-masing anggota dewan. Artinya, anggaran pembangunan rumah dinas DPR dan berbagai fasilitasnya perlu dikritisi secara konstruktif.
Dulu, tahun 2017, juga pernah ada usul agar anggota DPR dibangunkan fasilitas apartemen dengan memindahkan tempat tinggal dinas mereka ke Senayan. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapatnya. Untunglah, rencana bombastis tersebut kandas. Yang jelas, selama ini DPR sudah banyak menikmati guyuran fasilitas negara. Privilese tersebut mestinya sudah cukup untuk menjamin DPR yang sejatinya pelayan rakyat jauh dari ”mentalitas berkekurangan”.
Kita tentu masih ingat pengakuan penyanyi ternama Krisdayanti mengenai besaran gaji dan tunjangan yang diterimanya mencapai Rp 59 juta per bulan. Belum lagi jika menjabat wakil ketua atau ketua DPR yang besaran gaji pokok dan tunjangannya tentu jauh lebih besar.
Bandingkan misalnya dengan penghasilan rakyat kecil seperti guru honorer Fina Gustina, 34, yang mengajar di SMP 1 Sungai Rumbai dengan gaji Rp 700 ribu sebulan. Bahkan, untuk menambah penghasilan, alumnus STKIP Padang jebolan tahun 2013 tersebut harus nyambi jualan kue di sekolah. Ia ikhlas hidup sesederhana itu demi bisa mencerdaskan anak bangsa (Padek.Jawa Pos.com 10/2/2022).
Mungkin tak adil membandingkan gaji seorang guru dengan anggota DPR yang memiliki skala tugas dan tanggung jawab berbeda. Namun, sejujurnya isu utamanya bukan itu, melainkan sejauh mana empati, belarasa, dan keikhlasan mengemban tanggung jawab benar-benar dipegang teguh dan terinternalisasi oleh seorang pejabat atau pelayan publik seperti anggota DPR. Terlebih di tengah situasi krisis yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia pascapandemi.
Menggedor Empati
Kepedihan rakyat tersebut mestinya sudah cukup untuk menggedor pintu empati wakil rakyat di Senayan. Tentu agar sikap dan perilakunya mencerminkan keadaan dan harapan rakyat yang telah memilihnya di pemilu kemarin. Bukan malah mengkhianati rakyat dengan menganggarkan pengadaan gorden baru.
Menurut Aristoteles dalam bukunya, Politics, empati adalah nilai keutamaan berpikir seorang politisi di dalam bersikap dan mengambil sebuah keputusan yang terkait dengan urusan publik. Tanpa nilai itu seorang politisi kehilangan esensinya sebagai makhluk politik berakal yang memperjuangkan kepentingan orang banyak. Seorang politisi atau wakil rakyat disebut ”terhormat” karena status etis dan moralnya sebagai pejabat publik yang berkedudukan lebih tinggi dari ”yang lain”.
Karena itu, seorang representator memiliki tanggung jawab yang besar dan sakral untuk memelihara kepercayaan publik. Salah satunya dengan selalu menjamin koneksitas atau keselarasan antara yang diucapkan dan dirasakan rakyat dengan apa yang dibuat oleh wakilnya di Senayan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehari-hari. Inilah yang disebut Aristoteles sebagai magnanimity: sikap adiluhung dalam berempati dengan kehidupan masyarakat luas (dalam Annabel Lyon, The Golden Mean, 2009).
Sudah sering DPR memperlihatkan sikap dan kebijakannya yang kontroversial di mata rakyat, di tengah kinerja mereka yang tidak baik-baik amat. Kita tidak menutup mata terhadap sebagian wakil rakyat yang sampai detik ini mati-matian bekerja. Khususnya untuk membahagiakan konstituennya. Namun, semua perbuatan baik itu menjadi mudah terhapus oleh sikap dan keputusan lembaga DPR yang ceroboh.
Kita berharap dengan sinisme dan protes rakyat yang masif terhadap anggaran pengadaan gorden DPR tersebut, DPR satu suara untuk membatalkan pengadaan gorden itu. Anggaran tersebut bisa direlokasi untuk pemberian bantuan kebutuhan pokok bagi masyarakat kecil atau untuk pemulihan ekonomi rumah tangga masyarakat miskin.
Janganlah mengerdilkan institusi sekaliber DPR hanya karena urusan receh gorden. Yang lebih dibutuhkan DPR saat ini adalah bagaimana mempercantik wajah institusi DPR dengan pesona laku integritas dan kerja-kerja positif anggotanya di tengah-tengah konstituen dan masyarakat pada umumnya. Semoga masih ada seberkas empati di Senayan. (*)
*) UMBU TW PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang