NGOMONGIN cerita-cerita Lupus sebetulnya seperti menghadapi potongan-potongan hidup. Slice of life (kata bookish zaman sekarang) versi remaja yang hidupnya tidak berat-berat amat, juga tidak cemerlang-cemerlang amat.
Coba baca Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!, cerita pertama yang mengawali segala demam Lupus sejak 1986.
Memberi kegilaan remaja-remaja dengan permen karet dan rambut jambul, meski yang ini barangkali hanya terjadi untuk mereka yang tumbuh pada akhir 80-an hingga 90-an.
”Cerita” ternyata bisa cuma urusan naik bus kota ke sekolah. Ribet bawa bermacam contoh tanaman untuk praktikum biologi. Bertemu cewek dari sekolah lain, titip barang bawaan, terus turun dan lupa dengan barang titipannya. Cerita ditutup dengan panggilan si cewek, yang rela turun, tapi minta dikejar-kejar.
Ia diceritakan narator yang sering mengejek, membantah, juga meragukan diri atau tokoh yang diceritakannya (”dia lumayan top, lho… di antara orang seisi rumahnya”). Itu memberi efek akrab, riang, dan jenaka.
Tapi, bagi saya yang pertama membacanya sebagai bocah 12 tahun di sebuah kota kecil, cerita itu menghancurkan imaji saya tentang kehidupan remaja Jakarta yang gemerlap. Yang berkasih-kasihan di mobil. Yang cantik dan ganteng, sebagaimana sekilas-sekejap terlihat di film-film remaja maupun profil di majalah masa itu.