Mencegah Perundungan sejak Dini

Oleh ABDUL MAJID HARIADI *)
8 September 2021, 19:48:58 WIB

TERKUAKNYA perundungan yang dialami MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, menyadarkan bahwa peristiwa perundungan bisa terjadi di mana saja. Termasuk di lembaga negara. Kejadian tersebut juga mematahkan mitos bahwa korban perundungan hanya perempuan dan anak-anak. MS adalah lelaki dewasa yang sudah bekerja, berkeluarga, dan memiliki anak. Perundungan bisa terjadi pada siapa saja. Tidak memandang usia dan jenis kelamin.

Perundungan merupakan tindakan intimidasi dan agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korban secara fisik maupun emosional (Coloroso, 2017).

Ada beragam bentuk perundungan yang dilakukan pelaku. Yaitu, secara fisik, verbal, relasional, seksual, dan perundungan siber (cyberbullying). Tidak jarang pelaku melakukan berbagai perundungan sekaligus kepada korban.

Perundungan yang dilakukan pelaku cenderung berulang dan berlangsung lama. MS dalam pengakuannya mengalami perundungan sejak masuk kerja di KPI pada 2011. Puncaknya pada 2015, saat berada di ruang kerjanya, dia mengalami perundungan dan pelecehan seksual. Secara beramai-ramai dia disiksa, dihina, dilecehkan, dan ditelanjangi. Parahnya, pelaku juga mencoret-coret alat kelamin korban dengan spidol (Jawa Pos, 5/9/2021). Tak cukup sampai di situ, peristiwa tersebut juga didokumentasikan para pelaku.

Dampak perundungan begitu luar biasa bagi korban. Bukan hanya fisik, melainkan juga emosional, perubahan perilaku, penurunan motivasi, dan keengganan berinteraksi secara sosial. Dapat dibayangkan betapa berat beban yang dipikul korban.

Apa yang dialami MS membuktikan hal tersebut. Peristiwa yang terjadi secara berkepanjangan mengakibatkan dampak serius secara fisik dan psikis. Pada 2017, ketika MS melakukan endoskopi, hasil diagnosis dokter menunjukkan bahwa MS mengalami hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stres.

Dengan dampak yang ditimbulkan, korban perundungan berhak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Aparat harus menindak tegas para pelaku. Yang tidak kalah penting, korban juga membutuhkan pemulihan trauma psikis.

Dalam lingkaran perundungan, pelaku utama biasanya disokong pengikut (ikut-ikutan, bukan yang memulai), perundung pasif (ikut menertawakan, tetapi tidak ikut mengejek), perundung potensial (menyukai perundungan, tetapi tidak menunjukkan dukungan apa pun), dan bystander atau penonton (orang yang melihat perundungan, tetapi tidak mau terlibat).

Banyaknya pihak yang terlibat di belakang pelaku utama perundungan membuat korban merasa sendirian. Berbagai ancaman dan intimidasi terus-menerus yang dilakukan pelaku semakin menekan kondisi korban. Termasuk takut menyuarakan kondisi yang dialaminya kepada orang lain.

Apalagi jika kemudian orang-orang terdekat yang sebenarnya mengetahui peristiwa tersebut cenderung diam dan menganggap perundungan sebagai hal biasa. Sikap menoleransi perilaku perundungan dengan mengelu-elukan pelaku semakin menguatkan kesan bahwa korban mengalami pembiaran dari lingkungan sekitar.

Editor : Dhimas Ginanjar

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads