CINTA Laura mewakili kaum milenial menyampaikan perspektif tentang moderasi beragama beberapa waktu lalu. Pidatonya humble dan sangat memukau. Tidak heran, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memujinya. Pasalnya, otoritarianisme agama yang memuncak dalam beberapa tahun terakhir menjadi keprihatinan utama generasi milenial saat ini. Kita heran mengapa orang menuntut, melanggar hukum, bahkan berkonflik atas nama Tuhan. Itulah ironi yang disebut Cinta Laura sebagai ”terjebak dalam cara berpikir yang memanusiakan Tuhan”.
Sebagai kekuatan yang menentukan masa depan Indonesia, generasi milenial menghadapi tantangan yang amat serius dalam isu radikalisme. Tahun ini kita dikejutkan dengan dua aksi terorisme yang pelakunya merupakan bagian dari kaum milenial.
Tidak dimungkiri, kaum milenial adalah generasi yang lahir bersamaan dengan pecahnya pan-Islamisme menjadi gerakan radikal global. Anak milenial juga tumbuh bersama berkembangnya kelompok agama garis keras, yang menanamkan intoleransi, pemberon—takan, hingga ide-ide yang membahayakan persatuan warga-bangsa di negeri ini.
Kerentanan kaum milenial terhadap politik identitas yang begitu menjebak dalam beberapa tahun belakangan juga meresahkan. Untuk semua itulah kita perlu memperkuat kembali kepemilikan atas identitas kita yang sebenarnya, yaitu muslim Indonesia yang moderat, yang beragama secara ramah, toleran, dan menerima keanekaragaman.
Sebagaimana semangat jiwa yang muda, kita harus bisa belajar dari orang lain, membiarkan orang lain belajar dari kita, dan mempertahankan keaslian identitas kita sendiri. Itu juga merupakan penangkal terbaik bagi berbagai ideologi radikal.
Ada gema yang mencolok dari pergeseran populasi muslim dunia. Meskipun jantung tradisional dan sejarah Islam berada di Timur Tengah, khususnya kawasan Arab, proporsi muslim terbesar berkembang di Asia. Jadi, semestinya tidak ada ilusi bahwa muslim harus sama dengan Arab.
Islam tumbuh di daerah-daerah di mana populasinya juga tumbuh, termasuk juga di Indonesia. Kita berhak memegang dan mengembangkan identitas keislaman kita yang khas, berbudaya, dan melihat kembali warisan peradaban dengan bangga.
Kaum milenial pada dasarnya memiliki citra lebih terdidik, terbuka, dan paham teknologi. Kita sedang menyongsong era beragama yang lebih humanistis dan universal. Dari sini hubungan interreligius tampaknya lebih positif di masa depan kita. Kemandirian generasi ini dalam memanfaatkan teknologi akan mendorong mereka menuju peremajaan keyakinan dan moderatisme beragama, terutama dengan mengajukan pertanyaan dan berpikir kritis.
Karena itu, penting sekali menghidupkan kembali pluralisme historis Islam klasik sebagaimana yang terus dilakukan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saat anak muda didorong untuk berpikir kritis terhadap informasi agama, berbagai sumber kekayaan intelektual agama juga harus terbuka. Kita membutuhkan pemahaman yang telah menciptakan ruang bagi setidaknya empat mazhab hukum utama Sunni dan beberapa mazhab fikih Syiah untuk hidup berdampingan. Saling mengakui bahwa mereka sama-sama valid di mata Tuhan.
Bahkan mungkin tidak cukup lintas mazhab saja, tetapi lintas agama juga. Dalam hal ini, tokoh-tokoh bangsa seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Kang Jalal telah membuktikannya. Mereka telah memberikan kontribusi yang sangat besar pada titik-titik perhubungan penting antara Islam dan peradaban Indonesia.