Politik Hukum Pemberantasan Pinjol Predator

Oleh FERDIAN ANDI *)
6 Oktober 2021, 19:48:32 WIB

KABAR kematian dengan cara bunuh diri yang dipicu frustrasi atas tagihan pinjaman online (pinjol) bermunculan di tengah masyarakat. Beberapa peristiwa muncul dari pelosok daerah seperti Jember (20/8), Bojonegoro (23/8), dan Wonogiri (2/10). Peristiwa memilukan ini menambah panjang daftar persoalan yang muncul akibat praktik industri financial technology atau teknologi finansial (tekfin) di Indonesia.

Sengkarut praktik pinjol di Indonesia ini ditandai mulai soal aksi penagih utang (debt collector) yang kerap menebar ancaman yang tak beradab, bunga yang melangit, hingga persoalan penyalahgunaan data pribadi. Di titik ini, pinjol bermetamorfosis menjadi lintah daring yang mengerikan bagi para peminjam (borrower).

Meski demikian, bila membuka data dari OJK, performa pinjol cukup baik. Seperti data hingga akhir Juni lalu, penyaluran kredit ke masyarakat telah menembus angka Rp 221,56 triliun yang disalurkan kepada 64,81 juta peminjam. Akses publik terhadap pembiayaan melalui tekfin kini jauh semakin mudah. Transaksi semakin sederhana antara peminjam dan pemberi pinjaman (lender).

Sayangnya, pelbagai persoalan pinjol yang mengemuka di publik menjadikan platform keuangan yang berbasis digital ini disorot. Apalagi, sejumlah kasus yang mencuat menjadikan platform tekfin dinilai justru meresahkan publik. Di titik ekstrem, di sejumlah kasus, menjadikan peminjam frustrasi dan memilih mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.

Perbaikan Sistem

Keberadaan tekfin atau pinjol sejatinya dapat mempercepat inklusi keuangan di tengah-tengah masyarakat. Pinjol dalam praktiknya juga melakukan debirokratisasi dalam pembiayaan bagi masyarakat. Digitalisasi sektor keuangan dimaksudkan untuk memberi kemanfaatan bagi publik.

Namun, praktik yang menyimpang mudah dijumpai di pinjol. Bila diidentifikasi, persoalan dapat ditemukan dari hulu hingga hilir. Karena itu, dibutuhkan upaya kuat untuk membersihkan pinjol agar kembali kepada spirit awalnya, yakni memudahkan inklusi keuangan bagi masyarakat.

Pertama, perbaikan dan penegakan regulasi (legal substance). Identifikasi sejumlah persoalan dalam praktik pinjol, antara lain, mengenai besaran bunga dan denda dalam transaksi pinjol yang dinilai memberatkan konsumen.

Besaran bunga ini diatur dalam kode etik Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam kode etik asosiasi disebutkan jumlah total bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya, selain biaya keterlambatan, tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 persen setiap hari. Termasuk biaya keterlambatan (dalam bentuk denda atau lainnya) tidak boleh melebihi 0,8 persen.

Penentuan besaran bunga tersebut menjadi otoritas industri dan masuk ruang hukum perdata antara peminjam dan pemberi pinjaman. Namun, melihat situasi dan kondisi ekonomi saat ini, besaran bunga dan biaya keterlambatan semestinya dapat ditinjau kembali.

Editor : Dhimas Ginanjar

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads