Adagium “hukum sebagai panglima” yang kerap kali diucapkan oleh presiden Jokowi masih jauh panggang dari api. Justru hukum dijadikan jurus ampuh bagi rezim untuk mempolitisasi dan mengkooptasi demi mewujudkan banyak janji yang belum juga terpenuhi sampai saat ini.
Hal ini diperkuat berdasarkan data World Justice Project bahwa indeks pembangunan hukum selama 7 tahun pemerintahan presiden Jokowi (2015 – 2022) cenderung stagnan, hanya naik 0,01 dari skor 0,52 : 2015 ke 0,53 : 2022), peringkat ke-64 dari 140 negara di tingkat global dan peringkat ke-9 dari 15 negara di tingkat regional.
Sedangkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tercatat turun 4 poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada tahun 2022. Ranking juga turun 14 tingkat, dari 96 menjadi 110. Penurunan IPK ini merupakan angka terburuk sepanjang reformasi.
Menurut Ran Hirsch dalam bukunya Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of New Constitutionalism, 2004, pengertian sederhana dari Juristocracy adalah mentransformasikan tanggung jawab penyelesaian masalah yang kontroversial dari lembaga politik ke lembaga peradilan. Istilah ini sebangun dengan gagasan C Neil Tate (1995) yang mengenalkan kajian tentang judicialization of politics, yakni ekspansi lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis. Ekspansi ini sebuah konsekuensi logis akibat dianutnya paham supremasi konstitusi dan diinkorporasikannya HAM dalam konstitusi. (Rewanto, 2020).
Maka, lahirnya MK sebagai cabang kekuasaan peradilan baru yang dipisahkan dari Mahkamah Agung di banyak negara demokrasi baru, termasuk Indonesia sesuai dengan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, berkaitan dengan kepentingan juristocracy ini. (Rewanto, 2020).
Manuver presiden untuk menganjurkan peninjauan kembali (judicial review) ke MK terhadap setiap kontroversi UU yang terjadi, daripada menarik kembali UU tersebut dari DPR adalah bentuk Juristocracy. “Apabila ada yang kurang puas, monggo uji materi ke MK” kalimat yang selalu di ucapkan presiden ketika menerima penolakan terhadap setiap pengajuan atau revisi UU yang diinisiasinya.
Dalil utama yang digunakan Presiden dalam memilih Juristocracy adalah, bahwa MK itu lembaga peradilan independen amanat reformasi yang dibentuk untuk menjaga marwah konstitusi, sehingga keputusan peradilannya diharapkan akan mudah diterima oleh publik. Kalaupun ada publik yang ngotot mengajukan peninjauan kembali (judicial review) ke MK, mereka harus mengeluarkan effort yang besar dengan kemungkinan besar hasilnya akan dimentahkan.
Cukup dengan 3 langkah saja, Presiden Jokowi dengan sukses memainkan keampuhan jurus juristocracy-nya. Langkah pertama, menjaga stabilitas politik dengan cara mengkooptasi parlemen dengan membentuk koalisi besar dan melemahkan oposisi.
Langkah kedua, menaklukkan MK dengan cara merevisi UU MK yang notabene menguntungkan MK, sebagai barter politik agar MK dapat menjadi tameng rezim dalam memainkan jurus Juristocracy-nya, dan sebuah kebetulan yang patut diwaspadai, Pimpinan MK sendiri adalah Adik Ipar Jokowi. Setelah MK dikuasai, barulah masuk ke langkah ketiga, yaitu merevisi UU KPK sekaligus untuk melemahkannya.
Setelah ketiga langkah itu selesai, barulah melakukan pengesahan setiap UU yang diinisiasinya, termasuk UU Omnibuslaw cipta kerja dan Perpu-nya yang kontroversial itu, dan undang-undang kontroversial lainnya.
Ketika parlemen, lembaga peradilan dan lembaga anti korupsi sudah dikuasai, maka hegemoni kekuasaan atas nama percepatan ekonomi tak ada kendala berarti. Publik pun dibuat membisu, karena setiap usaha mengkritik pemerintah, takut akan persekusi oleh para buzzer penguasa atau takut akan jeratan UU ITE yang diterapkan secara multi tafsir oleh rezim penguasa. Curhatan intlektual dan politikus senior Kwik Kian Gie ini adalah salah satu contohnya “Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda karena maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil.”
Ketiga langkah Jurus Juristocracy yang diperagakan rezim itu ternyata cukup ampuh mereduksi demokrasi, dan cenderung menciptakan Otoriterianesme gaya baru, karena ciri-ciri Otoriterianisme itu sangat kentara sekali. Juan Linz (1964) menyebutkan, setidaknya ada empat hal yang menandakan ciri-ciri otorianisme : Pertama, pluarisme politik yang dibatasi, dengan membatasi gerak-gerik legislatif, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan; kedua, legitimasi politik penguasa yang didapat dari dampak emosional belaka dengan memosisikan penguasa sebagai pemberi jalan keluar bagi masalah sosial yang kasatmata: ketiga, mobilisasi politik yang minimal dan tekanan terhadap aktivitas anti penguasa dan keempat, penguatan kekuatan eksekutif (Susanti, 2023)
Hanya saja, Otoritarianisme gaya baru ini tidak dilakukan dengan tangan besi seperti halnya orde baru, melainkan melalui cara-cara halus menggunakan instrumen demokrasi itu sendiri yaitu hukum. Hukum yang seharusnya digunakan untuk penyeimbang situasi antara penguasa dan rakyat, yang terjadi malah sebaliknya, hukum digunakan oleh penguasa untuk memperkuat kekuasaannya, meminjam istilahnya Bivitri Susanti, “otorietianisme berbungkus hukum”. Dampaknya, lebih berbahaya dari peluru dan tank, karena dengan dibungkus produk hukum, kita bisa terlena karena tidak dapat merasakan langsung ketidakadilan itu. (Susanti, 2023).
Menjelang tahun politik ini, tentunya kita harus tetap waspada dan peka terhadap setiap bentuk ketidakadilan yang dibungkus atas nama hukum. Dengan semangat “perubahan dan perbaikan” mari kita rapatkan barisan untuk menangkis jurus-jurus Juristocracy yang mungkin akan mendistorsi pelaksanaan pemilu yang akan datang.
Seambil berharap semoga pemilu yang akan datang menghasilkan seorang pemimpin masa depan yang membawa “perubahan dan perbaikan” untuk Indonesia.
*Penulis adalah Kabiro Ekonomi Kreatif departemen X, DPP Partai Demokrat