RENTETAN operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap sejumlah kepala daerah sungguh membuat miris. Pada Selasa (18/1) KPK meng-OTT Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Ia tersandung kasus suap pengadaan barang dan jasa tahun 2020–2022 di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Jawa Pos, 20/1).
Sebelumnya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi terkena operasi tangkap tangan oleh KPK di Bekasi, Jawa Barat (5/1), terkait kasus pembebasan lahan dan lelang jabatan di lingkungan Kota Bekasi, Jawa Barat. Hanya berselang seminggu (Rabu, 12/1) giliran Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Dia ditangkap KPK terkait suap pengadaan barang dan jasa senilai Rp 112 miliar dan pembangunan gedung perpustakaan Rp 9,9 miliar.
Memang sungguh miris. OTT kepala daerah itu terjadi di saat rakyat sedang berjuang keluar dari ”sakratulmaut” ekonomi akibat pandemi. Mereka seolah sudah gelap moral dan hilang empati. Jadi, jangan tanya soal tanggung jawab moral mereka dalam mengurus dan melayani rakyatnya. Kalau Tuhan saja mereka berani khianati lewat pengkhianatan sumpah jabatannya, bagaimana dengan rakyat yang kedaulatannya bisa dengan mudah ”dibeli” di pasar-pasar gelap demokrasi melalui transaksi elektoral?
Melemah
Tak heran, profil antikorupsi negara ini seakan melemah dari waktu ke waktu di tengah pekik ”perang badar” Presiden Jokowi terhadap praktik ganas korupsi. Berdasar data indeks persepsi korupsi (IPK) negara-negara G20, Indonesia masuk negara terkorup dengan skor 37 pada skala 0–100, turun tiga poin dari skor sebelumnya. Rusia menjadi negara G20 dengan indeks terendah (30) alias sangat korup. Sedangkan Jerman menjadi negara dengan IPK tertinggi (80) atau nyaris bersih dari korupsi. Di level nasional, indeks perilaku antikorupsi (IPAK) Indonesia pada 2021 sebesar 3,88 pada skala 0–5. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan capaian pada 2020, yakni 3,84 (BPS, 2021). Sekalipun demikian, capaian ini belum memenuhi target RPJMN, yakni 4,00.
Itu berarti persepsi masyarakat terhadap antikorupsi masih mudah diguncangkan oleh pragmatisme yang kian akut. Contoh sederhana, asumsi bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin sedikit peluang untuk korupsi ternyata tak akurat. Lihat saja, perguruan tinggi yang diharapkan sebagai lahan sakral menyemai pemimpin berkarakter unggul pun justru ikut terjebak dalam lumpur korupsi. Sebanyak 86 persen koruptor justru berasal dari perguruan tinggi yang tersebar di berbagai jabatan penting dengan gelar mentereng didominasi master. Lalu disusul sarjana dan doktor.
Harus diakui, fenomena tersebut tak bisa lepas dari bangunan pendidikan nasional yang selama ini terkungkung oleh kontrol subjektif-administratif. Kondisi itu memberikan keleluasaan intensi bagi seseorang untuk mulai merasionalisasi cara-cara manipulatif sejak dini di lingkungan pendidikan. Sehingga aspek-aspek moral substantif dengan mudah dikangkangi oleh pragmatisme memperoleh gelar akademik, kekayaan, popularitas, dan kehormatan sosial.
Nalar pragmatisme dan syahwat kuasa yang menyuburkan perilaku korup para elite dan penyelenggara negara selalu berkelindan dengan orientasi kasar memonopoli dan mengendalikan hak-hak dan barang publik. Dalam politik kapitalis, uang adalah sentra kuasa dan kebijakan. Karena itulah, menurut Jefrey Winters, uang tidak bisa didemokratiskan. Uang sebagai basis perilaku politik hanya akan eksis di ruang-ruang konspirasi elitis yang menjegal nilai-nilai demokrasi.
Adalah C.B. Macpherson (1962) pencetus teori individualisme posesif. Itu adalah salah satu teori populer –meminjam diskusi John Locke tentang kepemilikan pribadi dalam Second Treatise of Government– yang disebut-sebut memfasilitasi suburnya kapitalisme, membenarkan yang dikatakan kitab suci bahwa Tuhan telah memberikan bumi kepada seluruh umat manusia. Setiap orang bisa memisahkan bagiannya dari milik bersama lewat usaha atau kerja pada bagian tersebut.
Masalahnya, bagaimana cara membatasi kepemilikan tersebut supaya tidak terjadi penguasaan tanpa batas? Jawabannya adalah pengenalan akan uang sebagai alat tukar. Tapi, justru di titik itulah para pengkritik Macpherson membangun resistansi atas dalilnya. Menurut mereka, kata ”posesif” pada akhirnya dimaknai sebagai hak ”milik” (tanpa imperatif moral dan etis) ketimbang ”kepemilikan” (memiliki sesuatu secara sepatutnya, dengan cara yang benar).
Kritik yang dimaksud menjadi lebih kontekstual-konstruktif jika disandingkan dengan konsekuensi etis-kemanusiaan. Yakni, melebarnya distansi (jarak) dan penguasaan ekonomi antara yang kaya dan miskin, rusaknya ekologi karena eksploitasi predatoris oleh para borju atau pemodal, hingga konflik sosial akibat ketidakadilan yang masif.
Rakyat Bersatu
Para elite penyelenggara negara di jantung kekuasaan yang dihadirkan untuk memproduksi kebijakan dan keadilan bagi kesejahteraan rakyat justru berlomba-lomba menafsirkan sekaligus memperlakukan jabatan dengan semua privilese dan regulasinya secara ”posesif”. Semua itu dilakukan sebagai sarana untuk mengakumulasi kekayaan haram.
Lord Acton yakin, kekuasaan cenderung korup (power tends to corrupt). Namun, menurut Hannah Arendt, selama yang lemah tidak bersatu melawan kekuatan korup, mustahil ada kekuatan yang korup. Singkatnya, kekuasaan tak perlu korup jika tak ada persatuan kaum lemah untuk menantangnya (Arendt, 1989: 200).
Poinnya adalah eksistensi dan internalisasi korupsi terkait kesadaran kolektif untuk mengeliminasi secara radikal. Kita harus senantiasa mencurigai atau tidak boleh terus mengobral kekaguman destruktif terhadap para elite/pejabat hanya karena terlihat lebih kaya atau santun dalam berbahasa. Karena di dalam privilese tersebut, kerap tersimpan potensi korupsi seperti banyak testimoni miris pasca-operasi tangkap tangan KPK terhadap para kepala daerah selama ini.
Spirit tahun baru harus bertransformasi menjadi spirit aktual para penyelenggara negara menegasi korupsi demi keselamatan kohesi bangsa. Liabilitas elite ditentukan pada seberapa jauh keadilan dapat terdistribusi secara luas bagi masyarakat. Bahkan dalam Discorsi, Niccolo Machiavelli mengatakan tujuan dari negara: perdamaian dan keadilan. Karena itu, gagalnya negara mewujudkan keadilan adalah sia-sia sehingga keadilan menjadi tolok ukur kekuasaan. Dan kekuasaan akan kehilangan legitimasinya jika ia tidak menghasilkan keadilan. (*)
*) UMBU T.W. PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang