PRESIDENTIAL threshold (selanjutnya disingkat PT) 20 persen tengah digugat banyak pihak. Kembali permohonan judicial review diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya sudah sering diajukan judicial review hingga kurang lebih 13 kali. Namun selalu ditolak MK dengan berbagai argumen. Judicial review terbaru diajukan sekelompok anggota Dewan Perwakilan Daerah, beberapa tokoh nasional, dan partai politik (parpol) nonparlemen.
Sementara itu, hingga hari ini berbagai kelompok civil society terus menuntut penghapusan PT 20 persen. Pada waktu yang sama mereka pun mengangkat isu 0 (nol) persen. Muncul kemudian tagline ”Salam Nol Persen”. Gerakan mereka semakin hari semakin masif dan terus berupaya memopulerkan ”Salam Nol Persen”. Kalangan diaspora Indonesia di berbagai negara juga turut bersuara soal PT 20 persen yang dinilai tidak rasional. Kalangan yang mengajukan judicial review maupun kelompok-kelompok civil society memandang bahwa PT 20 persen lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya dalam kehidupan politik dan demokrasi.
Menutup Akses
Berbeda dengan parliamentary threshold yang dapat dijumpai praktiknya di berbagai negara karena memiliki dasar logika yang jelas, presidential threshold (PT) justru sangat sulit dijumpai di negara demokrasi mana pun di dunia. Indonesia mungkin satu-satunya negara yang mempraktikkan PT itu. Bisa jadi, karena ada parliamentary threshold kemudian parpol –melalui wakil-wakilnya di DPR– berpikir perlunya PT.
Di dalam konstitusi kita tidak terdapat isyarat sedikit pun soal perlunya PT. Yang ada hanyalah tingkat minimal perolehan dukungan (50 persen plus 1) dan sebaran wilayah (provinsi) dukungan (pemilih). Dua hal itu berkaitan dengan hasil pemilihan. Tidak ada hubungan sama sekali dengan persyaratan bagi parpol mengajukan kandidat presiden.
Menelusuri kepustakaan ilmu politik, sungguh teramat sulit menemukan penjelasan soal praktik PT dalam sejarah demokrasi dan riwayat pemilihan di dunia. Negara-negara demokrasi modern, termasuk yang sebelumnya menerapkan sistem politik otoritarian, tidak memberlakukan PT. Mereka membebaskan dan membuka peluang bagi semua parpol untuk mengajukan kandidat. Bahkan juga peluang bagi kandidat perseorangan.
Jika demikian, lalu apa sesungguhnya yang menjadi acuan dan dasar logika parpol (dan parlemen) menentukan PT 20 persen? Menarik kesaksian dan penjelasan mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie di sebuah kanal YouTube. Menurut mantan Sekjen Partai Demokrat itu, PT 20 persen lebih dimaksudkan untuk menjegal munculnya banyak calon, terutama dari partai-partai kecil. Tetapi waktu itu terutama untuk menjegal pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono maju lagi pada periode kedua. Mereka (partai-partai besar, khususnya Partai Golkar) sangat ngotot untuk perlunya PT 20 persen.
Kenyataan tersebut menunjukkan betapa dominannya irasionalitas dalam pengambilan keputusan politik untuk pada gilirannya hendak mendikte dan mengendalikan sepenuhnya proses sirkulasi elite. Ada upaya sistematis untuk menutup akses partai-partai politik di luar mereka mengajukan kandidat sekaligus menutup peluang bagi kehadiran banyak kandidat dalam pemilihan.
Fobia Demokrasi
Tentu saja hal tersebut menjadi pertanda buruk dalam politik dan demokrasi. Secara prinsip, demokrasi justru memberikan peluang dan akses yang sama bagi semua parpol untuk mengajukan kandidat dalam pemilihan. Apakah parpol memanfaatkan atau tidak akses yang tersedia, itu soal lain. Yang mutlak, negara harus membuka dulu akses bagi semua. Dengan akses yang sama, demokrasi pun menyediakan arena bagi kompetisi yang sehat antarkandidat dalam pemilihan.
Hingga saat ini sebagian besar parpol, terutama yang tergabung dalam koalisi rezim penguasa, masih tetap bersikukuh mempertahankan PT 20 persen. Angka 20 persen itu pun berdasar hasil pemilu sebelumnya. Sungguh, tidak ditemukan acuan teoretisnya dalam kepustakaan politik. Tidak pula dijumpai basis empirisnya dalam praktik demokrasi di dunia. Mereka ingin Pemilu 2024 tetap berada dalam kendali dan genggaman mereka.
Kenyataan tersebut dapat dibaca sebagai pertanda di mana partai-partai politik itu sejatinya menyimpan ketakutan mendalam terhadap demokrasi. Mereka mengidap fobia demokrasi. Di satu sisi, mereka memang berbicara demokrasi dan menegaskan ketundukannya pada sistem demokrasi. Di sisi lain, mereka justru merasa ketakutan ketika kesejatian prinsip-prinsip demokrasi diterapkan. Takut dengan kompetisi terbuka dan fair. Takut pula dengan kritik dan perbedaan pandangan ketika berhasil meraih kekuasaan. Karena itu pula oposisi diberangus.
Jadi, ”ketundukan” mereka pada demokrasi sebatas prosedural-administratif dalam proses pemilihan. Demokrasi lip service (dalam istilah BEM UI). Tidak berani masuk dan menyentuh ke core value demokrasi. Dengan kata lain, mereka hanya memperalat atau sekadar mengatasnamakan demokrasi untuk menyandera demokrasi itu sendiri. Sebuah wujud fobia demokrasi yang nyata.
Bisa dimengerti jika kemudian praktik demokrasi di negeri ini juga mengandung banyak keanehan. Studi Nils Bubandt (2014), misalnya, menunjukkan bagaimana upaya para aktor politik menghadirkan roh atau makhluk halus (spirits), seperti jin dan ilmu hitam, dalam praktik demokrasi. Dalam konteks ini, terjadi homolog antara politik dan makhluk halus. Menurut Bubandt, demokrasi di Indonesia sebenarnya disfungsional. Tidak berarti gagal memang, tetapi keberhasilan-keberhasilan yang ada diraih dengan cara-cara yang tidak lazim (aneh), termasuk dengan menggunakan kekuatan spirits.
Fobia demokrasi yang diidap parpol saat ini membuat pemilu tidak bermakna. Proses sirkulasi elite menjadi tidak normal dan menutup akses hadirnya calon-calon pemimpin terbaik. Fobia demokrasi sungguh menjadi ancaman yang sangat serius. Wallahu a’lam. (*)
*) ABDUL AZIZ S.R., Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya