Rabu, 31 Mei 2023

Agar Efektif, Insentif Harus Detail

- Selasa, 5 November 2019 | 17:17 WIB
BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA
BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA

IKLIM investasi akhir tahun ini sampai tahun depan sepertinya belum banyak terkerek. Realisasi investasi masih melambat. Khususnya pada investasi asing. Bisa jadi karena isu resesi ekonomi global.

Ada juga risiko harga komoditas yang rendah dan berdampak turunnya investasi di sektor perkebunan. Apalagi kalau daya saing dan kemudahan berbisnis tidak ada perkembangan. Tentu waktu kita untuk berkejaran dengan realisasi investasi itu tidak banyak. Pada intinya, tantangannya memang cukup berat.

Seperti diketahui, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia stagnan di angka 73 dari 190 negara, meski skornya naik 1,64 dari 67,96 menjadi 69,6. Dengan kondisi itu, pemerintah memang harus ekstrakeras menggeliatkan iklim investasi melalui berbagai kebijakan.

Menurut saya, langkah yang bisa dilakukan adalah membuat kebijakan insentif fiskal menjadi lebih spesifik. Artinya, lebih fokus ke sektoral. Sektor-sektor mana saja yang mau digenjot. Misalnya, industri manufaktur, ya harus dipikirkan industri manufaktur mana yang akan digenjot. Yang padat karya atau yang mana yang akan difokuskan. Karena sampai saat ini spesifikasinya belum detail. Intinya, insentif fiskal harus didetailkan.

Kemudian, ada bantuan-bantuan atau insentif tentang listrik, misalnya. Diskon tarif listrik diperluas. Lalu, bisa juga dari sisi pembebasan lahan. Karena kan banyak yang tumpang-tindih dalam persoalan lahan. Sehingga diharapkan regulasinya bisa lebih solutif.

Saat ini pemerintah tengah menggodok kebijakan omnibus law. Hal itu diutarakan Presiden Joko Widodo setelah melantik kabinetnya. Jokowi memandang omnibus law adalah kunci Indonesia maju. Sebelumnya, dia menyebut hal itu dalam pidato pelantikannya.

Memang, omnibus law dapat dianggap sebagai langkah jitu untuk mengganti beberapa norma hukum. Mekanisme itu dianggap lebih efektif dan efisien dalam proses pembuatan dan revisi UU. Omnibus law memang sejauh ini direspons positif oleh investor. Tapi, tetap saja, yang paling penting sebetulnya adalah sinkronisasi dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah.

Omnibus law berpotensi menjadi tidak efektif seandainya tidak dibarengi dengan penyederhanaan birokrasi. Penyederhanaan regulasi harus disertai dengan pemangkasan reformasi birokrasi. Keputusan investasi kan memang harus didesentralisasi ke daerah. Jadi, harus dibicarakan dengan daerah. Belum lagi, kebijakan omnibus law juga pasti perlu waktu adaptasi ke berbagai aspek. Kalau dilihat, kebijakan itu kira-kira membutuhkan waktu penyesuaian enam bulan hingga satu tahun.




*) Ekonom Indef

Editor: Ilham Safutra

Tags

Terkini

Pendampingan Calon Jemaah Haji Lansia

Selasa, 30 Mei 2023 | 19:50 WIB

Revolusi Mental Belum Selesai

Selasa, 30 Mei 2023 | 09:22 WIB

NU-Muhammadiyah dan Kepemimpinan Profetik

Senin, 29 Mei 2023 | 19:45 WIB

Pasca-Lebaran Makin Mumet

Minggu, 28 Mei 2023 | 11:32 WIB

Pemilu dan Tanggung Jawab Politik Korporasi

Jumat, 26 Mei 2023 | 19:50 WIB

Bahasa Kebangkitan Desa

Kamis, 25 Mei 2023 | 11:31 WIB

Membangun Emosi dan Simpati Pemilih 2024

Selasa, 23 Mei 2023 | 19:45 WIB

Pesantren dan Politik Keumatan

Senin, 22 Mei 2023 | 18:45 WIB

Lanturan

Minggu, 21 Mei 2023 | 15:00 WIB

Parenting Menumbuhkan Inovasi

Jumat, 19 Mei 2023 | 10:46 WIB

Respons Aparat terhadap KKB

Rabu, 17 Mei 2023 | 19:16 WIB

Menyoal Tanggung Jawab Jamsostek

Selasa, 16 Mei 2023 | 08:00 WIB

Hexagon Nation Branding di KTT ASEAN

Senin, 15 Mei 2023 | 19:48 WIB

ASEAN dan Pribumi Malas

Minggu, 14 Mei 2023 | 15:50 WIB

Fikih Peradaban untuk Kemanusiaan

Jumat, 12 Mei 2023 | 19:48 WIB

Membangun Masyarakat Tangguh Gempa

Kamis, 11 Mei 2023 | 19:17 WIB

ASEAN Summit dan Masalah Mendesak Kawasan

Rabu, 10 Mei 2023 | 19:48 WIB

Semangat Syawal dan Pembelajaran Bisnis

Rabu, 10 Mei 2023 | 19:14 WIB
X