Laporan Utama

Dulu Klitih Berakhir di Angkringan, Sekarang Berujung di Kepolisian

2 Januari 2022, 13:15:00 WIB

KLITIH. Belakangan, kata ini akrab di telinga. Tidak seperti belasan atau puluhan tahun lalu, klitih kini identik dengan kengerian dan ketakutan.

Puthut EA yang menjadi mahasiswa Jogja pada sekitar 1995 mengatakan bahwa saat dirinya masih menyandang predikat pemuda, klitih artinya jalan-jalan atau mengisi waktu. Konotasinya positif. Lebih positif lagi buat penjaga angkringan atau warung burjo karena biasanya aktivitas klitih dipungkasi dengan nongkrong di lapak mereka.

Kini, jangankan penjaga angkringan atau warung burjo, semua orang juga ngeri kalau mendengar kata klitih. Yang terbayang adalah senjata tajam dan kebengisan pelakunya yang masih belia. Rata-rata usia para pelaku belum sampai 20 tahun.

Puthut memaklumi pergeseran makna itu. Secara kultural, makna kata memang bisa berubah. ”Kata kan punya aspek sosiologis juga. Punya medan sosialnya,” ujar penulis yang tinggal di Jogja tersebut saat dihubungi Jawa Pos pada Kamis (30/12).

Pernah menjadi bagian dari masyarakat yang memaknai klitih sebagai aktivitas menyenangkan, kini Puthut pun prihatin atas fenomena klitih yang bak teror. Apalagi, hal tersebut sudah berlangsung tahunan. Kasus satu disusul dengan kasus yang lain dan para korban terus berjatuhan.

Pemerintah daerah, menurut Puthut, seolah tak bisa menghentikan klitih. ”(Saya) marah karena bertahun-tahun, bahkan berbelas tahun klitih terjadi, tetap tidak ada tindakan yang strategis dan komprehensif dari pemerintah daerah dan jajarannya,” paparnya. Frekuensi klitih terus meningkat dan kian brutal. Korbannya random. Demikian juga aksinya. Pelaku klitih bahkan bisa beraksi pada jam-jam ramai, saat banyak mata yang menyaksikannya.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : lyn/c19/hep

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads