JawaPos.com - Anak desa kalau mau kuliah harus ke kota. Sebab, perguruan tinggi umumnya berlokasi di kota. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang tingkat tinggi mesti memikul dua beban. Biaya pendidikan dan hidup. Dua beban itu kadang kerap membuat anak desa urung melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya.
Kini jarak itu tidak lagi menjadi alasan bagi anak desa untuk bisa bersaing dan mengenyam ilmu pendidikan tinggi. Era digital mendekati yang jauh. Bahkan daerah yang terdalam sekalipun asalkan terakses dengan internet, mereka bisa kuliah dari tempat tinggalnya.
"Visi itu yang kami bawa. Menjangkau yang tak terjangkau. Memberikan kesempatan bagi anak bangsa mendapatkan pendidikan tinggi," begitu kata Laode Masihu Kamaluddin, rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) di ruang redaksi JawaPos.com di Graha Pena Jakarta, Kamis (25/5).
Laode Masihu Kamaluddin menuturkan bahwa IUCI merupakan perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia, khususnya di Jakarta. Meski berada di ibu kota, bukan berarti mahasiswanya harus ke Jakarta untuk berkuliah. Mereka bisa belajar dari daerah masing-masing. Sebab, UICI menerapkan konsep kampus digital. "Benar-benar digital. Bukan offline yang di-online-kan," tegas anggota DPR RI periode 2004-2009 itu.
IUCI menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) sebagai medium perkuliahan. Para mahasiswa dapat berinteraksi dengan dosennya yang diwakilkan dalam karakter dari AI. Sehingga, sang mahasiswa tidak mesti belajar rombongan seperti perkuliahan konvensional. "Mereka bisa kuliah pagi, siang, atau malam. Di sana saja. Sebab, dosennya dalam bentuk karakter robot dari AI," ujarnya.

Meskipun menggunakan teknologi AI, tegasnya, bukan berarti staf pengajar atau dosen di UICI itu robot. Mereka sebetulnya dosen yang pada umumnya. Cuma silabus pendidikan itu di-input ke dalam sistem. Mulai dari pertemuan pertama sampai akhir mata kuliah. Semua materi ada di sistem. Sehingga, mahasiswa tidak harus bergantung dengan sosok dosennya kapan ada waktu untuk memberikan kuliah.
"Kuliah di tempat kami lebih banyak praktik sendiri dari modul-modul yang diberikan. Teori sangat minim. Karena prodi (program) studi kami berbasiskan digital semua," terangnya.
Wakil Rektor Lely Pelitasari Soebekty menambahkan, karena UICI telah mengklaim sebagai kampus digital, maka prodinya banyak berbasis digital. Seperti prodi digital neuro psikologi; Data Scientist atau saint data; bisnis digital; informatika; dan komunikasi digital.
Untuk prodi digital neuro psikologi merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu. Yakni neorologi, psikologi, dan IT. "Era digital saat ini mengubah budaya komunikasi. Komunikasi offline atau konvensional berbeda dengan komunikasi di online," terangnya.
Lely Pelitasari Soebekty mengakui bahwa hingga kini mahasiswa di UICI baru hingga semester 5. Belum ada alumninya. Meski begitu dia optimistis alumni yang dilahirkan UICI dapat menjawab kebutuhan era digital. "Kami tidak melahirkan mahasiswa pencari kerja, tapi pencipta lapangan kerja," terangnya.
Hingga jumlah mahasiwa UICI tersebar di 34 provinsi. Untuk yang terjauh ada di Halmahera dan Natuna. Selain mereka yang baru lulus SMA, mahasiswa di UICI ada yang sudah menjadi dekan di salah satu PTN. "Mahasiswa ini sengaja kuliah di tempat kami karena ingin mendapatkan ilmu terkait data sains," tandas mantan komisioner Ombudsman RI itu.
Kunjungan Laode Masihu Kamaluddin dan Lely Pelitasari Soebekty bersama jajaran UICI ke redaksi JawaPos.com disambut oleh Koordinator Liputan JawaPos.com Ilham Safutra dan jajaran JawaPos.com dan Jawa Pos Koran.
Artikel Terkait
Tingkatkan Kompetensi Pendidikan Digital, IGI Kerja Sama dengan IDE
Urgensi Kurikulum dan Pendidikan Digital
Manajemen Pendidikan Digital Membuat Studi-Administrasi Lebih Mudah